Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Kamis, Agustus 12, 2010

Gifted terlambat bicara

VS

autisme dan atau ADHD/ADD

Bagaimana pendidikannya?[1]

Julia Maria van Tiel

Orangtua gifted visual spatial learner

Pembina kelompok diskusi anakberbakat@yahoogroups.com[2]

Pendahuluan

Kelompok diskusi anakberbakat@yahoogruops.com sejak berdiri tahun 2001, menerima hampir 600 anggota yang umumnya merupakan orangtua dari anak-anak cerdas yang terlambat bicara dengan diagnosa yang berganti-ganti dari satu pendiagnosa ke pendiagnosa yang lain. Umumnya diagnosa yang diterima adalah saat anak-anak ini belum bicara menerima diagnosa ASD, atau juga PDD-NOS. Saat ia bisa berbicara mendapatkan diagnosa ADHD, dan saat sudah dapat bersekolah dengan prestasi baik mendapatkan diagnosa autisme Asperger. Jika tidak berprestasi dari ADHD menjadi ADD. Atau jika tidak berprestasi juga mendapatkan diagnosa Learning Disabilities, bahkan beberapa diantaranya menerima diagnosa brain injury dan retardasi mental.

Mengapa ada satu anak diagnosanya bisa berubah-ubah, padahal gangguan-gangguan tersebut sudah dinyatakan gangguan yang disebabkan karena adanya cacat neurologis yang masalah dan bentuk kecacatannya sudah dinyatakan akan disandang seumur hidup. Tetapi kenyataan di lapangan menunjukkan hal yang berbeda, ada anak yang kemudian keluar dari kriteria dan dinyatakan sembuh, ada anak yang berganti diagnosanya, bahkan ada anak yang semakin parah? Bahkan kini muncul pendapat yang hampir mapan di masyarakat, bahwa demikianlah anak berkekhususan itu alamiahnya memang diagnosanya bisa berganti-ganti. Benarkah? Dari kenyataan di lapangan itu, muncullah suatu fenomena dimana ada bentuk terapi yang digunakan untuk semua bentuk gangguan tanpa lagi perlu memandang spesifikasi gangguannya.

Ataukah, berarti jika demikian halnya maka kita bisa pula berpendapat bahwa:

1) mungkin pendiagnosanya yang sudah salah menginterpretasi gejala;

2) mungkin kriterianya yang memang sudah salah atau kurang tepat;

3) ataukah si anak memang mempunyai dual diagnosis, yaitu gifted plus autisme, ataupun gifted plus ADHD/ADD, gifted plus gangguan belajar, atau gifted plus retardasi mental?

Ketiga kemungkinan itu bisa saja terjadi, apalagi hingga saat ini berbagai macam diagnosa anak berkekhususan hanyalah menggunakan sistem penegakan diagnosa yang subjektif yaitu dengan menggunakan penilaian terhadap perilaku, misalnya pada ADHD, ADD, dan autisme. Terhadap learning disabilities juga tidak menggunakan tes-tes objektif tetapi menggunakan tes-tes kemampuan belajar (didaktif). Tes objektif itu misalnya penciteraan otak, pemeriksaan darah, dan pemerikaan laboraturium lainnya. Namun hingga kini berbagai pemeriksaan itu masih belum dapat digunakan untuk melacak masalah anak berkekhususan ini. Apalagi bagaimana mekanisme terjadinya LD masih belum dipahami, begitu juga teori untuk menjelaskan perilaku autisme belum bisa ditegakkan. Hanya pada gangguan ADHD sudah disepakati bahwa gangguan ADHD disebabkan karena masalah sistem inhibisi pada fungsi eksekutif yang terletak pada otak bagian depan (lobus frontal). Tetapi bagaimana melacaknya dengan menggunakan metoda penciteraan otak, masih belum ada kepastian kesimpulannya ( Patternotte & Buitelaar, 2006 ). Karena itu sekalipun di berbagai negara (maju) pelacakan ADHD/ADD masih menggunakan kriteria perilaku.

Namun kemungkinan bahwa gifted plus autisme (sekalipun asperger syndrome yang dikenal ada yang mempunyai inteligensi baik hingga tinggi) tidaklah mungkin, sebab kedua kekhususan mempunyai karakteristik inteligensi yang sungguh berkebalikan. Pada anak-anak gifted mempunyai kekuatan pada kemampuan pemecahan masalah, sedangkan pada anak-anak autisme justru mengalami keterbatasan kemampuan pemecahan masalah ( Webb dkk, 2005).

Gifted plus retardasi mental, tentu saja tidak mungkin.

Selain diagnosa ADHD/ADD, dan autisme tadi, anak-anak ini juga banyak yang mendapatkan diagnosa brain injury dan bahkan retardasi mental. Hal ini disebabkan karena si anak ini mengalami keterlambatan bicara dan memperoleh prestasi tes IQ yang masih mempunyai deskrepansi yang besar antara verbal IQ dan performasi IQ, namun sudah diambil kesimpulan melalui total skor IQ. Jelas diagnosa retardasi mental dan brain injury ini adalah kesalahan dalam interpretasi hasil tes IQ. Kesimpulan seperti ini sering sekali dijumpai dalam mailinglist anakberbakat@yahogroups.com .

Terapi yang sering diterima, mulai dari terapi medikamentosa untuk ADHD/ADD ataupun autisme, vitamin dosis tinggi, smart drugs, terapi-terapi gerak atau motoric patterning (seperti paket Sensory integration therapy, Doman-Delacato, Brain Gym, Muscle touch), terapi diet, terapi hipnotis, food supplement, chelation/detoksifikasi, dan berbagai terapi alternatif lainnya. Pada umumnya menerima terapi yang non-EBP/EBM. Akhir-akhir ini ada kecendrungan memberikan terapi yang sama untuk segala bentuk kekhususan, yaitu Sensory Integration Therapy dan terapi okupasi, karena munculnya pemahaman di lapangan bahwa masalah anak-anak berkekhususan disebabkan karena masalah pada sensoriknya, yang tentu saja tidak ada bukti secara ilmiahnya (Stephenson, 2004).

Pendidikan yang diterima anak-anak ini di Indonesia, sangat beragam, terbanyak masuk sekolah dasar umum dengan pendekatan khusus, namun sebagiannya mengalami kesulitan menempuh pembelajaran, tidak diterima di sekolah, masuk SLB, atau homeschooling. Karena belum diterimanya diagnosa gifted terlambat bicara secara formal baik di bidang psikologi dan kedokteran, maka anak-anak ini melandas di sekolah menjadi diagnosa ADHD, Asperger, PDD-NOS, ASD, gangguan belajar (Learning Disabilities), atau lamban belajar. Umumnya tidak menerima layanan keberbakatannya, yang lebih banyak disebabkan karena pihak sekolah hanya menyediakan layanan kelas akselerasi. Tentu saja hal ini sungguh sangat memprihatinkan kita semua.

Terlambat bicara?

Umumnya orangtua dalam mailinglist anakberbakat@yahoogroups.com melaporkan anak-anaknya pada awalnya sudah mulai bicara beberapa kata, namun bersamaan dengan perkembangan motorik kasar dan eksplorasinya (di sekitar usia 18 bulan) anak mengalami kemunduran prestasi bicara. Ia semakin menyendiri, asyiek dengan mainannya, tidak merespon dan semakin sulit diajari. Motorik kasarnya semakin berkembang luar biasa diikuti dengan tingkat aktivitas yang tinggi. Kemudian orangtua mencari bantuan karena dirasa anaknya sulit dikendalikan, baik motorik (banyak gerak dengan tingkat aktivitas yang tinggi) maupun emosinya, terutama disebabkan karena anaknya tidak mengalami perkembangan bicara sebagaimana teman sebayanya. Sekalipun anak-anak ini tidak mampu berbicara namun ia masih bisa menangkap perintah-perintah yang diberikan orangtuanya. Ia juga sangat mampu membangun relasi yang hangat dengan orangtuanya. Kebingungan yang sering disampaikan orangtua adalah, si anak tidak merespon jika dipanggil (jikapun merespon hanya merespon sekilas saja), terutama saat ia asyiek bermain sendiri. Ia akan mulai bicara lagi di usianya yang ke tiga bahkan ada yang mulai lagi di usianya yang ke empat. Kondisi tidak bisa berkomunikasi dengan baik akan berlangsung hingga anak masuk usia sekolah dasar dan di usia itu anak sudah mulai bisa diajak bicara dua arah. Anak-anak yang kini sudah mulai remaja, pada kenyataannya mempunyai IQ yang luar biasa tinggi dan mempunyai prestasi yang baik di sekolah. Walau demikin sebagiannya mempunyai masalah sosial, emosi, dan bahkan ada juga yang sulit mencapai prestasi yang baik sekalipun dalam tes-tes psikologi menunjukkan mempunyai potensi inteligensi yang sangat baik.

Berbagai literature yang berlatarbelakang keilmuan patologi bahasa menyebut gangguan bicara dan bahasa ini disebutnya dengan nama Specific Language Impairment (SLI). Istilah SLI bisa kita temukan misalnya dari literature yang dikeluarkan oleh Dorothy M Bishop atau oleh Gina Conti-Ramsden.



[1] Dibawakan dalam Seminar dan Workshop Program Inklusi – Magister Psikologi Unika Soegiyapranata- Semarang 31 Juli 20010.

[2] Kelompok diskusi orangtua anak gifted (gifted children) dengan segala permasalahannya,


Selanjutnya:

....