Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Selasa, September 07, 2004

PERLU PSYHCOEDUCATIONAL ASSESSMENT CENTER DALAM KURIKULUM BERBASIS KOMPETENSI


Gemebyar digelarnya kurikulum berbasis kompetensi (KBK) saat ini di Indonesia bagi saya rasanya masih ada saja yang mengganjal. Jika pendekatan ini digunakan tentunya akan mengacu pada pengertian bahwa setiap anak mempunyai tumbuh kembang yang unik yang dibawanya sejak lahir dan memerlukan pengasuhan serta metoda pendidikan sesuai dengan kebutuhan masing-masing. Dengan begitu bisa dibayangkan jika di dalam kelas akan terdapat penyajian berbagai metoda dan materi yang disebut kurikulum berdiferensiasi. Sehingga setiap anak akan menempuh pendidikan dalam kompetensinya masing masing. Namun siapa yang menentukan keunikan masing masing murid serta menentukan metoda pendidikannya? Tentu saja guru tidak akan sanggup jika tidak dibantu oleh seperangkat tenaga yang mampu melihat berbagai keunikan anak tersebut, yang akan menyangkut perkembangan fisik, psikologis, motorik, perilaku dan sosial, inteligensia serta gaya belajar. Seperangkat tenaga itu bergabung dalam sebuah lembaga yang disebut psychoeducational assessment center yang terdiri dari dokter, psikolog, orthopedagog, ahli gerak, speech patolog, dslb.

Apabila seorang anak dirasa tidak mampu mengikuti kegiatan pembelajaran secara umum di dalam kelas, misalnya prestasi yang dicapai di bawah rata-rata kelas, atau selalu mengganggu jalannya pengajaran, maka anak ini memerlukan pemeriksaan yang mendalam agar metoda dan materi yang diberikan cocok dengan keunikannya tadi. Atau barangkali memang anak tersebut mengalami gangguan neurologis yang mempengaruhi kemampuan belajarnya (disleksia, diskalkulia, atau disgrafia) sehingga memerlukan koreksi serta bimbingan yang lebih intensif. Atau juga barangkali anak tersebut mempunyai gaya belajar yang berbeda dibanding dengan teman-temannya, ia lebih berfikir global, sangat kreatif dan pemikir cepat, sehingga memerlukan tugas-tugas pengayaan dan percepatan untuk mencegah kefrustrasian belajar, berkembangnya konsep diri negatif dan faalangst (perasaan takut gagal) akibat dari materi yang ditawarkan tidak cocok.

Di negara-negara yang telah melaksanakan KBK dengan mapan, cara seperti di atas dilakukan tidak lagi menunggu jika sudah terjadi gangguan atau merosotnya prestasi anak, namun jauh sebelum anak itu masuk sekolah dasar telah dilakukan pemantauan yang membutuhkan waktu yang cukup lama. Pemantauan berbagai aspek tumbuh kembang ini dilakukan di taman kanak-kanak, dikerjakan oleh dokter sekolah, dan status kesehatannya diterima dari dokter tumbuh kembang. Dokter sekolah ini dibantu oleh berbagai tenaga tadi, dan jika memerlukan observasi serta pemeriksaan lebih intensif bisa dikirim ke lembaga kesehatan yang lebih tinggi misalnya rumah sakit atau pusat-pusat assessment yang lebih khusus.

Kelompok profesi ini akan bekerjasama dengan guru dan orang tua memantau berbagai aspek tumbuh kembang itu sehingga saat masuk ke sekolah dasar ia akan segera mendapatkan bimbingan pengajaran sesuai dengan karakteristik yang dimilikinya. Jangan sampai di awal masa-masa sekolahnya anak-anak ini mendapatkan perlakuan yang kurang menguntungkan (salah penempatan, dikeluarkan dari sekolah, mendapatkan perlakuan yang tidak wajar sebagaimana halnya anak-anak berbakat bergangguan belajar – lihat Kompas 7 Sept.2003 tentang anak berbakat) yang akibatnya berlanjut diwaktu-waktu sesudahnya. Dengan begitu taman kanak-kanak bukan lagi hanya sekolah untuk meningkatkan kemampuan akademik, namun lebih berfungsi sebagai pusat tumbuh kembang anak-anak.

Setiap negara mempunyai pula pola masing masing, misalnya Belanda di mana openbaarbasisschool (sekolah dasar negerinya) merupakan sekolah reguler dengan pendekatan inklusif memiliki tiga kompetensi di setiap kelas, yaitu kompetensi anak yang belajar lebih maju, rata-rata, dan tertinggal dengan inteligensia normal sampai tinggi. Muridnya terdiri dari murid berbakat, normal, dan yang mengalami gangguan belajar. Murid yang mengalami cacat fisik primer seperti buta, dan bisu tuli, serta anak-anak yang mengalami gangguan inteligensia berat maupun anak bergangguan psikiatrik tidak dimasukkan ke sekolah seperti ini. Lain halnya dengan New Zealand dimana kerapatan penduduknya sangat jarang menggunakan empat kompetensi dengan memasukkan juga yang mengalami gangguan inteligensia berat. Sedang Norwegia menggabungkan sekolah luar biasa dengan sekolah normal, sehingga berbagai anak yang mengalami gangguan ataupun tidak, dapat masuk ke dalam sekolah inklusif, dengan begitu kompetensinya pun menjadi jauh lebih banyak. Namun tuntutan terhadap kemahiran dan kepekaan gurupun menjadi tinggi.

Di dalam kelas kompetensi anak tidak dibatasi secara ketat seperti halnya program akselerasi anak berbakat Indonesia, di mana ia hanya boleh menduduki program itu saja. Pada KBK model inklusif seperti ini, sajian materi sangat adaptif dengan kemampuan anak. Bisa saja terjadi satu anak sangat mahir dalam matematika ia akan berada di kompetensi atas, tetapi ia mengalami kekurangan dalam membaca, ia akan belajar bersama dengan anak lain yang sama kompetensinya. Atau sebaliknya.

Namun bagaimana dengan kondisi di Indonesia, sanggupkah KBK yang digelar dapat memberikan pembelajaran terhadap anak didik sesuai dengan kompetensi masing-masing. Hal ini akan menuntut berbagai sistem, sistem kesehatan nasional dengan membentuk dokter sekolah, menarik berbagai profesi lain ke dalam sistem kesehatan nasional artinya penambahan formasi kepegawaian, merubah ataupun menambah kurikulum baru bagi sekolah kedokteran, psikologi, dan keguruan. Membentuk jurusan-jurusan baru di sekolah keguruan dan psikologi seperti psikologi patologi, speech patologi, anak dengan gangguan belajar, dan seterusnya. Kemudian membentuk lembaga-lembaga psychoeducational assessment center dimana-mana yang terdiri dari dokter, psikolog, orthopedagog, speech patolog, ahli gerak, remedial teachers dan lain sebagainya.

Dukungan adanya psychoeducational assessment center dan KBK ini akan sangat menguntungkan bagi anak-anak yang mengalami hidden disabilities tetapi berinteligensia normal sampai tinggi, yaitu mempunyai ketakmampuan namun sulit dideteksi secara selintasan, memerlukan berbagai test, yang apabila dibiarkan begitu saja ia hanya akan nampak sebagai anak cacat mental, atau bodoh, lambat belajar, tak mampu membaca, menulis dan berhitung (disleksia, diskalkulia, dan disgrafia). Dengan model pembelajaran seperti halnya Indonesia saat ini, sungguh tidak menguntungkan bagi anak-anak berbakat namun mengalami gangguan belajar, karena kemampuannya tidak harmonis untuk berbagai bidang ajaran. Kadang hanya sangat tinggi di satu mata ajaran tetapi tidak demikian di mata ajaran lain.

Anak yang sudah lulus sekolah dasar akan membawa kompetensinya masing-masing, dan penjenjangannya berdasarkan kompetensi yang diraihnya. Bagi anak yang mempunyai kemampuan logika analisis dan abstraski yang sangat baik bisa disiapkan ke universitas, sedang yang mempunyai ketrampilan dengan tangan yang baik bisa ke sekolah kejuruan terapan. Pada prinsipnya tidak ada lagi anak yang bodoh, anak normal atau tak normal, namun mereka mempunyai keunikan dan kompetensi masing-masing.

KBK memang suatu model pendidikan yang sangat ideal, tetapi pelaksanaannya memerlukan perombakan yang luar biasa, membutuhkan tenaga banyak, persiapan yang sungguh lama, dan kehandalan tenaga yang melakukan assessment, sebab melakukan assessment perlu kehati-hatian yang luar biasa, jika salah mendiagnosa akan terjadi salah penanganan, dan itu merupakan hal yang bahaya. Jika pendukung KBK di Indonesia sebagaimana halnya psychoeducationaal assessment center tadi masih belum ada, saya yakin, KBK sulit untuk dilaksanakan. Akhirnya cuma meraba-raba seperti yang terjadi saat ini dimana banyak sekolah berani menerima anak-anak dengan diagnosa psikiatrik seperti ADHD dan autisme, yang sebenarnya fihak sekolah bukan menerima dalam bentuk diagnosa psikiatrik, tetapi bentuk diagnosa psychoeducational. Jadi diagnosa psikiatrik itu harus diterjemahkan dahulu oleh seorang orthopedagog melalui berbagai test pedagogik untuk menentukan metoda pendidikannya yang dimengerti oleh guru. Guru sekolah reguler tidak lagi berurusan dengan diagnosa psikiatrik.

Julia Maria van Tiel, orang tua anak berbakat.
2003




....