Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Rabu, September 08, 2004


GIFTED DENGAN PERKEMBANGAN DISINKRONI


Triadik Renzuli-Monks
Originally uploaded by segaintil.

DR.drg.Julia Maria van Tiel, MS
A.Kasandra Oemarjoedi, psikolog
Kelompok Diskusi E-group Orang Tua Anakberbakat
Dibacakan pada Psikologi Expo Universitas Indonesia, Depok 4 Maret 2004

PENDAHULUAN


Dari penelitian Mönks dilaporkan bahwa setengah dari populasi anak berbakat (gifted) mengalami masalah di sekolahnya karena prestasi yang dicapai berada di bawah potensinya (Mönks & Ypenburg, 1995). Masalah ini disebabkan bukan hanya karena masalah tidak terdukungnya perkembangan kognitif mereka dengan metoda yang tepat di sekolah, tetapi juga disebabkan karena adanya masalah dalam perkembangan yang disebut masalah perkembangan disinkroni (Hoop & Janson 1999, Nelissen & Span, 1999). Masalah disinkroni ini telah diperkenalkan oleh seorang psikolog Perancis bernama Jean-Charles Terrasier di tahun 1970-an, yang mencakup ketidak harmonisan berbagai facet perkembangan, yaitu perkembangan intelektual, perkembangan psikologis, perkembangan fisik, perkembangan motorik, perkembangan sosial, dan perkembangan bahasa yang berakibat dalam berbagai testnya akan menunjukkan ketidak harmonisan (Hoop & Janson, 1999).

Berbagai ciri perkembangan disinkroni itu bukan hanya terlihat dalam hasil test IQ (Reuver, 2003) namun juga berbagai test-test lainnya. Sekalipun anak-anak yang mempunyai profil IQ yang tidak harmonis ini merupakan anak yang berisiko, yaitu dapat mengalami gangguan belajar (learning disabilities seperti disleksia, diskalkulia, dan disgrafia), namun dari hasil penelitian yang dilakukan oleh Reuver menunjukkan bahwa tidak selalu anak-anak ini akan mengalami gangguan belajar. Ketidak harmonisan profil IQ ini bisa berupa inteligensia verbal <> inteligensia performal (V/p) pada anak-anak yang tidak mengalami keterlambatan bicara.

Giftedness (keberbakatan) yang merupakan hal yang bukan disorder seringkali menjerat pengertian bahwa anak-anak ini tidak akan mempunyai kesulitan, namun sesungguhnya anak-anak berbakat dengan IQ yang tinggi mempunyai karakteristik khusus yang bisa berakibat menjadi masalah emosional dan perilaku sekalipun ia tidak mengalami gangguan belajar (Jurgens, 1993), begitu pula berbagai laporan dari banyak peneliti menunjukkan hal yang sama . Karakteristik perilaku yang sangat khusus ini jika tidak mendapatkan dukungan, akan membawanya pada konsep diri negatif dan kefrustrasian yang mengarah pada terjadinya perilaku bermasalah yang dapat berakibat pada jatuhnya prestasi belajar.

Sementara itu masalah loncatan perkembangan kognitif pada balita yang mengakibatkan masalah perkembangan disinkroni, akhir-akhir ini telah menyita banyak perhatian berbagai kalangan di dunia, karena banyak diantara anak-anak ini terjerat dalam diagnosa gangguan perkembangan atau disorder serta mendapat berbagai terapi alternative mulai dari yang sederhana hingga yang radikal, tanpa memperhatikan masalah potensi atau giftedness yang dimilikinya. Para orang tua dan guru pun terjebak dalam suatu kemelut yang tidak jarang mengakibatkan kerugian pada diri si anak. Kurang populernya ilmu kependidikan di Indonesia yang membicarakan masalah belajar dan gangguan belajar, menyebabkan anak-anak gifted yang terdiagnosa berbagai gangguan mental dan perkembangan seperti autisme dan ADHD masuk ke sekolah sebagai penyandang diagnosa psikiatrik tanpa diterjemahkannya terlebih dahulu dari diagnosa psikiatrik itu ke dalam diagnosa pedagogi, mengakibatkan situasi yang tidak menguntungkan bagi perkembangan intelektual, psikologis dan sosial anak-anak ini karena salahnya penanganan dan tidak terdeteksinya gaya belajar serta potensi keberbakatannya sebagai faktor kuat yang dimilikinya . Padahal, Greenspan (1998) mengatakan bahwa anak-anak ini mempunyai dorongan internal untuk mengembangkan intelektualnya sangat tinggi. Hambatan aktualisasi dorongan ini dapat menyebabkan kefrustrasian dan kondisi depresi atau gangguan perilaku lainnya.

Masih langkanya penelitian pada kelompok anak-anak ini pun menyebabkan anak-anak yang mempunyai gejala yang mirip-mirip dengan berbagai kelompok disorder ini seringkali tertukar diagnosa satu dengan lainnya. Misalnya karena anak-anak ini sangat unggul dalam menggambar, atau musik, atau matematika, sering terdiagnosa sebagai anak autis savant. Padahal anak-anak autis savant ini merupakan anak-anak yang mempunyai talenta khusus sangat hebat, namun mengalami gangguan dalam area inteligensia yang sangat luas, atau idiot dan sering pula disebut idiot-savant. Adanya kemiripan perkembangan menggambar antara autis savant dan gifted, karena mereka sama-sama mempunyai kemampuan visual learning yang sangat baik dan memory yang fotografis, namun pada anak-anak autis savant tidak mempunyai kreativitas sebagaimana anak-anak gifted (Sack, 2002, Vermuelen, 2003). Seringkali pula anak-anak gifted terlambat bicara dan sangat pandai ini sering terjerat sebagai anak-anak autis Aspeger, padahal anak-anak autis Asperger dengan IQ tinggi ini tidak mengalami keterlambatan bicara dan sering tidak terdeteksi saat masih muda. Ia sering terlambat terdeteksi, karena masalahnya baru akan timbul saat ia harus berkontak dan bekerjasama dengan orang lain. Asperger yg mempunyai gangguan kontak yang dibawanya seumur hidupnya, juga mempunyai bidang minatan yang sangat sempit dan tidak kreatif (Vermuelen, 1999, Vermuelen, 2002).

DSM IV (Diagnosis Criteria for Mental Disorders dari American Psychiatric Association tahun 1994) pun telah menjaring anak-anak kelompok ini menjadi anak bergangguan perkembangan autisme ringan, Autism Spectrum Disorder, ataupun PDDNOS karena terlambat bicara, namun pada anak-anak gifted ini masih mempunyai perkembangan bahasa nonverbal, mempunyai senyum sosial dan bisa bercanda-canda. Beberapa perilakunya sering dinilai merupakan perilaku autistik. Stanley I Greenspan dalam bukunya The Growth of the Mind (1997) menjelaskan pengalamannya sebagai direktur institut autisme di Washington, bahwa diantara anak-anak yang mempunyai perilaku autisme itu ada yang kelaknya mempunyai IQ yang tinggi, mempunyai kemampuan logika analisis yang tinggi dan global, serta berbahasa yang sangat luas. Kekeliruan penggunaan DSM IV yang kini banyak digunakan untuk mendeteksi autisme pada anak-anak balita, dijelaskan oleh beberapa peneliti dalam kongres nasional autisme Belanda di Veldhoven, Desember 2003. Anatara lain E. van Daalen & JK Buitelaar, dalam kongres itu menyarankan agar tidak menggunakan DSM IV untuk mendeteksi dan mendiagnosa autisme pada anak-anak balita, karena dari hasil penelitiannya DSM IV mempunyai tingkat kesalahan yang sangat tinggi. Hal ini disebabkan karena dimasa kanak-kanak, ia tengah berkembang. Diantara anak-anak yang memiliki gejala-gejala yang cocok dengan DSM IV, diatas usia tiga tahun ada yang mengalami perkembangan keluar dari kriteria gejala autisme dan tidak bisa dimasukkan ke dalam kelompok anak yang mengalami gangguan perkembangan autisme lagi.

Beberapa pengalaman yang dilalui oleh para orang tua kelompok diskusi kami adalah antara lain, sewaktu anaknya berusia 3 tahun ia mendapat diagnosa autisme, dan saat telah mampu bicara dengan baik diusianya yang ke 5 diagnosa diganti dengan ADHD. Saat menjelang masuk ke sekolah dasar ia dituntut untuk dilakukan test IQ oleh fihak sekolah, menerima hasil skor IQ 70 (IQ below), kemudian diagnosa dirubah lagi menjadi brain injury (sementara itu riwayat kejadian yang mampu menyebabkan brain injury tidak ada). Diagnosa ADHD –pun dicoret karena anak ini sudah tidak nampak hiperaktif lagi. Serta saat berada di sekolah dasar ia mampu menjadi juara kelas tidak terdapat masalah gangguan belajar yang biasa menyertai anak-anak yang brain injury ber- IQ below.

Banyak diantara mereka karena hasil skor IQ yang dirata-ratakan, hasilnya menjadi rendah, dianjurkan masuk ke sekolah luar biasa, atau kelas lambat, padahal mereka adalah pemikir cepat.

Pengalaman lain adalah anak tersebut pernah mendapatkan selain diagnosa autisme karena sampai usia 3 tahun belum bicara, dan juga mendapat diagnosa tuli di rumah sakit lain, dianjurkan untuk cochlear implant serta memasuki asrama anak-anak tuli di usianya yang ke 4. Anak tersebut di usianya yang ke 5 menerima test IQ dengan hasil menunjukkan kemampuan logika analisis dan abstraksi yang sangat tinggi dan sudah mampu berkomunikasi dengan baik.

CIRI-CIRI GIFTED DENGAN PERKEMBANGAN DISINKRONI

Pengertian gifted banyak dikemukakan oleh Renzulli dan Smith tahun 1980 yang menyatakan bahwa seorang anak dapat dikatakan anak gifted bila memenuhi syarat bahwa ia mempunyai: kemampuan intelektual diatas rata-rata, motivasi dan ketahanan kerja yang tinggi, serta kreativitas yang tinggi.
Pengertian ini kemudian disebut Triadik dari Renzulli. Namun Mönks menambahkan, apabila tidak di dukung secara baik oleh keluarga, sekolah, dan lingkungan, maka potensi keberbakatan itu tidak terwujud. Triadik Renzulli-Mönks digambarkan sebagai berikut :

Triadik Renzulli-Mönks, sumber Mönks &Ypenburg, 1995

Sebagai pegangan untuk melihat gejala-gejala anak-anak usia 4 – 6 tahun yang mengalami loncatan perkembangan sebelum bisa dilakukan test IQ, oleh Alja de Bruin – de Boer dalam seminar nasional di Belanda tentang anak berbakat tahun 2002 dijabarkan sebagai berikut :

Motoriknya berkembang sangat baik : umumnya pada usia yang masih sangat muda anak-anak ini mempunyai perkembangan motorik yang lebih baik dari anak seusianya. Mereka duduk dan berjalan lebih dahulu dari teman sebayanya, dan masih sangat muda sudah dapat bermain dengan material yang kecil kecil.

Penggunaan bahasa yang sangat baik : sebagian anak berbakat mempunyai perkembangan bicara dan bahasa yang sangat cepat, tetapi sebagiannya lagi mengalami keterlambatan bicara namun lambat laun ia akan segera menyusul ketertinggalannya dan segera menggunakan bahasa yang sulit seperti misalnya ‘mesin cuci baju ‘. Mereka memiliki vokabulari yang luas yang hanya sekali saja ditangkapnya dan esoknya sudah bisa menggunakannya dalam konteks yang benar. Penambahan kata-kata kerja juga baginya akan tidak menjadi masalah.

Sangat mandiri : para orang tua melaporkan bahwa anak-anak ini sejak masih kecil sekali sudah ingin melakukan segala hal sendiri. Makan sendiri, pakai baju, dan menalikan tali sepatu.
Memiliki enerji yang luar biasa dan sangat banyak gerak : anak-anak ini bagai anak yang tak pernah lelah. Sering mereka sangat sedikit membutuhkan waktu atau jam tidur, dan selalu ingin melakukan berbagai hal. Sejak kecil sekali ia sudah membenci pengulangan-pengulangan, karenanya ia seperti tidak mau lagi melihat alat-alat permainannya. Mereka memiliki begitu banyak interes dan selalu bertanya. Bila ia mendapatkan satu jawaban, segera jawaban itu akan berbuntut dengan pertanyaan baru. Sebagian dari anak-anak ini tidak mau segera menerima begitu saja pendapat orang lain, misalnya dia tak ingin mendengarkan jika api itu panas, dan ia ingin mencobanya sendiri benarkah api itu panas. Dia juga ingin sekali tahu bagaimana jika roti diletakkan ke dalam videorecorder sebagi ganti videocasset.

Dalam berbicara mempunyai perhatian ke masalah spesifik: cerita-cerita para orang tua tentang anaknya di usia 2 – 2,5 tahun yang sangat sering adalah cerita tentang merek-merek dan tipe mobil. Anak-anak kecil biasanya bertukar bidang perhatiannya dan akan berubah-ubah di beberapa bulan. Jika ia lebih dewasa bidang perhatiannya akan lebih lama bertahan.

Sangat cepat akan pemahaman dan logika analisis : anak-anak yang mempunyai loncatan perkembangan pada usia yang sangat dini mempunyai memori yang sangat baik, dan mempunyai kemampuan menghubungkan kejadian satu dengan kejadian lainnya, di mana anak-anak lain masih belum mampu.

Mempunyai kreativitas dalam bermain : anak-anak yang mengalami loncatan perkembangan ini, sejak masih kecil sudah bisa melakukan permainan fantasi. Jika dibandingkan dengan teman-teman seusianya, ia akan lebih dulu dapat bermain dalam peran yang tetap dan mampu bermain dalam suatu konflik yang sangat detil. Dia tidak bisa mengerti mengapa teman-teman sebayanya tidak bisa mengambil peranan atau ikut dalam aturan permainan yang harus dipegangnya.

Lebih cepat belajar membaca dan berhitung : melalui kemampuan pengenalan, melalui banyak pertanyaan yang diajukannya, serta daya ingat yang sangat baik, anak-anak dengan loncatan perkembangan akan lebih cepat belajar membaca dan berhitung. Dengan begitu ia akan belajar huruf huruf melalui permainan, misalnya huruf M ada di Mc Donald, Mora, atau Coklat Mars.

Untuk melihat ciri-ciri anak-anak yang mengalami loncatan perkembangan namun mengalami juga disinkroni perkembangan dapat pula dirumuskan sebagai berikut (Mönks & Ypenburg, 1999 ; Nelissen & Span, 1999, Webb dkk, 2000 ; Mooij, 1991, Hoop & Janson, 1999) :
- Lahir sebagai bayi sehat, besar, dengan skor APGAR tinggi
- Mempunyai perkembangan motorik yang sangat baik dan mendahului teman seangkatannya
- Banyak gerak dan sangat aktif
- Perkembangan sensoris yang sangat baik
- Sangat ingin tahu dan selalu mencoba-coba
- Mempunyai motivasi internal yang sangat besar
- Mengalami loncatan perkembangan intelekstual (mendahului teman seusianya) yang ditandai dengan cepat belajar (sendiri) membaca dan menulis dari logo-logo, bermain puzzel, membuat bangunan tiga dimensi dari alat main, membuat gambar tiga dimensi yang beragam (manusia, binatang, berbagai benda, dan lingkungan alam), serta cepat belajar berhitung
- Mempunyai ingatan yang sangat kuat dan terkembangnya memori fotografis (long term memory)
- Sangat kreatif
- Mempunyai perkembangan sosial yang baik
- Mampu berbahasa simbolik (nonverbal) dan mempunyai senyum sosial
- Sangat humoris dan senang bercanda-canda
- Perfeksionist
- Didaktif dan mandiri

Ciri-ciri yang positip di atas dapat berakibat menjadi masalah (Mönks & Ypenburg, 1999 ; Nelissen & Span, 1999, Webb dkk, 2000 ; Mooij, 1991, Hoop & Janson, 1999 ; Levine, 2002, Niejenhuis, 2003 ; Greenspan, 1996) :
- Perkembangan motorik kasar yang sangat hebat sering diikuti dengan ketertinggalan motorik halus
- Banyak gerak dan sangat aktif bisa nampak seperti anak hiperaktif atau ADHD
- Perkembangan logika analisis (kemampuan long term memory) yang mengalami loncatan perkembangan menyebabkan ketertinggalan pengembangan kemampuan hapalan (gangguan memory verbal dan lemahnya short term memory) untuk berbagai kata yang berdiri sendiri tanpa pengertian, menjawab pertanyaan secara melompat, berfikir seperti paranoia, dan faalangst negatif (merasa takut gagal sebelum mengerjakan tugas padahal sebetulnya ia bisa)
- Perkembangan sensoris yang sangat baik menyebabkan ia jijik terhadap yang basah-basah dan lengket-lengket (tidak mau mengerjakan tugas menggambar dengan cat air, menempel, dan bermain malam), panik dalam kebisingan, reaksi yang berlebihan terhadap cahaya, sangat pemilih dalam selera makanan, sangat penggeli, atau selalu ingin meraba-raba dan memegang megang barang di sekitarnya, senang melihat barang yang bergerak
- Perkembangan visual processing yang terlalu baik sering diikuti dengan gangguan dalam auditory processing (gangguan dalam pemrosesan informasi melalui telinga, atau gangguan memori verbal yang merupakan kemampuan short term memory, gangguan ini sering disebut juga Centrum Auditory Processing Disorder atau CAPD) yang berakibat sering kurang merespon panggilan, perkembangan bicara dan bahasa yang akhirnya membawa pada ketertinggalan perkembangan sosial dan emosional, serta perilaku menarik diri
Sangat ingin tahu dan selalu mencoba-coba (trial & error) yang menyebabkan ia selalu melakukan kegiatan yang sama berulang-ulang seperti memukul-mukul, memutar-mutar barang, sering disalah artikan sebagai repetitive behaviour dalam kasus autisme klasik
- Long term memory-nya yang kuat menyebabkan ia marah jika ada barang dipindah, marah jika meliwati jalan lain, dan hanya ingin menggunakan benda-benda yang sama seperti piring, gelas, serta menggunakan ritual yang sama; berfikir visual dan berbahasa hiperleksia yaitu penggunaan bahasa yang selalu menjelaskan sesuatu dengan berbagai cara untuk menvisualisasikan nama suatu barang (ia tidak menyebutkan nama benda tersebut tetapi menjelaskan bentuk, warna, kegunaan dlsb)
- Kreativitas yang tinggi menyebabkan ia macam anak yang selalu mencari-cari dan gangguan konsentrasi, namun pada anak-anak kelompok ini ada periode dimana ia mampu melakukan konsentrasi dengan baik dan intensif
- Motivasi internal yang tinggi menyebabkan ia menjadi anak yang keras kepala, sulit diberi tahu, keinginan yang sulit dipatahkan, tidak sabaran, dan tidak bisa dipaksa
- Sangat humoris menjadikan ia bagai anak yang tukang meledek
- Perfeksionistnya menjadikannya bagai anak yang terfiksasi
- Didaktif menjadikannya anak yang sulit diajari, selalu mencoba dan mencari solusi sendiri, selalu mencari tantangan, namun tidak tahan pada rutinitas
- Faalangst dan perfeksionistnya menyebabkan ia nampak seperti anak tidak kreatif.

DETEKSI

Banyak anak-anak gifted yang sampai lama tidak dikenali. Secara kasar, hampir setengah dari populasi anak gifted dipandang remeh. Karena itu dibutuhkan suatu cara yang baik untuk melakukan deteksi dini. Ada baiknya deteksi dini di sekolah dilakukan tidak secara kebetulan saja, atau dilakukan saat ia sudah jatuh masuk ke dalam masalah. Karena itu setiap anak gifted harus bisa dideteksi melalui suatu cara yang sistematis dan terstruktur. Anak-anak gifted yang secara dini tidak terdeteksi, ia mempunyai resiko mundurnya motivasi belajar, akhirnya akan mengalami masalah dalam menentukan strategi belajarnya, atau ia akan mengalami resiko jatuh prestasi di sekolah dan menjadi underachiever atau berprestasi di bawah potensi yang dimilikinya.(de Bruin – de Boer,2002)

Sementara itu kini di Belanda, pada anak-anak yang mempunyai perkembangan kognitif lebih maju dari pada anak-anak lain (sekalipun mengalami ketertinggalan di beberapa domain perkembangan yang disebabkan tidak sinkronnya perkembangan itu) lebih dikenal dengan istilah ontwikkeling voorsprong yang artinya loncatan perkembangan sebagai ganti istilah gifted karena padanya belum bisa dilakukan test IQ (de Bruin-de Boer & de Greef, 1991, van Gerven, 2001). Pelacakan anak-anak yang mengalami loncatan perkembangan ini dilakukan oleh para dokter anak tumbuh kembang di konsultasi biro (semacam BKIA di Indonesia) dengan menggunakan status van Wiechen. Status ini telah digunakan beberapa tahun terakhir ini dan telah dipakai bagi seluruh balita Belanda, yang pelacakannya menggunakan kriteria 1) motorik halus, adaptasi, kepribadian dan perilaku sosial; 2) komunikasi; 3) motorik kasar. Termasuk juga pelacakan kemajuan kognisi (Stam, 2001). Selanjutnya anak-anak ini akan dikelompokkan sebagai anak yang membutuhkan perhatian khusus dan masuk dalam network penanganan (bimbingan, dan terapi) secara multidisplin terdiri dari dokter anak tumbuh kembang, dokter sekolah, psikolog, orthopedagog, speech patologist, ahli gerak, guru ekstra untuk masalah learning disabilities dlsb. Sewaktu-waktu ia memerlukan psychoeducational assessment ulang untuk melihat kemajuan perkembangan dan menentukan strategi penanganannya lebih lanjut. Terlebih anak-anak gifted sekalipun mempunyai perkembangan yang disinkroni, ia mempunyai pola perkembangan yang berskala besar, waktunya singkat, dan tidak sinkron. Karena itu berbagai perkembangannya sering mengejutkan, tidak disangka-sangka, dan sayangnya seringkali sulit diprediksi. Karena itu evaluasi dan program intervensi perlu dilakukan secara teratur dan sering.

HAMBATAN DALAM DETEKSI DINI

Kata-kata anak berbakat hingga kini masih menjerat pengertian masyarakat pada pengertian yang mewah, bahwa anak berbakat atau anak gifted adalah anak yang superior, penyandang medali, bisa hidup selamat dalam lingkungan anak-anak normal. Seseorang atau para orang tua yang tengah memperhatikan apakah anaknya kemungkinan merupakan anak gifted dapat dipandang ia tengah berlaku berlebihan oleh masyarakat, sehingga sering terjadi keengganan para orang tuanya untuk melihat kemungkinan ke arah ini, karena merasa malu.

Dalam laporannya, de Bruin-de Boer (2002) menjelaskan bahwa ada dua pilihan dari anak-anak gifted ini. Dia harus tetap menyesuaikan diri dengan norma umum, atau dia mempertahankan ‘kelainannya’. Oleh lingkungannya, sejak kecil anak-anak ini sudah dipandang ‘aneh’ dan berbeda. Penggunaan bahasanya, apa yang diharapkan dari persahabatannya, penelusuran minatnya seringkali tidak sesuai dengan teman-teman sebayanya.

Bila ia ke sekolah dasar, ada pilihan ia mengikuti apa yang dilakukan oleh teman-temannya, atau tetap sebagaimana apa adanya dirinya. Kedua alternatif itu juga mempunyai kerugian. Bila ia tetap pada sebagaimana dirinya sendiri, ia mempunyai risiko akan berada di luar kelompok. Namun apabila ia melakukan kompromi dengan norma teman-temannya, ia harus mengeluarkan begitu banyak enerji: karena ia tidak bisa melakukan sesuatu pekerjaan secara spontan, karena harus tetap mengikuti aturan permainan dimana ia berperanan.

Sementara itu kondisi di Indonesia sendiri belum memungkinkan adanya deteksi dini anak berbakat yang mengalami perkembangan disinkroni ini karena belum adanya kesepakatan fihak-fihak profesional yang ruang lingkupnya pada tumbuh kembang dan bimbingan anak-anak. Fihak profesional lebih cenderung menganggap bahwa anak-anak yang mengalami perkembangan tidak sebagaimana anak-anak normal akan dikelompokkan saja ke dalam kelompok anak bergangguan. Juga terdapat kecurigaan terhadap masyarakat, bahwa masyarakat kelaknya hanya akan memilih mengelompokkan anaknya ke dalam kelompok anak gifted atau berbakat saja tanpa memperhatikan masalah ketidak selarasan perkembangannya. Karena itu hingga saat ini hampir semua anak-anak ini terdiagnosa sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan dan gangguan mental, tanpa memperhatikan lagi masalah giftednessnya, faktor psikologisnya dan gaya belajarnya. Padahal menangani anak seperti ini perlu dibedakan dengan anak bergangguan perkembangan dan gangguan mental yang tanpa mempunyai giftedness.

Sebagai contoh memberikan strategi, materi, dan metoda pengajaran pada anak dengan kesulitan membaca atau disleksia bagi anak-anak gifted yang visual learner akan berbeda dengan anak-anak autisme ataupun PDDNOS (Pervasive Development Disorder Not Otherwise Specified) yang defisit dalam kemampuan berbahasa nonverbal (simbolik), deficit dalam hal kreativitas dan kemampuan logika analisis, serta defisit dalam kemampuan belajar secara didaktif. Walaupun kedua kelompok ini mempunyai skor perilaku autistik yang kurang lebih sama.

Begitu pula dengan perkembangan bicara pada anak-anak gifted ini, bila ia mulai mengalami perkembangan bicara dan bahasa, ia akan mampu cepat mengejar ketinggalannya, sementara anak-anak kelompok autisme agak sulit mendapatkan kemajuan yang cepat. Dengan begitu anak-anak gifted ini mempunyai prognosis yang lebih baik daripada anak-anak kelompok tanpa giftedness.

PENANGANAN

Anak-anak dengan perkembangan disinkroni ini sering pula disebut anak dengan kesulitan ganda (gifted with double exceptional). Sebab masalah keberbakatan yang disandangnya saja sudah menghadirkan kesulitan tersendiri. Karakteristiknya sebagai anak ber IQ tinggi, mempunyai logika analisis yang sangat baik, pemikir cepat, dan gaya berfikir yang berbeda seringkali mengalami kesulitan menempatkan diri di tengah kelompoknya. Sering pula berbuntut pada kesulitan bekerjasama dalam kelompok. Ditambah dengan masalah perkembangan yang tidak harmonis yang ditunjukkan dengan masalah perilaku, perkembangan sosial emosional, serta adanya berbagai syndrom gangguan perkembangan dan gangguan mental, akan lebih menyulitkan lagi. Giftednessnya sebagai kelebihan yang dimilikinya seringkali justru tertutup oleh berbagai masalah yang disandangnya, sehingga seringkali anak-anak ini luput dari perhatian dan hanya menerima diagnosa sebagai anak bergangguan. Sementara itu penanganan yang tepat adalah hanya dengan dukungan diagnosa yang tepat pula, dan sangat individual (van Vugt-van de Moosdijk, 2002).

Karena itu menangani anak-anak seperti ini membutuhkan perhatian ekstra yang luar biasa, bantuan berbagai tenaga profesi yang mempunyai kerjasama (dalam sebuah network dan sistem referal), kesepakatan terhadap diagnosa yang cermat, dan rancangan perencanaan penanganan, bimbingan, dan terapi yang dibutuhkan.

Langkah pertama yang perlu diambil adalah orang tua dan fihak profesional berlaku saling terbuka, serta melakukan pemantauan secara periodik dan bersama-sama untuk melihat semua faktor lemah dan faktor kuat yang dimiliki anak tersebut. Sehingga perencanaan intervensi diarahkan kepada dua arah sekaligus yaitu mengembangkan giftedness yang dimiliki serta memberikan bimbingan dan terapi pada perkembangan yang tidak selaras maupun masalah kesulitan belajar yang disandangnya seperti disleksia, diskalkulia ataupun disgrafia (van Vugt-van de Moosdijk, 2002).

Banyak pengalaman yang dilalui oleh para orang tua anak-anak kelompok ini, antara lain anak-anaknya telah mampu membaca di usia yang sangat dini, sekitar 2 – 3 tahun. Mereka belajar sendiri melalui logo-logo sebagai perwujudan dari kemampuan visual learning-nya. Namun saat dia awal sekolah dasar anak-anak ini mengalami kesulitan membaca karena tidak bisa mengeja, sehingga ia macam anak disleksia. Memberinya pelajaran mengeja padanya juga sulit karena ia telah terbiasa dengan gaya belajar yang dikembangkannya sendiri sebagai visual learner dan anak-anak ini memang merupakan anak-anak yang didaktif. Akibatnya anak-anak ini mengalami kesulitan dalam berbagai mata pelajaran. Tertinggalnya kemapuan komunikasi juga merupakan hambatan yang cukup besar.

Di sekolah taman kanak-kanak, karena kepekaan sensor rabanya yang sangat tinggi, ia tidak mau menggambar dengan cat air, tidak mau menempel-nempel, tidak mau bermain dengan malam, dan tidak menyukai warna, tidak mampu dan tidak mau mewarnai figur secara baik (akibat motorik halusnya masih tertinggal dan perfeksionistnya), tidak mau bernyanyi bersama, tidak mau bermain sandiwara, dan seterusnya, seringkali anak-anak ini justru dianggap bodoh oleh guru, diturunkan kembali ke kelompok bermain, atau diberi saran tidak masuk ke sekolah dasar, yang pada akhirnya justru membuat kefrustrasian karena pelajaran yang diterima tidak terstruktur dan tidak ada tantangan.
Perfeksionistmenya sering dianggap ia tidak kreatif, dan kreativitasnya yang tinggi justru ia sering dianggap tidak bisa bermain sebagaimana anak-anak lainnya.

Kemampuan dalam pelajaran menghapal yang lemah (akibat short term memory yang lemah) menjadikan anak-anak ini menerima angka merah dalam pelajaran Agama dan PKKn, dan akhirnya tidak naik kelas. Dalam pelajaran Agama ia dianggap pengacau karena sering bertanya-tanya tentang masalah kebenaran Agama.

Penanganan bukan saja diarahkan kepada anak di sekolah atau di tempat-tempat terapi, tetapi orang tua juga mempunyai peranan yang sangat besar dalam memberikan bimbingan dan terapi di rumah.
Pengetahuan yang cukup tentang karakteristik anaknya yang membutuhkan strategi penanganan secara khusus akan lebih memberi pengertian dan kemungkinan-kemungkinan cara mengatasi kesulitan secara baik. Hal yang sangat penting dan membantu dalam tugas pengasuhan ini adalah pemahaman tentang karakteristik anak akan memberikan rasa kesabaran yang luar biasa kepada para orang tua.

PENUTUP & BERBAGAI HARAPAN

Anak-anak gifted yang tidak mampu mencapai prestasi sebagaimana potensi yang dimilikinya akibat dari tidak terdukungnya perkembangan intelektualnya serta mengalami perkembangan disinkroni ini diperkirakan berjumlah setengah dari populasi anak gifted. Bila populasi anak gifted adalah 2 persen dari anak yang lahir, artinya jumlah anak-anak kelompok ini sangat besar. Karena itu perlu sekali adanya perhatian pada anak-anak ini, agar ia tidak melulu terjebak ke dalam berbagai diagnosa gangguan perkembangan dan mental, yang kurang menguntungkan baginya. Dengan semakin populernya diagnosa anak bergangguan, maka bisa dibayangkan trend anak-anak gifted yang terjebak ini akan semakin besar jumlahnya, dan kerugian serta masalahpun menjadi semakin rumit. Giftedness yang dimilikinya adalah karunia yang merupakan modal dan bekal dalam hidupnya kelak, yang merupakan haknya yang harus kita bantu untuk dikembangkan.

Diharapkan adanya kerjasama dalam bentuk network dan referal yang terpadu antar profesi, membangun kesepakatan akan deteksi dan diagnosa yang cermat, serta penanganannya.

Diharapkan fihak profesional dapat membimbing para orang tua dengan berbagai ilmu yang benar dan bukan pseudoscience seperti halnya yang banyak tersebar di dalam masyarakat saat ini. Tanpa adanya bimbingan dari lembaga-lembaga ilmiah, para orang tua akan mencari-cari sendiri dan akan sangat mudah terjebak ke dalam psiedoscience yang justru hanya akan menambah beban, keparahan serta perkembangan anak-anak ini tidak terlindungi.

KEPUSTAKAAN

De Hoop, F & Janson, DJ (1993) Omgaan met hoogbegaafde kinderen, Intro, Baarn.
De Bruin-de Boer, A (2002): Definitie en signalering van hoogbegaafdheid, Proceeding Seminar: Oog voor Oplossingen, herkenning, erkenning, en acceptatie van hoogbegaafde kinderen, landelijke vereniging Pharos, De Huisdrukkerij, Ridderkerk.
Gerven, E & Drent, S (2000), Een doorgaande lijn voor hoogbegaafde leerlingen, Lemma BV, Utrecht.
Greenspan, SI (1995): Kinderen met probleemgedrag, Het Spectrum, Den Haag.
Greenpsan, SI (1998): The Growth of the mind, Persseus Book, Cambridge-Massachusetts.
Levine, M(2002): A mind at a time, Simon & Schuster, New York.
Mooj,T (1991): Schoolproblemen van hoogbegaafde kinderen, Dick Cuitinho, Muiderberg
Mooij, T (1991): Onderwijs aan hoogbegaafde kinderen, Dick Cuitingo, Muiderberg.
Mönks, F &Ypenburg, I (1995): Hoogbegaafde kinderen thuis en op school, Samson HD Tjeenk Willink, Alphen aan de Rijn.
Nelissen, J & Span, P (1999): Begaafde kinderen op basisschool, Bekadidact, Baarn.
Neijenhuis, K (2003): Kinderen met luisterproblemen, Fenac, Multiprint, Doorn.
Reuver,J (2003): De WISC-RN als presenterblaadje? Een onderzoek naar het vaststellen van schoolproblemen bij kinderen op basis van het verschil tussen hun verbal en performal IQ, Doctoraalscrieptie opleiding Pedagogische wettenschappen afstudeerichting orthopedagogiek, Universiteit Leiden.
Sack, O (2002): Een antropoloog op mars, Meulenhof, Amsterdam.
Stam, E (2001): Ontwikkelingonderzoek op het consultatiebureau – Gerichte advissering aan ouders is wel moglijk, Talent Tijdschrift over hoogbegaafdheid ed Maart – Utrecht.
Vermuelen, P (1999): Brein Bedriegt, als autisme niet op autisme lijk, EPO, Berchem.
Vermuelen, P (2002): Beter vroeg dan laat, beter laat dan nooit. De onderkenning van autisme bij noormaal tot hoogbegaafde personen (dissertatie van de graad van Doctor aan de Leiden Universiteit), EPO, Berchem.
Vermuelen, P & Fink, C (2003): Dialogica, Autisme < = > Kunst, Uitgeverij EPO, Berchem.
Van Vugt-van de Moosdijk (2002): Co-morbiditeit: als tweestoornissen samenkomen, Proceeding Seminar: Oog voor Oplossingen, herkenning, erkenning, en acceptatie van hoogbegaafde kinderen, landelijke vereniging Pharos, De Huisdrukkerij, Ridderkerk
West.G.Thomas (1997): In the Mind’s Eye, visual thinker, gifted people with dyslexia and other learning difficulties, computer images and the ironies of creativity, Prometheus Books, New York.













....