Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Selasa, November 25, 2008

Repotnya urusan ilmu keberbakatan


REPOTNYA URUSAN ILMU KEBERBAKATAN


Menjadi saya, setidaknya seorang ibu yang hidup diNegara Belanda yang mempunyai UU tentang anak berbakat (sebagai anak yang memerlukan perhatian khusus), mau tidak mau terjerat dalam sistem yang mengatur pendidikan anak berbakat. Menjadi orang tua anakberbakat, terlebih dual exceptional (mempunyaikeistimewaan ganda, yaitu potensi keberbakatan,sekaligus mengalami perkembangan tidak sinkron yang mengganggu perkembangannya), serta merta akan menjadi salah satu sasaran tembak perhatian berbagai fihak.


Orang tua mempunyai kewajiban membaca, harus mengikuti kursus ketrampilan pengasuhan, selalu dipantau apa saja yang kita kerjakan. Bagi saya urusan begini cukup menyenangkan, banyak teman untuk diajak berbicara, banyak ahli bisa ditanyai, dan apa yang sangat saya rasakan adalah,santapan ilmu keberbakatan yang saya kunyah terasa manis, menyenangkan, bagai suatu titian manis ditengah hijaunya sawah dan kebun. Baunya harum. Saya diwajibkan menjadi anggota kelompok orang tua anakberbakat yang dilindungi oleh pemerintah, dan dibimbing oleh pusat-pusat keberbakatan dari universitas. Ilmu yang dikucurkan kepada para anggota selalu melalui saringan ketat. Info terbaru cepat berada di tangan. Anggota selalu mendapatkan undan gangratis mengikuti kongres dan seminar.


Diskusi demi diskusi selalu kita lontarkan, ada yang berbahasa Belanda diikuti oleh masyarakat Belanda danBelgia (bagian yg berbahasa Belanda). Ada yang berbahasa Inggris, untuk masyarakat internasional. Namun ternyata ilmu ini selalu tidak manis, jika kita nglayap sampai luar negara-negara Eropa. Hal ini karena banyaknya definisi dan pengertian keberbakatan itu sendiri, yang kalau tidak hati-hati kita bisa benjol benjol dalam mendalaminya. Terutama yang sayarasakan jika mengikuti diskusi di mailing list Indonesia, benjolannya banyak luar biasa. Lima tahunan sudah saya mengikuti diskusi anakberbakat di berbagai mailinglist Indonesia dan turut berbicara di berbagai forum, ilmu yang saya sampaikan terasa bagai ilmu aneh dari negeri entah dimana.Sehingga rasanya sering seperti manusia dari planit Mars turun ke bumi. Ilmu keberbakatan yang harus dan mau tidak mau yang saya fahami adalah, bahwa keberbakatan adalah suatu potensi bawaan (genetic/nature) yang memerlukan pengasuhan yang sesuai dengan kebutuhan dan personalitasnya yang dipunyai setiap anak berbakat yang setiap anak berbakat pun berbeda-beda (nurture).


NATURE + NURTURE itulah formula yang harus kami pegang. Tetapi dalam berbagai diskusi di Indonesia sering muncul pendekar pendekar dari partai NURTURE yang membawa bendera berkibar kibar menggapai para orang tua dengan dalil: membantu menggali bakat anak,bagaimana menjadikan anak kita jenius unggulan, setiap anak pada dasarnya cerdas-berbakat-atau jenius. Atau kata-kata: kita juga bisa menjadi jenius. Mau tak mau partai nurture ini berhadap hadapan dengan partai kami. Perang tanding silat lidah, baik frontal maupun tidak. Lontaran mercon yang biasa kami terima antara lain:- sudah terbukti bahwa anak yang tidak punya orang tua dan nenek moyang pemusik ternyata jika ia dilatih baik baik bisa menjadi pemusik unggulan.


Jika pendapatnya kami tolak, maka ia akan melemparkan mercon kembali berbunyi begini:- anda kan dari bangsa NATURE jadi kan kalau punya anak pasrah pada genetic lalu anaknya dibiar-biarkan,sehingga potensi yang ada tidak dikembangkan. Jadi sering disangka partai kami adalah partai NATURE dan mereka membuat pertentangan antar partai ini menjadi NATUR vs NURTURE.
Cukup lama saya merenungi mengapa mereka tidak bisa menangkap jiwa partai kami (natur + nurture). Setelahmenjelajah dunia melalui berbagai diskusi lainnya,ternyata teori yang kami serap di belahan Eropa memang berbeda dengan ilmu keberbakatan yang popular diAmerika. Disinilah mulainya peperangan antar partai itu.


Adalah kenyataan yang harus dikunyah masyarakat, kaum politik, dan kelompok scientist Amerika, sejak diumumkannya hasil penelitian panjang longitudinal terhadap sebanyak 12.000 anak muda Amerika yang dilakukan pengukuran terhadap IQ nya, yang diikuti sejak tahun 1979. Hasilnya menunjukkan bahwa IQ kelompok anak-anak kulit putih lebih tinggi dari pada anak-anak kulit hitam, miskin, dan datang dari latarbelakang orang tua yang mempunyai pendidikan rendah.


Sementara itu pada saat itu teori keberbakatan mengatakan bahwa keberbakatan adalah merupakan genetic, atau bawaan. Maka hasil penelitian itu mengidikasikan bahwa kelompok orang kulit berwarna mempunyai genetic yang tidak baik, karena inteligensia rendah sering dihubungkan sebagai sumber terjadinya masalah masalah sosial seperti kekerasan, criminal,dan masalah sosial yang patologis lainnya, yang dengan catatan karena hal ini menyangkut masalahgenetic maka nasibnya tidak mungkin dirubah. Kesimpulan ini membawa reaksi yang hebat terhadap IQtest dan kelompok psikometrik, dengan tudingan IQ test merupakan alat untuk secara politis mendiskriminasi kelompok kulit berwarna.


Heboh baik dikalangan politik dan ilmuwan, membawa berbagai pemikiran baru. Banyak kalangan yang ingin menisbikan test IQ, dan mencari pemikiran baru terhadap apa artinya inteligensia.Karena IQ sudah menunjukkan bias sosial dan cultural yang luar biasa, yang bisa merugikan suatu kelompok. Inteligensia yang diukur melalui IQ test akan menghasilkan hal sebagai berikut:Ada kelompok yang mempunyai IQ sangat tinggi disebut sebagai jenius dengan jumlah yang sangat kecil yang kemudian dituding sebagai kelompok elit, ada kelompok gifted yang ber IQ lebih rendah daripada jenius,bahkan di bawah kelompok normal ada kelompok IQ below dan idiot. Pemaparan IQ dari kiri ke kanan dan dari rendah ke tinggi ini disebut Bell Curve. (Konflik ini bisa dibaca dalam buku The Bell Curve Wars).


Adalah seorang psikolog Havard University bernama Howard Gardner mempunyai ide, manusia tidak perlu lagi memikirkan nasibnya melalui test IQ (sebagai reaksi kenyataan tadi). Menurutnya sekalipun seseorang itu tidak mempunyai tangan ia masih bisa hidup dengan suaranya. Ia mencontohkan pada dirinya yang butawarna, sekalipun ia buta warna ia juga masih bisa berprestasi hebat. Karena itu ia mengusulkan menggunakan teorinya, yaitu multiple inteligence.Multiple inteligence ini merupakan klasifikasi berdasarkan observasi terhadap talenta apa saja yang bisa diwujudkan oleh seseorang. Talenta itu dalam wujud: linguistic, mathematical, musical, spatial,bodily/kinesthetic, interpersonal and intrapersonal,naturalist and existential Ia tidak membicarakan masalah giftedness (bakat) tetapi ia membicarakan tentang talenta.


Karena ia justru menghindari kata-kata inteligensia tinggi bila ditunjukkan melaluihasil test IQ yang tinggi. Bukunya menjadi best seller dimana mana yang diterbitkan tahun 1983 dengan judul The Frame of the Minds. Ia aktif berbicara dimana-mana, melakukan talkshow di radio, dan banyak menulis artikl dan buku. Salah satu bukunya yang juga terkenal dan banyak membicarakan multiple intelligence ini adalah: Intelligence Reformed, MultipleIntelligence for the 21st century.


Buku Howard Gardner ini sangat laris bahkan digunakan oleh banyak institusi yang mencoba menggali bakat anak. Karena menolak IQ sebagai bawaan maka masalah perkembangan otak yang menyangkut talenta ini dijelaskan bahwa setiap bagian otak mempunyai/merupakan bagian yang memiliki potensi talenta tadi yang perlu distimulasi. Dari sini maka muncullah upaya-upaya orang membuat program bagaimana menstimulasi otak anak terutama di usia masih sangat muda, yang dipercaya sebagai the golden period. Apalagi setelah munculnya buku The Myth of the FirstThree Years, dari John Bruer yang merupakan buku psedoilmiah mengatasnamakan neuroscience dan mendapat kecaman dari kelompok zero to three yaitu asosiasi dokter anak neuroscience and development Amerika.


Talenta versi Gardner yang menjelaskan bahwa setiap bagian otak memiliki potensi talenta yang perlu distimulasi (karena menolak genetik maka bisa dianggap bahwa semua otak orang sama saja), sekalipun sampai saat ini belum pernah ada yang bisa menjelaskan dan mampu menunjukkan dimana saja letak potensi itu di dalam otak, bahkan belum ada yang bisa mengukurnya,tetapi kini orang sudah repot menstimulasi otak kiri dan kanan.


Tulisan tulisan psedoilmiah tentang stimulasi otak kiri dan otak kanan bertebaran dimana-mana. Disambung selanjutnya dengan dongeng konflik teori yang membuat kita kebingungan dan sampai benjol benjol….
Salam
Julia Maria van Tiel
15 Juni 2005
Seminar online WRM



REPOTNYA ILMU ANAK BERBAKAT

Masih melanjut dongeng konflik anak berbakat yang membuat kita para orang tua sebagai konsumen ilmu jadi berkepala benjol-benjol karena menghadapi baku hantam teori yang harus dianut. Baku hantam yang pada dasarnya untuk memilih jalan dan titian yang harus ditempuh dalam tugas pengasuhan anaknya, pada umumnya berkisar pada keputusan yang harus diambil yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan:
- Apakah keberbakatan itu keturunan atau bisa kita buat (diproses)
- Jika diturunkan artinya memang ada kelompok-kelompok tertentu yang memang di dunia ini menjadi kelompok anak berbakat yang tidak bisa diganggu gugat lagi, dan jika bisa dibuat bagaimana membuatnya? Pertanyaan bagaimana membuatnya ini juga bisa baku hantam lagi sampai benjol-benjol karena antara satu paket how to create geniusity dengan paket yang lainnya saling berlomba siapa paling hebatsss paling cepat, dan fullspeed. Mulai dari cara ngajak ngobrol dengan bayi sebagai cara yang paling murah, sampai yang menggunakan flaschcard, alat main educatif, CD musik dan VCD.



Konflik ini juga banyak dibahas-bahas oleh HJ Eysenck, seorang professor psikologi dari universitas London. Bersama L Kamin yang juga professor psikologi di Universitas Princetown –Amerika, Eysenck menulis buku berjudul INTELLIGENCE: THE BATTLE OF MINDS (1981), buku yang sangat laris bombastis karena menjelaskan pertempuran tentang inteligensia: diturunkan atau diproses? Kedua psikolog ini adalah ahli-ahli yang banyak melakukan penelitian keberbakatan dari sisi genetic. Buku ini banyak menjelaskan tentang mengapa terjadi konfrontasi dua kubu antara kubu yang mempercayai bahwa keberbakatan adalah tergantung dari genetic (nature) , dan di kubu lain tergantung dari pengaruh lingkungan (nurture).

Leo Kamin salah seseorang yang mendisain sensus nasional IQ Amerika tahun 1979 yang menghasilkan gambaran yang menghebohkan, dimana kelompok kulit berwarna dan kelompok miskin menunjukkan IQ yang lebih rendah dari IQ kulit putih, yang kesimpulan dengan dasar IQ kulit berwarna secara genetic lebih buruk dari kulit putih, sementara itu rendahnya intelligensia sering dihubung-hubungkan dengan masalah sosial yang patologis (kriminal, kekerasan, drugs, dlsb). Genetik, artinya tidak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu dalam sejarahnya Amerika selalu mengalami konflik antar ras, perbudakan, dan diskrimiansi. Leo Kamin menjadi sasaran tudingan penipuan ilmiah yang mampu memperkuat konflik diskriminasi di Amerika. Hasil akhir IQ akhirnya memicu perang antar ilmuwan, yang reaksinya dipelopori oleh kelompok ilmuwan sosial. Hingga akhirnya muncullah kelompok nurture yang terkenal yang menisbikan IQ, yaitu kelompok MI (multiple intelligence), EQ (Emotional Intelligence) dan SQ (Spritual Intelligence).

Sementara di Amerika perang kedua kelompok yang tak pernah rampung hingga kini, yang debatnya bisa membuat benjol, bahkan konflik ini meleber ke belahan dunia lain, di belahan Eropa mempunyai sejarah sendiri dalam perkembangan keberbakatan.

Sejarahnya dimulai di tahun 1970 dengan penelitian panjang yang diketuai oleh JF Mönks seorang psikolog pendidikan dari Universitas Nijmegen (kini menjadi Direktur European Council for High Ability untuk ke 3 kalinya, dengan selang kepemimpinan yang dipegang oleh orang lain). Hal yang mendorong diadakannya penelitian ini adalah karena banyaknya anak-anak yang mendapatkan diagnosa MBD (Minor Brain Damage, pada waktu itu diagnosa ini lebih populer) dan mendapatkan berbagai terapi dan revalidasi, serta ditempatkan di panti-panti dan sekolah untuk anak-anak yang sangat bermasalah, namun berbagai tindakan yang diberikan ini bukan memecahkan masalah tetapi lebih memperburuk keadaan. Pada waktu Mönks melakukan assessment perkembangan inteligensia, menunjukkan bahwa anak-anak ini ternyata mempunyai potensi giftedness tinggi yang tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam pendidikannya. Kepada anak-anak ini kemudian dilakukan rehabilitasi, namun ternyata upaya rehabilitasi lebih sulit jika giftedness anak-anak seperti ini telah dapat dideteksi dan segera diberikan pendidikan yang terstruktur sejak dini.

Maka sejak tahun 1973 dimulailah penelitian panjang tentang anak-anak gifted Belanda, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Keberbakatan atau CBO (Centrum voor Begaafdheids Onderzoek) Universitas Nijmegen. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa setengah populasi anak-anak berbakat ternyata mengalami prestasi rendah yang tidak sesuai dengan potensi yang diharapkan. Berbagai hal yang menyebabkan jatuhnya prestasi ini antara lain karena dukungan terhadap berbagai perkembangan dan intelektual si anak baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat menunjukkan dukungan yang tidak mencukupi (artinya faktor nurture juga berperanan). Hasil penelitian ini kemudian melengkapi teori Triadik Renzulli menjadi Triadik Renzulli-Mönks yang dipublikasinya tahun 1988 (Monks & Ypenburg,1995). Teori inilah yang kini menjadi dasar perundang-undangan dan pendidikan anak-anak gifted di berbagai negara di Eropa.

Istilah gifted di Belanda lebih dikenal dengan sebutan hoogbegaafd (potensi tinggi) yang dalam penggunaan bahasa Inggris lebih dikenal dengan istilah high ability yang pengertiannya lebih mengacu pada potensi yang dimiliki setiap anak gifted, daripada produk atau prestasi yang dihasilkan. Istilah high ability ini kini lebih banyak digunakan dan menjadi istilah resmi di berbagai negara Eropa. Dalam kerjasama pendidikan anak-anak gifted di Eropa, berbagai negara bersatu dan membentuk sebuah lembaga konsil dengan nama ECHA (European Council for High Ability). Sementara Amerika masih menggunakan istilah Gifted Center (ECHA,2004,
http://www.echa.ws/) . Perbedaan dasar teori dua belahan benua antara Eropa dan Amerika ini juga membawa dampak pada debat teoritis tentang anak-anak gifted yang membutuhkan pendekatan dan waktu yang tidak sedikit. Debat teoritis yang belum selesai ini akan membawa pada tidak pernah selesainya perundang-undangan tentang pendidikan anak-anak gifted di Amerika yang sebetulnya model pendekatannya kemudian banyak ditiru oleh banyak negara yang mengacu pada pendidikan model Amerika.

Mönks, bersama ECHA-nya terus menerus melakukan kampanye pendekatan baru pendidikan anak-anak berbakat ke seluruh dunia melalui kongres-kongres internasionalnya. Debat Nature vs Nurture harus dihentikan, karena yang menjadi korban adalah anak-anak generasi muda sebagai produk rekayasa sistem perundang-undangan yang mengatur sistem pendidikan jika didasari hanya salah satu kubu tersebut (nature atau nurture).

Namun upaya ini bukannya mudah, sangat sulit, sekalipun UNESCO telah menyerukan Deklarasinya di tahun 1994 yang terkenal dengan deklarasi Salamanca yang ditandatangani oleh seluruh anggota Unesco dari seluruh dunia (entah kenapa kok Indonesia engga ikutan), bahwa setiap anak adalah unik, yang mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya. Realisasi deklarasi ini adalah turunnya upaya-upaya pendekatan pendidikan yang disebut pendidikan inklusif yang merubah filosofi sistem pendidikan dari content based curriculum (kurikulum berbasis materi) ke arah competence-based curriculum (kurikulum berbasis kompetensi). Pendidikan haruslah menghormati setiap anak dengan kompetensinya masing masing. Pada akhirnya sistem pendidikanpun menjadi pendidikan yang adaptif, artinya tawaran pendidikan harus bisa diterima oleh setiap anak, harus sesuai dengan keunikan anak.

Hasil deklarasi ini juga menurunkan pengertian tentang anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus, karena keunikannya tadi, antara lain adalah anak-anak berbakat (gifted). Anak gifted bukan lagi dipandang sebagai menjadi anak yang istimewa yang akan dengan sendirinya mampu menyapu medali, tetapi anak-anak ini memerlukan juga pendekatan yang arif. Banyak diantara anak-anak penyandang gen gifted yang ternyata mengalami gangguan belajar (learning disabilities) sebagai hidden disabilities, suatu cacat yang disandangnya dan sulit nampak dari luar. Dalam sejarahnya banyak anak-anak gifted yang menderita, karena ketidak mengertian kita padanya.
(kisah ini saya tuangkan di Kompas, baca:
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/2004/09/kisah-duka-anak-anak-jenius.html yang ternyata banyak menarik pembaca dan mengirim email pada saya).

Kisah-kisah dan sejarah ilmu keberbakatan ini artinya mengisyaratkan pada kita bahwa, siapapun anak kita, bagaimanapun anak kita ia mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Genetik saja bukan jaminan jika tidak diberi dukungan pendidikan dan pengasuhan yang sesuai. Artinya memiliki IQ tinggi saja bukan jaminan, dan yang mempunyai IQ sedang sedang saja bukan berarti tidak akan menjadi orang sukses jika tidak diikuti dengan pendidikan dan pengasuhan yang baik. Seorang yang mempunyai IQ sedang sedang saja pun akan mampu menjadi orang sukses.

Mudah-mudahan tulisan ini bisa menghentikan debat kita, dan mulailah dengan tenaga baru membuka wacana baru mengasuh dan memahami anak kita, tak perlu terpancing pada konflik dunia.

Julia Maria van Tiel
16 Juni 2005
Seminar Online WRM

....