Repotnya urusan ilmu keberbakatan
Seminar online WRM
REPOTNYA ILMU ANAK BERBAKAT
Masih melanjut dongeng konflik anak berbakat yang membuat kita para orang tua sebagai konsumen ilmu jadi berkepala benjol-benjol karena menghadapi baku hantam teori yang harus dianut. Baku hantam yang pada dasarnya untuk memilih jalan dan titian yang harus ditempuh dalam tugas pengasuhan anaknya, pada umumnya berkisar pada keputusan yang harus diambil yang timbul dari pertanyaan-pertanyaan:
- Apakah keberbakatan itu keturunan atau bisa kita buat (diproses)
- Jika diturunkan artinya memang ada kelompok-kelompok tertentu yang memang di dunia ini menjadi kelompok anak berbakat yang tidak bisa diganggu gugat lagi, dan jika bisa dibuat bagaimana membuatnya? Pertanyaan bagaimana membuatnya ini juga bisa baku hantam lagi sampai benjol-benjol karena antara satu paket how to create geniusity dengan paket yang lainnya saling berlomba siapa paling hebatsss paling cepat, dan fullspeed. Mulai dari cara ngajak ngobrol dengan bayi sebagai cara yang paling murah, sampai yang menggunakan flaschcard, alat main educatif, CD musik dan VCD.
Konflik ini juga banyak dibahas-bahas oleh HJ Eysenck, seorang professor psikologi dari universitas London. Bersama L Kamin yang juga professor psikologi di Universitas Princetown –Amerika, Eysenck menulis buku berjudul INTELLIGENCE: THE BATTLE OF MINDS (1981), buku yang sangat laris bombastis karena menjelaskan pertempuran tentang inteligensia: diturunkan atau diproses? Kedua psikolog ini adalah ahli-ahli yang banyak melakukan penelitian keberbakatan dari sisi genetic. Buku ini banyak menjelaskan tentang mengapa terjadi konfrontasi dua kubu antara kubu yang mempercayai bahwa keberbakatan adalah tergantung dari genetic (nature) , dan di kubu lain tergantung dari pengaruh lingkungan (nurture).
Leo Kamin salah seseorang yang mendisain sensus nasional IQ Amerika tahun 1979 yang menghasilkan gambaran yang menghebohkan, dimana kelompok kulit berwarna dan kelompok miskin menunjukkan IQ yang lebih rendah dari IQ kulit putih, yang kesimpulan dengan dasar IQ kulit berwarna secara genetic lebih buruk dari kulit putih, sementara itu rendahnya intelligensia sering dihubung-hubungkan dengan masalah sosial yang patologis (kriminal, kekerasan, drugs, dlsb). Genetik, artinya tidak bisa diperbaiki lagi. Sementara itu dalam sejarahnya Amerika selalu mengalami konflik antar ras, perbudakan, dan diskrimiansi. Leo Kamin menjadi sasaran tudingan penipuan ilmiah yang mampu memperkuat konflik diskriminasi di Amerika. Hasil akhir IQ akhirnya memicu perang antar ilmuwan, yang reaksinya dipelopori oleh kelompok ilmuwan sosial. Hingga akhirnya muncullah kelompok nurture yang terkenal yang menisbikan IQ, yaitu kelompok MI (multiple intelligence), EQ (Emotional Intelligence) dan SQ (Spritual Intelligence).
Sementara di Amerika perang kedua kelompok yang tak pernah rampung hingga kini, yang debatnya bisa membuat benjol, bahkan konflik ini meleber ke belahan dunia lain, di belahan Eropa mempunyai sejarah sendiri dalam perkembangan keberbakatan.
Sejarahnya dimulai di tahun 1970 dengan penelitian panjang yang diketuai oleh JF Mönks seorang psikolog pendidikan dari Universitas Nijmegen (kini menjadi Direktur European Council for High Ability untuk ke 3 kalinya, dengan selang kepemimpinan yang dipegang oleh orang lain). Hal yang mendorong diadakannya penelitian ini adalah karena banyaknya anak-anak yang mendapatkan diagnosa MBD (Minor Brain Damage, pada waktu itu diagnosa ini lebih populer) dan mendapatkan berbagai terapi dan revalidasi, serta ditempatkan di panti-panti dan sekolah untuk anak-anak yang sangat bermasalah, namun berbagai tindakan yang diberikan ini bukan memecahkan masalah tetapi lebih memperburuk keadaan. Pada waktu Mönks melakukan assessment perkembangan inteligensia, menunjukkan bahwa anak-anak ini ternyata mempunyai potensi giftedness tinggi yang tidak pernah menjadi bahan pertimbangan dalam pendidikannya. Kepada anak-anak ini kemudian dilakukan rehabilitasi, namun ternyata upaya rehabilitasi lebih sulit jika giftedness anak-anak seperti ini telah dapat dideteksi dan segera diberikan pendidikan yang terstruktur sejak dini.
Maka sejak tahun 1973 dimulailah penelitian panjang tentang anak-anak gifted Belanda, yang dilakukan oleh Pusat Penelitian Keberbakatan atau CBO (Centrum voor Begaafdheids Onderzoek) Universitas Nijmegen. Hasil penelitian itu menunjukkan bahwa setengah populasi anak-anak berbakat ternyata mengalami prestasi rendah yang tidak sesuai dengan potensi yang diharapkan. Berbagai hal yang menyebabkan jatuhnya prestasi ini antara lain karena dukungan terhadap berbagai perkembangan dan intelektual si anak baik di sekolah, keluarga maupun masyarakat menunjukkan dukungan yang tidak mencukupi (artinya faktor nurture juga berperanan). Hasil penelitian ini kemudian melengkapi teori Triadik Renzulli menjadi Triadik Renzulli-Mönks yang dipublikasinya tahun 1988 (Monks & Ypenburg,1995). Teori inilah yang kini menjadi dasar perundang-undangan dan pendidikan anak-anak gifted di berbagai negara di Eropa.
Istilah gifted di Belanda lebih dikenal dengan sebutan hoogbegaafd (potensi tinggi) yang dalam penggunaan bahasa Inggris lebih dikenal dengan istilah high ability yang pengertiannya lebih mengacu pada potensi yang dimiliki setiap anak gifted, daripada produk atau prestasi yang dihasilkan. Istilah high ability ini kini lebih banyak digunakan dan menjadi istilah resmi di berbagai negara Eropa. Dalam kerjasama pendidikan anak-anak gifted di Eropa, berbagai negara bersatu dan membentuk sebuah lembaga konsil dengan nama ECHA (European Council for High Ability). Sementara Amerika masih menggunakan istilah Gifted Center (ECHA,2004, http://www.echa.ws/) . Perbedaan dasar teori dua belahan benua antara Eropa dan Amerika ini juga membawa dampak pada debat teoritis tentang anak-anak gifted yang membutuhkan pendekatan dan waktu yang tidak sedikit. Debat teoritis yang belum selesai ini akan membawa pada tidak pernah selesainya perundang-undangan tentang pendidikan anak-anak gifted di Amerika yang sebetulnya model pendekatannya kemudian banyak ditiru oleh banyak negara yang mengacu pada pendidikan model Amerika.
Mönks, bersama ECHA-nya terus menerus melakukan kampanye pendekatan baru pendidikan anak-anak berbakat ke seluruh dunia melalui kongres-kongres internasionalnya. Debat Nature vs Nurture harus dihentikan, karena yang menjadi korban adalah anak-anak generasi muda sebagai produk rekayasa sistem perundang-undangan yang mengatur sistem pendidikan jika didasari hanya salah satu kubu tersebut (nature atau nurture).
Namun upaya ini bukannya mudah, sangat sulit, sekalipun UNESCO telah menyerukan Deklarasinya di tahun 1994 yang terkenal dengan deklarasi Salamanca yang ditandatangani oleh seluruh anggota Unesco dari seluruh dunia (entah kenapa kok Indonesia engga ikutan), bahwa setiap anak adalah unik, yang mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya. Realisasi deklarasi ini adalah turunnya upaya-upaya pendekatan pendidikan yang disebut pendidikan inklusif yang merubah filosofi sistem pendidikan dari content based curriculum (kurikulum berbasis materi) ke arah competence-based curriculum (kurikulum berbasis kompetensi). Pendidikan haruslah menghormati setiap anak dengan kompetensinya masing masing. Pada akhirnya sistem pendidikanpun menjadi pendidikan yang adaptif, artinya tawaran pendidikan harus bisa diterima oleh setiap anak, harus sesuai dengan keunikan anak.
Hasil deklarasi ini juga menurunkan pengertian tentang anak-anak yang membutuhkan perhatian khusus, karena keunikannya tadi, antara lain adalah anak-anak berbakat (gifted). Anak gifted bukan lagi dipandang sebagai menjadi anak yang istimewa yang akan dengan sendirinya mampu menyapu medali, tetapi anak-anak ini memerlukan juga pendekatan yang arif. Banyak diantara anak-anak penyandang gen gifted yang ternyata mengalami gangguan belajar (learning disabilities) sebagai hidden disabilities, suatu cacat yang disandangnya dan sulit nampak dari luar. Dalam sejarahnya banyak anak-anak gifted yang menderita, karena ketidak mengertian kita padanya.
(kisah ini saya tuangkan di Kompas, baca:http://gifted-disinkroni.blogspot.com/2004/09/kisah-duka-anak-anak-jenius.html yang ternyata banyak menarik pembaca dan mengirim email pada saya).
Kisah-kisah dan sejarah ilmu keberbakatan ini artinya mengisyaratkan pada kita bahwa, siapapun anak kita, bagaimanapun anak kita ia mempunyai keunikan sendiri-sendiri. Genetik saja bukan jaminan jika tidak diberi dukungan pendidikan dan pengasuhan yang sesuai. Artinya memiliki IQ tinggi saja bukan jaminan, dan yang mempunyai IQ sedang sedang saja bukan berarti tidak akan menjadi orang sukses jika tidak diikuti dengan pendidikan dan pengasuhan yang baik. Seorang yang mempunyai IQ sedang sedang saja pun akan mampu menjadi orang sukses.
Mudah-mudahan tulisan ini bisa menghentikan debat kita, dan mulailah dengan tenaga baru membuka wacana baru mengasuh dan memahami anak kita, tak perlu terpancing pada konflik dunia.
Julia Maria van Tiel
16 Juni 2005
Seminar Online WRM
<< Beranda