Diagnosis Anak Jenius
Diagnosis Anak Jenius
Oleh: Julia Maria van Tiel
Republika, 5 Maret 2002
Menyimak tulisan tentang masalah autisme dalam dua terbitan Republika (25 dan 26 Februari 2002), buat saya sangat menarik sekaligus menimbulkan greget tersendiri. Bagaimana tidak dalam satu tulisan bisa menampilkan sebuah polemik tentang penyebab autisme, satu ahli mengatakan penyebabnya belum diketahui, kemungkinan besar faktor genetik membawa peranan; tetapi ahli lain mengatakan banyak faktor sebagai penyebab baik saat kehamilan maupun pasca kelahiran.
Satu ahli mengatakan terapinya adalah terapi perilaku yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan dalam menghadapi konflik antar-diagnotician tentang label dan kekhawatiran adanya overdiagnosis, ia lebih memilih jalan tengah, bahwa kita tidak perlu pusing dengan label, tetapi berbagai penyimpangan maupun kelainan pertumbuhan dan perkembangan hendaknya ditangani sedini-dininya. Sementara itu ahli lain tetap mengharapkan penggunaan label autisme dengan mengatakan bahwa masyarakat hendaknya jangan menutup mata jika anaknya mengalami gangguan autisme.
Autisme yang merebak saat ini--di dunia maupun Indonesia--telah menjadi momok buat semua orangtua. Bagaimana tidak jika isunya mengatakan bahwa di Indonesia saja mencapai 1:150 anak mengalami hal ini, dan tidak akan sembuh pula. Isu vaksin sebagai biang keladi pun menjadi hantu yang cukup mengerikan. Bagi orangtua yang anaknya terstempel label autisme (yang tidak mungkin sembuh itu), serta merta mengalami kepanikan dan diterima oleh berbagai terapi alternatif komersial baik radikal maupun tidak, serta belum jelas hasilnya.
Ironisnya seperti yang diakui ahli dalam tulisan itu, masalah diagnosis autisme sendiri masih diperdebatkan oleh para dokter sendiri. Ada yang mengatakan betul autisme, atau hanya hiperaktif saja, bahkan bukan apa-apa, saat menghadapi suatu pasien yang sama.
Lalu bagaimana kita mampu memilih bentuk terapi yang benar, jika kausa dan diagnosisnya masih menjadi perdebatan?
Sementara itu, para orangtua sangat resah ingin segera mengerti tentang anaknya itu, agar mampu menjadikan anak yang mandiri. Label autisme (sekalipun masih kontraversial, dalam spektrum, sindrom, berat-ringan, autistik features) membawanya mengembara mencari-cari, seperti apakah kelak anakku ini? Ternyata yang ketemu, figur Rain Man dalam sebuah film yang dimainkan Dustin Hoffman--seorang autis savant yang idiot dengan kemampuan memori verbal dan memori visual yang hebat sehingga mampu bermain perkalian sampai berdigit-digit tanpa kalkulator. Atau bertemu pada figur asperger yang mampu menjadi seorang doktor sekalipun, tetapi mengalami gangguan berkomunikasi dengan orang lain. Padahal tipe autisme asperger ini pada waktu balita tidak mengalami keterlambatan bicara. Disangkanya kelak anaknya akan seperti itu, padahal autis savant hanya berjumlah 10 persen dari autisme infantil yang mental retarded, dan asperger yang ber IQ tinggi hanya berjumlah tiga persen saja dari kelompoknya.
Saya bersama beberapa rekan dokter dan psikolog secara sukarela dan nirlaba meluangkan waktu membina mailinglist anak berbakat. Mencari informasi ke seluruh dunia dan menyampaikan ke tanah air. Kami dan para anggota mailing list adalah para orangtua yang mempunyai anak- anak yang senasib, menyadari bahwa kami adalah kelompok yang terjepit, dan kebingungan. Bagaimana tidak, di antara para anggota kami, anak- anaknya pernah mendapat stempel bermacam-macam, bahkan ada yang sampai 5 jenis diagnosis. Atau jika anak itu ternyata sudah mampu bicara dengan baik, diagnosis pun berubah, tadinya autisme berubah menjadi ADHD (Attantion Deficit Hyperactivity Disorder). Atau karena sangat pintar, ia terdiagnosis sebagai autis savant, ataupun autis asperger. Sesuatu hal yang tidaklah mungkin, karena autisme sulit mengalami pencapaian taraf perkembangan yang drastis macam anak-anak kami, autisme tidak kreatif dan tidak analistis. ADHD sendiri tidak pernah mengalami keterlambatan bicara. Terapi psikotropika pun dari risperdal bagi autisme berubah kepada ritalin bagi ADHD. Atau bahkan ada yang sekaligus risperdal dan ritalin. Atau pagi harus menelan risperdal dan sore menelan prozac. Belum lagi berbagai terapi alternatif sampingan yang bukan saja menguras kantung, tetapi juga emosi. Pencarian sekolah pun menjadi dilema, mereka ditolak dimana-mana, mulai dari sekolah luar biasa hingga sekolah biasa, karena dianggap bergangguan jiwa.
Air mata yang tumpah bertahun-tahun dari para orangtua itu, yang selalu dituding sebagai orangtua yang denial terhadap diagnosis autisme anaknya, telah menyadarkan kami, saat anak-anak ini telah mampu menjalani test IQ di usianya yang ke lima atau ke enam. Mereka ternyata adalah anak-anak exceptional gifted (berbakat dengan IQ yang sangat tinggi yang dapat dikatakan sebagai anak-anak jenius). Anak- anak ini mengalami perkembangan yang dyssynchonie yang berakibat pada berbagai perkembangannya tidak sama dengan anak normal lainnya, sebagiannya mengalami perkembangan bersindrom autisme dan sebagian lagi bersindrom ADHD. Perkembangan dyssynchronie pada anak exceptional gifted ini dinyatakan tidak patologis tetapi sebagai karakteristik, pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog Perancis tahun 1971, dan kini telah diterima di banyak negara di daratan Eropa. Di Belanda kondisi dyssynchronie ini dikenal sebagai kinderen met onwikkeling voorsprong (mengalami loncatan perkembangan, tetapi tertinggal di beberapa domain perkembangan), dan telah diterima secara mapan oleh semua profesi serta telah diajarkan di semua pendidikan yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak-anak.
Di Amerika dikenal sebagai gifted with learning disabilities, karena ketidak sinkronannya itu menyebabkan berbagai gangguan penerimaan pengajaran dan perkembangan sosial-emosional. Terminologi gifted with learning disabilities ini juga ternyata membawa dilema pada anak-anak ini, karena learning disabilities-nya inilah mereka lalu menjadi bulan-bulanan sasaran berbagai terapi alternatif, termasuk terapi nutrisi, megavitamin dan herbalis yang kini makin menjamur. Apalagi anak-anak ini kelompok anak yang mengalami biological disorder, seperti alergi dan gangguan metabolisme.
Kesulitan mendeteksi balita calon jenius ini juga disebabkan karena gejala yang dihadirkan anak-anak ini sangat mirip dengan berbagai gangguan mental lainnya. Begitu sulitnya untuk menegakkan diagnosis, maka banyak kalangan yang berpendapat bahwa, apa pun anak itu jadinya kelak, kalau balitanya menunjukkan penyimpangan perkembangan pokoknya sebaiknya diterapi saja. Karena gejalanya mirip-mirip dengan autisme ataupun ADHD. Maka tidak ayal pula kelompok kami menjadi bersitegang dengan kelompok yang mempertahankan diagnosis autisme ataupun gangguan mental lainnya. Karena menurutnya dikhawatirkan kelak masyarakat menyangka bahwa yang mempunyai gejala autis itu adalah anak jenius, lalu tidak mau membawa anaknya ke dokter, sebagaimana yang banyak tersebar saat ini dalam masyarakat.
Terlibatnya anak-anak jenius ini dalam berbagai diagnosis gangguan mental akhir-akhir ini karena adanya perubahan sistem diagnosis yang digunakan di berbagai belahan dunia pada sepuluh tahun terakhir. Bahkan banyak publikasi pula di tanah air yang mengatakan bahwa Einstein, Michelangelo, Thomas Alfa Edison, yang kita kenal selama ini sebagai orang jenius, kini dinyatakan sebagai orang-orang autis. Publikasi ini tentu saja membuat giris kelompok jenius. Bahkan ada pula publikasi seorang pakar terapi autisme mengatakan bahwa jika autis diterapi dan sembuh maka ia akan menjadi jenius (Media Indonesia, 7/9/2001).
Sekalipun anak-anak ini masa balitanya mempunyai perkembangan bersindrom autisme ataupun ADHD, tetapi mereka tidak sama dengan autisme ataupun ADHD. Betul gejala mereka berada di garis antara normal dan tidak normal. Tapi bukan berarti grey area ini kemudian ditarik menjadi autisme ataupun ADHD dan menerima berbagai terapi yang sama dengan autisme atau ADHD. Sekalipun mempunyai gejala perilaku yang mirip-mirip, tetapi psiko-neurobiologis mereka amat berbeda dengan autis/ADHD.
Sayangnya ilmu tentang anak-anak yang exceptional gifted (jenius) ini di Indonesia tidak populer, baik dilingkungan psikolog dan pedagog sendiri sebagai profesi yang bertanggung jawab dalam bimbingan dan pengembangan anak-anak ini, ataupun juga dilingkungan dokter anak yang bertanggung jawab dalam mengawasi tumbuh kembang anak-anak balita, serta di lingkungan psikiater yang seharusnya mampu memilah mana yang disorder dan mana yang tidak disorder. Budaya kesehatanpun yang tidak membiasakan pemantauan balita secara detil, tidak mendukung terdeteksinya anak-anak ini sebagai anak exceptional gifted yang mengalami dyssynchronie perkembangan dan membutuhkan perhatian ekstra, dukungan lingkungan, bimbingan sebagaimana yang dibutuhkan, serta pengembangan berbagai aspek yang tertinggal, mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, dan mengeliminasi berbagai kekurangannya, agar ia mampu hidup senormal mungkin dan berprestasi seoptimal mungkin.
Apa yang kita ketahui selama ini tentang anak berbakat adalah anak yang baik-baik saja, tidak mengalami ketidakseimbangan perkembangan, serta dinyatakan tidak disorder. Karena itu, tidak pernah diperhatikan oleh semua profesi, mereka terlupakan, bahkan terdepak dari diagnosis satu ke diagnosis lainnya. Anak dan orangtua mengalami duka lara yang luar biasa. Padahal anak-anak ini berjumlah dua persen dari anak yang lahir ke dunia. Suatu jumlah yang sangat besar.
Apa yang bisa diharapkan saat ini adalah agar para profesional menghentikan perdebatan dan selisih pendapat mereka, bersama-sama mempelajari serta membuat kesepakatan, serta bersatunya berbagai ikatan profesi yang bertanggung jawab pada tumbuh kembang, bimbingan dan pendidikan anak-anak ini, seperti dokter anak, psikolog, dan pedagog.
Republika, Selasa, 05 Maret 2002
<< Beranda