Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Jumat, September 10, 2004

Anak "Normalku" Didiagnosa Autis



ANAK "NORMALKU" DIDIAGNOSA AUTIS

Tabloid Nakita no 273, th ke VI, 26 Juni 2004

Meski psikolog dan dokter sudah menjatuhkan vonis autis pada anaknya, dokter umum ini tidak menyerah begitu saja. Ia terus berjuang, termasuk meninggalkan karier dokternya, demi menstimulasi si kecil. Kerja kerasnya tidak sia-sia. Buah hatinya normal dan tergolong cerdas serta bukan penyandang autis seperti yang diduga banyak pihak. Berikut penuturan dr. Yudianita Kesuma (34), ibunda Muhammad Alif Rahmadiyan (5).
Saeful Imam. Foto: Vitri/nakita


Dian & Alif.JPG
Originally uploaded by segaintil.

KONTRAKSI HEBAT SEBELUM WAKTUNYA

Tiada yang istimewa sepanjang kehamilanku, segalanya berjalan biasa-biasa saja. Profesi sebagai dokter umum membuatku tidak asing dengan hal-hal yang berbau kesehatan, terutama merawat kehamilan dengan baik.
Barulah ketika kehamilanku berusia 8 bulan lebih, aku mendapat masalah. Saat itu aku sedang berada di Palembang karena ada urusan keluarga. Kupilih sarana transportasi udara karena pikirku pesawat pasti lebih cepat, disamping aman, dan nyaman bagi kehamilan. Ternyata dugaanku meleset. Dalam perjalanan pulang, saat mendarat di bandara Soekarno-Hatta, pesawat sempat terguncang beberapa kali.
Perutku yang membuncit pun rupanya tak tahan menahan goncangan tersebut. Tiba-tiba saja terasa mulas luar biasa. Untungnya, segera setelah mendarat rasa mulas itu hilang dengan sendirinya. Namun keesokan harinya, rasa mulas di perutku semakin menjadi-jadi. Rupanya aku mengalami kontraksi hebat. Akhirnya, aku dilarikan ke rumah sakit terdekat. Malam itu juga bayi mungilku lahir dengan berat 2,7 kg dan panjang 46 cm. Meski termasuk prematur, kondisi anakku baik-baik saja hingga tak perlu dirawat dalam inkubator.
Sepulang dari rumah sakit, aku merawat dan mengurusnya dengan baik. Si kecil tumbuh dan berkembang layaknya bayi lahir cukup bulan. Tengkurap, duduk, merangkak, berdiri dan berjalan, semua dicapainya sesuai dengan tahapan perkembangan anak normal. Menjelang usia setahun, dia mulai bisa mengucapkan kata-kata sederhana (babbling) seperti "mama" dan "papa" yang membuat kami senang sekali mendengarnya.

KELEWAT SENSITIF DAN TERLAMBAT BICARA

Aku mulai melihat ketidakberesan saat Alif memasuki usia satu tahun. Dia sangat sensitif terhadap suara-suara keras, hingga kerap menjerit atau menangis keras saat mendengar bunyi mesin pemotong rumput atau pintu yang ditutup secara kasar. Akibatnya, dia sulit tidur nyenyak karena gampang sekali terbangun begitu ada suara keras.
Ia pun terkesan sangat aktif, dengan selalu bergerak dan mondar-mandir ke sana kemari, seolah energinya berlebih. Bhkan dia lebih sering berlari ketimbang berjalan. Yang mengagumkan, meski terlihat aktif berlarian, dia sama sekali tidak ceroboh. Buktinya, enggak ada tuh perabot dapur atau keramik pajangan yang pecah akibat ulahnya. Bahkan ia juga tidak pernah terjatuh atau terpeleset.
Di usia 2 tahun, ia juga sangat peka terhadap cahaya. Jangankan kilatan petir, cahaya lampu blitz kamera saja sudah cukup membuatnya takut, hingga kami tidak pernah memotretnya menggunakan blitz. Hobinya juga membuat kami heran, yakni mengumpulkan perabot rumah atau apa saja lalu menyusunnya. Ia bisa menyusun kaleng Coca-Cola hingga 8 susun lo! Sesuatu yang berbau mobil pun mengundang perhatiannya. Saat berjalan-jalan ke luar rumah, dia pasti mengamati ban mobil yang berputar. Yang pasti di supermarket dia sering minta dibelikan mobil-mobilan. Tak heran kalau rumah penuh dengan mobil-mobilannya. Sewaktu aku membelikan majalah otomotif, matanya terlihat berbinar. Seakan tiada pernah berkedip, lembar demi lembar halaman majalah tersebut begitu dinikmatinya.
Di balik semua itu, ada sesuatu yang mengganjal dalam batinku karena Alif belum juga bisa bicara. Kemampuan babbling-nya mendadak hilang. Ia juga terkesan tak merespons lingkungannya, termasuk tidak pernah menoleh ketika namanya dipanggil. Konsentrasinya selalu tertuju penuh pada aktivitas yang tengah dilakoninya. Meski begitu, ketika berkomunikasi aku mengamati kontak matanya tetap ada. Begitu juga ketika aku mengajaknya bermain. Berbekal ciri-ciri yang kutemukan, aku menduga ada sesuatu yang tidak beres dalam diri Alif. Akhirnya, aku dan suami sepakat memeriksakannya ke dokter.


DIDIAGNOSA AUTIS


Saat itu, kami memeriksakannya ke dokter anak terdekat. Pasiennya lumayan banyak, hingga kami harus menunggu sampai 4 jam yang membuat Alif jadi gelisah dan rewel ketika diperiksa. Usai pemeriksaan yang makan waktu hampir 2 jam, anakku didiagnosis autis. Kendati tidak terlalu kaget, aku sangat sedih mendengarnya. Sepertinya aku tidak bisa menerima vonis tersebut.
Dari hasil observasi psikolog yang kujadikan second opinion, lagi-lagi Alif dinyatakan autis. Selain menganjurkan agar Alif disekolahkan di sekolah khusus bagi penyandang autis, ia menawarkan terapi yang cukup radikal agar Alif bisa berkembang optimal. Tetap saja aku tidak bisa menerima vonis semacam itu. Aku yakin, Alif tidak seburuk itu dan aku akan membuktikannya sendiri. Begitu tekadku, sementara suamiku justru berpikiran sama dengan kedua pakar yang kami temui dan inilah yang membuatku makin bingung.


TEROBATI OLEH ARTIKEL

Kebingunganku agak mereda ketika aku membaca artikel di harian terkemuka yang ditulis DR. Drg. Julia Maria Van Tiel. Di situ dituliskan secara gamblang mengenai anak yang disebut "gifted disinkroni". Meski memperlihatkan beberapa ciri autis, anak seperti ini tidak bisa dikategorikan sebagai anak autis. Perkembangan yang tidak sinkronlah yang membuat anak ini terlihat aneh. Di satu sisi, ada beberapa perkembangan yang terlambat, tapi di sisi lain beberapa perkembangan justru memperlihatkan kemajuan pesat.
Artikel tersebut betul-betul mampu mengobati kegelisahanku. Dari pengamatanku boleh jadi terlambat bicara merupakan poin minus Alif, tapi kemandiriannya sungguh luar biasa. Di usia 2 tahun dia sudah bisa makan dan mandi sendiri, bahkan tidur teratur tanpa perlu disuruh-suruh, selain daya ingatnya yang sangat kuat.
Akhirnya, aku berusaha mencari kontak dengan si penulis artikel dan beliau menganjurkanku mendatangi salah seorang dokter anak di RS Sumber Waras, Jakarta. Aku sungguh kaget mendengar komentarnya. "Anak Ibu bukan anak autis. Dia justru anak pintar, jadi buat apa disekolahkan di sekolah autis? Dia hanya perlu distimulasi keterampilan bicaranya." Jangan ditanya bagaimana perasaan senang waktu itu. Yang langsung terlintas di benakku, aku ingin konsentransi menstimulasinya. Meski dengan konsekuensi harus kutinggalkan profesi dokter yang kugeluti selama ini.
Menstimulasi Alif kulakukan dengan rajin. Aku mengenalkan Alif pada apa saja yang kami temui. Dari perkakas rumah, kendaraan, lingkungan maupun binatang. Aku berharap Alif bisa merekam semua kosakata tersebut. Kuakui, terapi wicara di salah satu klinik di bilangan Jakarta Selatan juga amat membantu perkembangan bicaranya. Perkembangannya tergolong pesat hingga ia hanya perlu terapi selama 3 bulan. Selepas itu, kalau awalnya dia tidak pernah bicara, kini bisa ngoceh pada siapa pun yang ditemuinya.
Saat berumur 4 tahun, aku memasukkannya ke TK di dekat rumah. Dia sangat menikmati kegiatan belajarnya. Sifat-sifat aneh yang muncul di usia setahun perlahan pudar. Satu hal yang menggembirakan, beberapa gurunya melaporkan ingatan Alif sangat tajam. Dalam 1-2 minggu, dia bisa mengenal nama semua temannya, termasuk ciri khas masing-masing, seperti nama si A siapa lengkap dengan tasnya warna apa dan apa mainan kesukaannya.
Tidak hanya itu. Kedewasaan Alif pun setingkat lebih maju ketimbang anak-anak seusianya. Selain sudah bisa diandalkan menjaga adiknya, ia juga sudah mampu mengatur jadwal bermain dan belajarnya. Kami sangat bersyukur dengan perkembangan Alif. Kini suamiku sering berkata lirih, "Enggak kebayang ya apa jadinya kalau anak secerdas ini disekolahkan di sekolah autis."


....