Saya mendapatkan banyak
sekali orang tua yang bingung saat mendapatkan
buah hatinya menerima
diagnosa autisme. Serasa dunia runtuh dan panik ingin
mendapatkan terapi yang
menyembuhkan, apapun itu, asalkan ananda bisa menjadi normal
kembali. Wow …wow….
mestinya kita justru memahami dahulu apa arti autisme itu, dan
memahami karakteristik
anak agar kita mampu menghadapinya. Karena autisme adalah gangguan yang parah
yang akan disandangnya seumur hidup. Ia tidak dapat disembuhkan namun dapat
kita bantu agar kondisinya lebih baik dan agar ia mampu menyandang masalahnya
itu.
Untuk itu, sudah banyak sekali teori yang dibangun orang untuk menjelaskan
bagaimana sesungguhnya perilaku autisme itu.
Apa yang disebut teori untuk sebuah diagnosa adalah jika mampu:
1)
menjelaskan
bahwa gejala yang ditampilkan hanya khas dari diagnosa itu;
2)
dapat
digunakan untuk membedakan antara diagnosa yang satu dengan diagnosa yang
lainnya.
Ada tiga teori yang
dikembangkan oleh ahli-ahli neuropsikologi namun ketiga teori ternyata gagal
dibuktikan untuk menjelaskan bahwa gejala yang ditampilkan itu adalah gejala
khas dari autisme.
Teori-teori itu adalah:
1)
Theory of mind test, yaitu kemampuan membaca pikiran orang lain untuk
membuktikan bahwa ketidak mampuan itu karena kegagalan autisme dalam
mengembangkan emosi sosialnya. Dasar pemikiran tes ini adalah bahwa karena
penyandang autisme mempunyai keterbatasan pada perkembangan emosi sosialnya, ia
juga akan mempunyai kelemahan pada membaca emosi orang lain. Emosi orang lain akan
dibuktikan dengan pikiran orang lain sebagai reaksi dari sebuah aksi dari tindakan
orang lain. Tes yang terkenal adalah tes Sally and Ane. Saat dilakukan tes,
ternyata pada kelompok yang mempunyai inteligensi rendah baik autisme maupun
non-autisme sama-sama tidak bisa membaca pikiran orang lain. Sebaliknya pada
autisme yang mempunyai inteligensi tinggi, ia justru bisa meliwati dan berhasil
lulus dalam tes. Hal ini yang seharusnya
menggunakan emosi sosial namun ia bisa lulus tes karena menggunakan logika. Karena itu theory of mind
test tidak bisa digunakan untuk mendeteksi autisme.
2)
Weak
Central Coherence test, berasumsi bahwa karena kemampuan pandang ruang
(visual spatial) yang terbatas maka para autisme mengalami kelemahan pada test
test pemecahan masalah. Tetapi ternyata test ini tidak bisa membedakan
anak-anak autisme yang berinteligensi rendah dengan non-autism berinteligensi
rendah. Sehingga test ini tidak bisa digunakan untuk menjelaskan perilaku
autism spectrum disorder.
3)
Executive function test. Test ini berasumsi bahwa anak-anak autism
spectrum disorder mempunyai kelemahan pada sistem perencanaan gerak (perilaku)
yang disebabkan karena pusat pengatur perilaku (pusat fungsi eksekutif) nya
mengalami gangguan. Ternyata masalah fungsi eksekutif tidak hanya terjadi pada
autisme saja, juga pada ADHD.
Sekalipun ketiga tes itu
sudah gagal, namun masih bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa seorang
penyandang Asperger yang cerdas dengan inteligensi yang tinggi mengalami kesulitan
dalam berbagai pelajaran yang membutuhkan kreativitas berpikir atau logika
analisa dan pemecahan masalah. Hal ini disebab karena pada Asperger mengalami
masalah pada central cohenrence yang berfungsi pada melihat konteks global,
pemecahan masalah, dan logika analisa. Dan dapat dijelaskan bahwa kecerdasan
Asperger lebih banyak didukung oleh tingginya kemampuan mengumpulkan informasi bukan pada logika analisa.
Dengan gagalnya ketiga
tes itu ternyata sekarang dikembangkan sebuah tes yang mampu mengatasi
kekurangan ketiga tes itu, yaitu CONTEXTBLINDNESS.
ContexTblindness dikembangkan oleh berbagai penelitian dalam bidang teori
kognitif. Salah satu yang mengembangkan adalah tim yang diketuai Prof Uta Frith dari Inggris,
seorang ahli autisme yang sangat terkenal.
Contextblindness lebih
banyak digunakan oleh psikologi pendidikan dan orthopedagogi, dan kini tengah
diusung keliling dunia untuk disosialisasikan oleh Peter Vermuelen seorang
orthopedagog ahli autisme dari Belgia.
Ketiga teori untuk
menjelaskan perilaku autisme di atas yang diharapkan mampu digunakan sebagai
alat diagnosa autism, kini ketiga teori ini digabung menjadi satu, dinamakan
Contextblindness.
Kini dapat dikatakan bahwa semua anggota Autism
Spectrum Disorder adalah seorang individu yang mengalami masalah dalam konteks
(contextblindness).
Context blindness can be defined as the lack of
spontaneous use of context when giving meaning, especially to vague and
ambiguous stimuli. (Vermeulen, 2009).
Gangguan konteks
-
Missing the
point (kehilangan point dalam konteks global)
-
less
contextual sensitivity (tidak sensitif terhadap situasi sesuai dengan
konteksnya)
-
literal
understanding (pemahaman yang harafiah)
-
masalah dalam
pemahaman komunikasi nonverbal dan bahasa kiasan
-
masalah dalam
problem solving atau pemecahan masalah
-
masalah dalam
komunikasi
-
kekakuan
berpikir
Diharapkan dengan
memahami contextblindness pada penyandang autisme maka penanganan autisme akan
lebih ramah. Jika seseorang anak mempunyai gejala mirip autisme jika tidak
mengalami masalah dalam konteks maka ia tidak lagi disebut sebagai autisme dan
memerlukan strategi pendidikan serta penanganan yang berbeda.
Hingga saat ini di Indonesia, pendiagnosisan autisme masih menggunakan DSM
IV-TR (sekalipun bukan gold standard for diagnostics) – dan belum memperhatikan
masalah contexblindness, dengan begitu bisa kita perkirakan bahwa persoalan
kesalahan diagnosa pada anak-anak masih akan terus berjalan.
<< Beranda