Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Minggu, Juni 16, 2013

CONTEXTBLINDNESS, TEORI MENJELASKAN PERILAKU AUTISME



Saya mendapatkan banyak sekali orang tua yang bingung saat mendapatkan
buah hatinya menerima diagnosa autisme. Serasa dunia runtuh dan panik ingin
mendapatkan terapi yang menyembuhkan, apapun itu, asalkan ananda bisa menjadi normal
kembali. Wow …wow…. mestinya kita justru memahami dahulu apa arti autisme itu, dan
memahami karakteristik anak agar kita mampu menghadapinya. Karena autisme adalah gangguan yang parah yang akan disandangnya seumur hidup. Ia tidak dapat disembuhkan namun dapat kita bantu agar kondisinya lebih baik dan agar ia mampu menyandang masalahnya itu.

Untuk itu, sudah banyak sekali teori yang dibangun orang untuk menjelaskan bagaimana sesungguhnya perilaku autisme itu.

Apa yang disebut teori untuk sebuah diagnosa adalah jika mampu:
1)      menjelaskan bahwa gejala yang ditampilkan hanya khas dari diagnosa itu;
2)      dapat digunakan untuk membedakan antara diagnosa yang satu dengan diagnosa yang lainnya. 
Ada tiga teori yang dikembangkan oleh ahli-ahli neuropsikologi namun ketiga teori ternyata gagal dibuktikan untuk menjelaskan bahwa gejala yang ditampilkan itu adalah gejala khas dari autisme.
Teori-teori itu adalah:
1)      Theory of mind test, yaitu kemampuan membaca pikiran orang lain untuk membuktikan bahwa ketidak mampuan itu karena kegagalan autisme dalam mengembangkan emosi sosialnya. Dasar pemikiran tes ini adalah bahwa karena penyandang autisme mempunyai keterbatasan pada perkembangan emosi sosialnya, ia juga akan mempunyai kelemahan pada membaca emosi orang lain. Emosi orang lain akan dibuktikan dengan pikiran orang lain sebagai reaksi dari sebuah aksi dari tindakan orang lain. Tes yang terkenal adalah tes Sally and Ane. Saat dilakukan tes, ternyata pada kelompok yang mempunyai inteligensi rendah baik autisme maupun non-autisme sama-sama tidak bisa membaca pikiran orang lain. Sebaliknya pada autisme yang mempunyai inteligensi tinggi, ia justru bisa meliwati dan berhasil lulus dalam tes. Hal ini  yang seharusnya menggunakan emosi sosial namun ia bisa lulus tes karena  menggunakan logika. Karena itu theory of mind test tidak bisa digunakan untuk mendeteksi autisme.
2)       Weak Central Coherence test, berasumsi bahwa karena kemampuan pandang ruang (visual spatial) yang terbatas maka para autisme mengalami kelemahan pada test test pemecahan masalah. Tetapi ternyata test ini tidak bisa membedakan anak-anak autisme yang berinteligensi rendah dengan non-autism berinteligensi rendah. Sehingga test ini tidak bisa digunakan untuk menjelaskan perilaku autism spectrum disorder.
3)      Executive function test. Test ini berasumsi bahwa anak-anak autism spectrum disorder mempunyai kelemahan pada sistem perencanaan gerak (perilaku) yang disebabkan karena pusat pengatur perilaku (pusat fungsi eksekutif) nya mengalami gangguan. Ternyata masalah fungsi eksekutif tidak hanya terjadi pada autisme saja, juga pada ADHD.

Sekalipun ketiga tes itu sudah gagal, namun masih bisa digunakan untuk menjelaskan mengapa seorang penyandang Asperger yang cerdas dengan inteligensi yang tinggi mengalami kesulitan dalam berbagai pelajaran yang membutuhkan kreativitas berpikir atau logika analisa dan pemecahan masalah. Hal ini disebab karena pada Asperger mengalami masalah pada central cohenrence yang berfungsi pada melihat konteks global, pemecahan masalah, dan logika analisa. Dan dapat dijelaskan bahwa kecerdasan Asperger lebih banyak didukung oleh tingginya kemampuan mengumpulkan informasi bukan pada logika analisa.

Dengan gagalnya ketiga tes itu ternyata sekarang dikembangkan sebuah tes yang mampu mengatasi kekurangan ketiga tes itu, yaitu CONTEXTBLINDNESS.

ContexTblindness dikembangkan oleh berbagai penelitian dalam bidang teori kognitif. Salah satu yang mengembangkan adalah tim yang diketuai Prof Uta Frith dari Inggris, seorang ahli autisme yang sangat terkenal.

Contextblindness lebih banyak digunakan oleh psikologi pendidikan dan orthopedagogi, dan kini tengah diusung keliling dunia untuk disosialisasikan oleh Peter Vermuelen seorang orthopedagog ahli autisme dari Belgia.

Ketiga teori untuk menjelaskan perilaku autisme di atas yang diharapkan mampu digunakan sebagai alat diagnosa autism, kini ketiga teori ini digabung menjadi satu, dinamakan Contextblindness.

Kini dapat dikatakan bahwa semua anggota Autism Spectrum Disorder adalah seorang individu yang mengalami masalah dalam konteks (contextblindness).

Context blindness can be defined as the lack of spontaneous use of context when giving meaning, especially to vague and ambiguous stimuli. (Vermeulen, 2009).

Gangguan konteks
-          Missing the point (kehilangan point dalam konteks global)
-          less contextual sensitivity (tidak sensitif terhadap situasi sesuai dengan konteksnya)
-          literal understanding  (pemahaman yang harafiah)
-          masalah dalam pemahaman komunikasi nonverbal dan bahasa kiasan
-          masalah dalam problem solving atau pemecahan masalah
-          masalah dalam komunikasi
-          kekakuan berpikir

Diharapkan dengan memahami contextblindness pada penyandang autisme maka penanganan autisme akan lebih ramah. Jika seseorang anak mempunyai gejala mirip autisme jika tidak mengalami masalah dalam konteks maka ia tidak lagi disebut sebagai autisme dan memerlukan strategi pendidikan serta penanganan yang berbeda.

Hingga saat ini di Indonesia,  pendiagnosisan autisme masih menggunakan DSM IV-TR (sekalipun bukan gold standard for diagnostics) – dan belum memperhatikan masalah contexblindness, dengan begitu bisa kita perkirakan bahwa persoalan kesalahan diagnosa pada anak-anak masih akan terus berjalan.



....