Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Rabu, Juni 24, 2009

Kisah Tomo, misdiagnosis gifted children

Kisah Tomo, dari membingungkan hingga meraih prestasi hebat
(Kisah misdiagnosis gifted children)









Tomo, salah satu anggota keluarga milis anakberbakat. Ibunya, Bu Wasitowati sekitar tujuh tahun lalu menghubungiku melalui email. Katanya ingin bergabung dengan milis anakberbakat. Mengetahui milis ini saat ia mencari-cari bacaan tentang autisme di berbagai lembaga autisme, di Surabaya. Keluarga Tomo sendiri saat itu tinggal di Tegal. Saat mencari-cari itu, Bu Wasitowati tiba-tiba menemukan sebuah fotokopian kisah si Entong anakku, yang menurutnya mempunyai gejala yang sama dengan Tomo. Ia terlambat bicara, banyak gerak, terlalu eksploratif, dan keras kepala.

Sebetulnya Tomo sudah berpindah-pindah, mengingat ayahnya yang bertugas sebagai jaksa harus bertugas berpindah-pindah tempat. Pertama Tomo di Bali, lalu pindah ke Semarang, lalu ke Tegal, kemudian pindah lagi ke Semarang sementara ayahnya bertugas di Riau. Saat berpindah-pindah itu, Tomo mendapatkan sekian banyak diagnose, dari berbagai rumah sakit besar baik di Bali maupun di Jawa Tengah.

Diagnosa pertama saat berusia tiga tahun, dari rumah sakit di Bali, yaitu autisme.
Saat ke Jawa tengah, orang tuanya mencari opini lain, diagnosanya menjadi bisu tuli. Bukan autisme. Oleh ahli terapi wicara dianjurkan untuk operasi implant cochlear. Tetapi orang tuanya yang pegawai negeri itu, tentu saja tak mempunyai biaya sedemikian besar (yang tak akan juga diganti oleh askes). Operasi implant cochlear tidak dilakukan. Karena itu disarankan untuk diasramakan di asrama bisu tuli di Wonosobo. Saat itu Tomo masih berusia empat tahun. Tetapi lagi-lagi saran itu tak dikerjakan karena orang tuanya tak tega melepas ananda yang masih kecil masuk asrama.

Tomo dibawa kembali untuk diperiksakan ke dokter. Kali ini dokter lain mengatakan bahwa Tomo tidak bisu, karena ia bisa menirukan a-i-e-o….. Orang tuanya lega. Tetapi diagnosanya kembali lagi ke autisme.

Sambil mencari saran-saran terapi, saat itu Tomo sudah 5 tahun, orang tuanya ingin mencari opini ke psikolog. Kali ini yang dikunjungi adalah psikolog klinik. Dari hasil tes IQ yang menunjukkan IQ verbal jauh lebih rendah dari IQ performansi nya, disimpulkan bahwa Tomo memang autisme dan harus menjalankan terapi autisme.

Dari sanalah ibunya Tomo bertemu dengan fotokopian kisah anakku si Entong yang kuletakkan dalam blog si Entong.

Aku menyarankan agar Tomo dibawa kepada Ibu Endang Widyorini seorang psikolog ahli gifted children yang PHD nya lulusan dari Belanda. Ternyata dalam skala performansi nya Tomo memang luar biasa berada di persentil 98 persen skala Weschler, ia termasuk seorang anak gifted yang mengalami keterlambatan bicara. Ia mempunyai kemampuan logika dan analisa yang luar biasa. Tentu, penyandang autisme apalagi yang terlambat bicara tidak akan mampu mencapai prestasi tes inteligensi hingga mencapai prestasi yang paling tinggi demikian.

Tomo masuk sekolah taman kanak-kanak dengan didampingi seorang terapis. Mulailah ibunya dan ayahnya Tomo mempelajari cara-cara pendekatan dan stimulasi anak gifted yang terlambat bicara bersama-sama dengan anggota milis anakberbakat yang lainnya.

Di sekolah kemampuan akademiknya memang luar biasa. Tetapi perjuangan orang tuanya belum selesai. Karena perilaku Tomo memang agak sulit dikendalikan. Tomo adalah anak yang perfeksionis, mempunyai kemauan luar biasa, jika tak dituruti ia akan marah luar biasa, dan terus menerus merengek tak pernah berhenti. Sekalipun Tomo kemudian cepat dalam perkembangan bicara, namun beberapa aspek perkembangan memang cukup menyulitkan. Seperti misalnya motorik halusnya sangat lemah.

Saat itu Tomo berusia menjelang enam tahun, saya diundang bicara dalam Kongres Nasional Autisme I di Jakarta, berbicara di Sekolah Al Izhar, lalu ke Surabaya bicara atas undangan Yayasan Adhi Purusa Surabaya. Orang tua Tomo mengikutiku terus, dari Jakarta ke Surabaya bersama guru sekolah dan terapisnya. Tomo juga ikut dalam rombongan besar itu, dengan 2 mobil. Luar biasa semangat untuk mencari informasi.

Saat itu kulihat Tomo memang luar biasa banyak gerak. Sangat cerewet, tapi bicaranya masih kacau balau. Bahkan ia suka mendalang sendiri, mengikuti film-film dari video dan televisi.

Saat Tomo sudah kelas IV SD, milis anakberbakat berkumpul di Depok, Jakarta. Tomo juga hadir. Tomo sempat bercerita melalui tulisannya yang rapih tapi tidak ada spasi, serta huruf besar semua. Tulisan itu menarik Bu Adi D Adinugroho, yang PHD dan pekerjaannya adalah dalam keahlian anak berkekhususan, tinggal di US dan menjadi pembina juga di mailinglist kami. Bu Adi meminta supaya cara menulisnya diubah.
Padahal saat itu, karena motorik halus Tomo lemah, menulisnya susah, ia mendapatkan diagnosa Learning Disabilities (NB: Learning Disabilities bukan disebabkan karena motorik halus tetapi gangguan fungsi neurologic) dari seorang ahli kependidikan berkekhususan di Jawa Tengah. Ia dilatih dan diberi treatment menulis dengan format anak penyandang learning disabilities. Padahal ia hanya mengalami kelemahan motorik halus saja. Sekali lagi Tomo sudah salah dilabel dan salah treatment. Gara-gara susah menulis, Tomo jadi mogok menulis, yang menyebabkan prestasi di sekolah juga anjlok. Hal ini justru menambah beratnya tugas ibunya, karena emosional Tomo malah menjadi tambah parah, dan ia mogok sekolah.

Oleh Bu Adi cara menulisnya diminta untuk diubah, yaitu menulis miring huruf sambung. Format ini akan lebih memudahkan bagi anak yang mempunyai motorik halus yang
lemah. Ibunya dengan semangat dan rajin melatihnya. Setahun kemudian aku berkunjung ke rumahnya. Saat itu kami tengah mengadakan kampanye berupa seminar di 5 kota keliling Indonesia yang dananya didukung oleh Dit PSLB Diknas. Aku berkunjung ke Semarang atas undangan Bu Endang yang menjadi ketua program magistar psikologi di Unika Sugiyapranata untuk bicara dimuka mahasiswa-mahasiswa S1, S2 dan S3.

Kulihat Tomo sudah bisa menulis dengan sangat baik. Sedikit demi sedikit prestasinya juga mulai membaik. Ia juga tidak lagi mogok sekolah. Walau begitu keras kepala dan konflik dengan guru masih kadang berlangsung. Hobbynya menggambar masih terus ditekuninya. Ia yang mempunyai kemampuan visual arts yang nampak sejak kecil itu, selalu menggambar sangat detil dan akurat. Saat itu Tomo menunjukkan gambar-gambar dinosaurusnya yang jumlahnya ratusan……

Saat awal kelas enam Tomo kembali menjalani tes IQ. Profilnya kini menunjukkan sudah harmonis. Artinya kejomplangan antara skala verbal dan skala performasi sudah tidak terlalu besar. Total IQ skor menunjukkan bahwa ia adalah seorang anak jenius, yaitu 142 skala Weschler.

Tahun ini Tomo menjalani UAN SD. Prestasinya?
Ia menduduki rangking ke dua di sekolahnya.
Skor UAN 26,05. Sedang yang pertama 26,10. Ia mendapatkan rata-rata 8,8. Angka tertinggi 9,2 adalah matemika (batas minimal kelulusan 2,5), disusul Sains 9.0 (batas kelulusan minimal 3), dan bahasa Indonesia 7,6 (batas kelulusan minimal 5).

Bagiku Tomo adalah sebuah symbol, symbol perjuangan orang tua yang tak mau menyerah atas carut marutnya sistem pendiagnosisan anak-anak yang mempunyai tumbuh kembang yang khusus. Beruntung Tomo diterima oleh sekolah yang bisa diajak bekerjasama dengan orang tua, dan para guru juga beruaha untuk mengembangkan diri.

Tomo hanyalah sebuah symbol, karena anak-anak sebagaimana Tomo masih sangat banyak. Tak terhitung dan lebih banyak yang tak tertolong. Orang tua dan pihak sekolah yang luar biasa mampu melindungi dan membantu tumbuh kembangnya yang sulit, adalah dambaan anak-anak seperti Tomo. Anak tercerdas Indonesia, namun seringkali justru dimanfaatkan oleh kelompok pedagang terapi-terapi pseudoscience yang menjanjikan “kesembuhan” dari berbagai macam gangguan, seperti autisme, dan masalah gangguan belajar.

Tomo adalah gifted child yang mengalami tumbuh kembang yang mengalami disinkronitas. Ia mengalami keterlambatan bicara. Speech patolog menyebutnya sebagai Spesific Language Impairment. Neurolog menyebutnya sebagai gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif. Neurolog Belanda menyebutnya Pure Dysphatic Development. Tetapi anak seperti ini lebih banyak terdeteksi sebagai autisme sebab jika diconteng dengan DSM IV ia dapat masuk ke dalam Kriteria autisme. Padahal hanyalah diagnose pembandingnya saja. Namun kemampuan bahasa reseptif dan kemampuan bahasa nonverbalnya seringkali tidak diperhitungkan. Dimana pada autisme justru mengalami keterbatasan.

Anak-anak ini juga banyak yang mendapatkan diagnosa autisme Asperger Syndrome, yang sebetulnya juga tidak tepat. Karena Asperger Syndrome tidak mengalami keterlambatan bicara.


Banyak gerak, banyak bertanya, keras kepala, dan sangat emosionalannya, sering juga menjeratnya masuk ke dalam diagnosa ADHD yang sebetulnya juga tidak pas. Karena ia tidak mengalami gangguan konsentrasi maupun impulsivitas, agresivitas, dan perilaku merusak.


Dengan stimulasi yang pas dengan karakteristiknya, toleransi yang besar, pendekatan kedua arah baik faktor lemah dan kuatnya, maka ia akan berkembang dengan baik, karena memang mempunyai prognosa yang baik. Di usia menjelang pubertas, ia akan mengalami normalisasi perkembangan. Sayangnya justru anak-anak seperti ini sekarang tengah menjadi bulan-bulanan pasaran diagnosa komersial dan terapi komersial, dengan memanfaatkan kondisi menormalisasinya itu. Kini sebagian besar dari mereka mendapatkan diagnosa SID (Sensory Integration Disorder) yang sebetulnya diagnosa ini sungguh dubious, dan belum diakui merupakan sebuah diagnosa
(
Lihat penjelasan National Council For Health Fraud US )
Anak-anak ini juga mendapatkan terapi Sensory Integration yang sebetulnya masih unproven, dan tidak efektif (
Lihat ref disini)

Mudah-mudahan kisah Tomo ini dapat membukakan hati kita semua, bagi tumbuh kembang anak-anak tercerdas Indonesia. Sebetulnya mereka adalah tumpuan kita di masa depan, yang patut kita lindungi. Giftednessnya adalah anugerah Tuhan yang menjadi haknya bagi kehidupan di masa depannya. Kita orang-orang di sekitarnya mempunyai tugas, untuk menjalankan Risalah Allah yang ditugaskan bagi kita. Memberinya kehidupan yang sesuai dengan karakteristiknya dan memberinya juga lingkungan yang aman. Dengan lingkungan yang dirasanya aman, ia akan tumbuh menjadi anak yang sehat.

Kuucapkan selamat bagi Tomo, kedua orang tuanya, dan kakaknya.

24 Juni 2009
Julia Maria van Tiel
Pembina mailinglist anakberbakat yahoogroups

....


 

 

Selasa, Juni 23, 2009

Gifted or ADHD? The Possibilities of Misdiagnosis

Gifted or ADHD? the Possibilities of Misdiagnosis
Journal article by D. Niall Hartnett, Jason M. Nelson, Anne N. Rinn; Roeper Review, Vol. 26, 2004

Journal Article Excerpt
Gifted or ADHD? the Possibilities of Misdiagnosis.
by D. Niall Hartnett , Jason M. Nelson , Anne N. Rinn
Although the prevalence rate for Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD) is estimated at 3 to 5% in the Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision (DSM-IV-TR; American Psychiatric Association, 2000), indirect evidence often suggests that it is currently diagnosed at a higher rate. For example, ADHD is one of the most common reasons children are referred to mental health professionals (Brown, 2000). The prescription of stimulant medication, which is frequently used to treat ADHD, has significantly increased over the past decade (Ghodse, 1999; Olfson, Marcus, Weissman, & Jensen, 2002). Further, it is not uncommon to hear of the misdiagnosis of ADHD, wherein a child's behaviors are attributed to ADHD when in actuality they are caused by or related to some other condition or trait (e.g., Perry, 1998). One such trait is superior intellectual functioning, or giftedness (Lawler, 2000).
Children with ADHD and children who are gifted often engage in similar behaviors. According to Webb and Latimer (1993), both groups often possess high activity levels, have difficulty paying attention, act without much forethought, experience problems persisting on certain tasks, and have difficulty following rules. Both groups also often experience significant social difficulties and academic underachievement (Guenther, 1995; Leroux & Levitt-Perlman, 2000).
It is common for diagnosticians to use behavior checklists when investigating the possibility of ADHD. When these checklists are relied upon, rather than used as one piece of evidence among other sources, the possibility of confusing...

http://www.questia.com/googleScholar.qst?docId=5002080790

....


 

 

Jumat, Juni 12, 2009

Perilaku trial and error gifted balita vs perilaku repetitif autisme (videoclip)

Perilaku trial and error gifted balita vs perilaku repetitif autisme (videoclip)


Di bawah ini beberapa videoclip sumbangan dari anggota mailinglist anak berbakat, yang mendapatkan diagnosa autisme dari seorang psikiater, tetapi mendapatkan diagnosa dysphasia (terlambat bicara atau gangguan perkembangan bicara dan bahasa ekspresif) dari seorang dokter anak.

Dengan menggunakan videoclip ini berhasil dibedakan bahwa si anak memang bukan seorang anak penyandang autisme.

Psikiater, hanya berdasarkan pengamatan sebentar terhadap perilaku berulangnya yang cukup lama telah menyatakan bahwa si anak mengalami gangguan perkembangan majemuk autisme.

Perilaku berulang (repetitive behaviour) pada autisme umumnya terdapat pada anak-anak autisme dengan inteligensi rendah, dan dilakukan tanpa makna.

Pada anak dysphasia yang memang pada kenyataannya tidak mengalami gangguan pada inteligensinya - melakukan kegiatan yang berulang-ulang sebagai upaya trial and error dalam fase observasi dan eksplorasi. Upaya trial and error pada anak-anak ini sering dilakukan pada beragam objek. Sedang pola repetitive behaviour pada autisme mempunyai pola yang sama, dan mengalami persistensi (gejala yang kronis). Pada anak-anak dysphasia gejala ini akan berhenti sendiri saat mana ia berpindah fase, dari fase eksplorasi ke fase perkembangan inteligensi yang lebih lebih konkrit.

Bentuk seperti inilah yang seringkali telah salah terinterpretasi dan anak-anak gifted terjebak ke dalam diagnosa autisme.

Selamat menikmati videoclip di bawah ini

Perilaku trial and error gifted balita 1

Perilaku trial and error gifted 2

Perilaku trial and error gifted 3

Perilaku trial and error gifted balita4

Perilaku trial and error gifted balita 5

Perilaku trial and error gifted balita 6

Perilaku trial and error gifted balita 7

....