Masalah belajar diterapi Sensori Integrasi
Banyak cerita melayang dalam diskusi, dimana si ibu menjelaskan anaknya mempunyai IQ tinggi tapi prestasinya tidak ada. Diperiksa psikolog dapat anjuran terapi. Terapinya dicari kemana-mana. Antara lain ada yang mendapat anjuran Terapi Sensori Integrasi & Okupasi. Hoe zo…. Tidak berprestasi kok terapinya Sensori Integrasi?
Kucari-cari mengapa ada gejala di lapangan di Indonesia ada anak tidak berprestasi kok diterapi Sensori Integrasi? Padahal ya diperiksa dulu dong mengapa si anak tidak berprestasi.
Hal itu merupakah Masalah Belajar (Learning Problem) yang dapat disebabkan karena dua hal:
1. Gangguan belajar (masalah belajar primer) biasa disebut Learning Disabilities. Penyebabnya neurologis (di otak) dan genetik. Yang terganggu adalah pusat pemrosesan informasi auditif dan visual. Sehingga si anak mengalami gangguan fonologis sebagai akibat gangguan persepsi auditif dan atau gangguan persepsi visual sebagai akibat gangguan persepsi visual. Bila gangguan persepsi visual diikuti dengan gangguan pandang ruang namanya menjadi gangguan persepsi visuo-spasial. Si anak mengalami gangguan membaca (disleksia), menulis (disgrafia), berhitung (diskalkulia). Gangguan belajar ini hanya dikenakan pada anak berinteligensia normal – tinggi.
2. Kesulitan belajar (masalah belajar sekunder) biasa disebut Learning Difficulties. Penyebabnya bisa dibagi dua:
- lingkungan (metoda belajar tidak cocok, pengasuhan kurang baik, pengaruh budaya)
- dalam diri anak karena menyandang bermacam gangguan: IQ rendah, gangguan perkembangan, gangguan bicara, autisme, ADHD, gangguan jiwa, gangguan fisik, gangguan psikologis nonkognitif (takut berlebihan, emosi), motorik dll.
Nah kalau gangguannya yang ini, maka pendekatan mengatasinya adalah masalahnya dulu. Masak langsung digebuki pakai Sensory Integration Therapy dan Okupasi.
Masalah belajar, seharusnya adalah area kelompok orthopedagog (ahli kependidikan berkekhususan) tetapi kok sekarang banyak betul berdiri klinik gangguan perkembangan dan gangguan belajar, yang menyajikan tawaran terapinya melulu cuma Sensori Integration Therapy dan Okupasi untuk segala macam gangguan termasuk masalah belajar.
Rupanya kini marak teori (yang konyol) bahwa learning process adalah processing information. Memang betul, bahwa learning disabilities adalah masalah gangguan pemrosesan informasi di otak, yang mana info yang masuk itu melalui mata dan telinga yang diteruskan oleh persyarafan ke otak, disanalah informasi itu akan diintegrasikan dan diproses. Tetapi learning process sendiri bukan cuma melulu pemrosesan informasi, masih banyak hal-hal lain baik di dalam area kognitif maupun non kognitif yang berperanan. Jadi maraknya penggunaan teori sepotong lalu diaplikasikan secara over-overan bisa menyebabkan misleading masyarakat pengguna jasa (baca buku: Kleine Ontwikkelingpsychologie dari Rita Kohnstamm tahun 1994). Rita K menjelaskan sudah lebih dari 10 tahun yang lalu, tetapi gejala ini baru muncul di Indonesia tahun-tahun terakhir ini. Teori ini munculnya dari Amerika. Kalau menggoogle dengan kata kunci Sensory Integration Therapy Learning Disabilities banyak deh tuh website yang nongol menawarkan terapi ini. Bukan cuma buat learning disabilities, tapi buat segala macam, artinya terapi ini bisa dipakai buat diagnose ombyokan.
Terapi ini pada dasarnya adalah melakukan terapi gerak atau senso-motor (mottoric patterning) yang disebutnya sebagai terapi okupasi yang diharapkan dapat memperbaiki gangguan di otak tadi.
Untuk menjelaskan ini ada buku namanya Zijdeling (belahan otak/hemisphere) yang ditulis oleh DJ Bakker tahun 1985. DJ Bakker adalah seseorang yang mengajukan teori bahwa learning disabilities dibagi dua tipe, yaitu tipe perceptual (gangguan pemrosesan informasi melalui mata) dan tipe linguistic ( gangguan informasi melalui auditory). Lalu pada saat itu di tahun 60-70 an ada pendapat bahwa melalui motoric patterning struktur otak bisa diperbaiki. Dengan memperbaiki motorik dan sensorik, dengan begitu input yang masuk otak juga akan baik, akhirnya pemrosesan juga akan baik. Pemrosesan baik ini adalah karena adanya perbaikan melalui motoric patterning tadi (dasar inilah yang kemudian dipakai oleh Doman Delacato maupun Jean Ayers pencetus Sensory Integration therapy).
DJ Bakker seorang guru besar neuropsikologi Belanda beserta stafnya membuat eksperimen. Kalau seorang anak bergangguan belajar tipe L (yang dalam teori neurologi artinya ada gangguano tak sebelah kiri) maka tubuh bagian kanan digerak-gerakkan (mengikuti teori kontralateral belahan otak). Jika tipe P, maka yang digerak gerakkan badan sebelah kiri. Pada tahun-tahun itu orang sedang gandrung melakukan berbagai kegiatan untuk menyesimbangan otak (karena diketahui ternyata berbagai gangguan karena adanya gangguan pada sistem belahan otak).
DJ Bakker dkk sudah melatih banyak anak (seratusan) dengan kontrol grup. Anak itu tangan kiri atau kananya diikat sedang yg lain disuruh gerak-gerak. Sesudah diexperimen puluhan kali, jebul hasilnya gak ada. Lalu percobaannya dilakukan dibanyak negara sebagai penelitian replikasi, hasilnya sama juga.
Artinya, struktur otak maupun kerja otak gak bisa dipengaruhi dari luar melalui upaya terapi gerak (mottoric patterning).
Lho kok di Indonesia dikerjakan? Ketinggalan info kali? Karena sekarang sudah banyak position papernya. Atau sengaja, wong gampangan, tapi menghasilkan duit banyak…