Genetik sebagai faktor predisposisi pada autisme? Bohong!
Banyak publikasi di Indonesia yang mengatakan bahwa faktor genetik pada autisme merupakan faktor predisposisi terjadinya autisme. Artinya jika disebut sebagai factor predisposisi, maka ada faktor lain yang akan bekerja sebagai faktor pencetus, yaitu faktor lingkungan.
Faktor predisposisi (genetik) + lingkungan --> autisme
Dalam berbagai publikasi bebas di tanah air kita ini dijelaskan factor pencetus itu dapat terjadi saat:
- masih di dalam kandungan
- sesudah dilahirkan
Apa faktor pencetusnya? Disebutkan bahwa vaksin, logam berat, lingkungan yang penuh polutan, virus, makanan tertentu, dlsb dlsb akan bekerja sebagai pencetus terjadinya autisme pada anak yang mempunyai kerentanan genetik .
Gara-gara pemahaman ini lalu para penyandang autisme diberi treatment segala macam, menghindari hal-hal yang diperkirakan bisa menyebabkan autisme sebagai akibat kerentanan tadi. Selain detoksifikasi, juga diet segala macam, serta menghindari segala macam yang dituding bia sebagai pencetus.
Nah…nah…publikasi seperti ini jelas BOHONG SEKALI.
Lho kok bohong? Lha ya bohong, sebab sampai saat ini BELUM ADA orang yang berhasil membuktikan bahwa genetik sebagai faktor predisposisi.
Kalau kita bisa mengatakan bahwa genetik sebaga faktor predisposisi, maka para peneliti sudah bisa menemukan gen-gen seperti apa yang rentan - yang kelak jika terkena lingkungan yang dapat berperan sebagai pencetus, maka terjadilah autisme itu.
Kalau sudah tahu, enak, tinggal tes genetika, DNA nya ketahuan, bahwa seseorang (bayi-bayi yang baru lahir) bahkan masih di perut sekalipun, bisa dites apakah ia gen nya rentan.
Sampai sekarang TIDAK BISA.
Ada yang bisa menyajikan atau mengirim hasil penelitiannya? Silahkan kirim disini kita bahas ramai ramai, dimana dalam penelitian genetika itu, orang-orang yang menyandang gen-gen tertentu mempunyai kerentanan dapat mengalami autisme…. Sebutkan deh..
Hingga saat ini penelitian genetika yang sudah terlihat siknifikannya adalah bahwa penyebab autisme kemungkinan adalah memang murni faktor genetik (yang diturunkan), bukan genetik sebagai faktor predisposisi. Sehingga jika seorang anak memiliki genetik autisme mau tidak mau apapun kondisi lingkungannya ia akan mengalami gangguan autisme. Tetapi penelitian ini baru dalam bentuk penelitian pada kembar identik dimana mempunyai kemungkinan terjadinya autis secara siknifikan jauh lebih tinggi dari pada anak kembar non-identik. Hal ini menunjukkan bahwa masalah autisme dipengaruhi oleh murni faktor genetik.
Dalam penelitian-penelitian genetika juga tidak pernah berhasil mendapatkan kesimpulan bahwa genetik berperan sebagai faktor predisposisi, yang artinya lingkungan mempunyai peranan besar dalam munculnya autisme pada penyandang genetik yang rentan.
Sekalipun sudah diketahui bahwa genetik mempunyai peranan besar, tetapi transmisi genetiknya belum diketahui, karena belum ada yang berhasil melihat bagaimana transmisinya.
Dan kromosom nomor berapa yang berfungsi sebagai pembawa sifat autisme juga belum bisa didapatkan. Hal ini karena autisme merupakan gangguan perkembangan majemuk yang mengenai banyak aspek perkembangan seorang anak.
Makanya sampai sekarang belum ada yang dapat melakukan pemeriksaan untuk penegakan diagnosa dengan menggunakan spesimen DNA. Autisme baru bisa ditegakkan dengan menggunakan kriteria perilaku dari DSM IV.
Juga belum dapat dengan menggunakan spesimen2 lain, seperti darah, rambut, urin, maupun faeces/tinja. Apalagi dengan penciteraan otak. Lokasi gangguan di otak juga belum diketahui.
Obatnya juga belum diketahui. Obat psikiater hanya untuk menanggulangi masalah peledakan emosi dan perilaku, tapi tidak akan menyembuhkan autisme.
Area autisme memang penuh dengan area tipu-tipuan.