MARK - GIFTED CHILD YANG MENDERITA
Di bawah ini kutempelkan kisah Mark yang kuambil dari buku Student with both gifts and learning disabilities yang dieditori oleh Tina M Newman dan Robert J Sternberg (2004). Dalam buku ada introduksi yang ditulis oleh Susan Baum, seorang psikolog ahli gifted children.
KISAH MARK
Adalah kasus Mark, seorang anak yang sangat cerdas, 11 tahun, yang selalu berpikir sangat dalam, dan mampu mengekspresikan ide-idenya melalui sebuah puisi. Total skor IQnya 137; Verbal IQ-nya 128, dan Performance IQ-nya 140. Mark mempunyai kemampuan spasial yang luar biasa. Ia sangat mahir dalam bidang struktur bangunan, dan mampu membuat puzzle di usianya yang kedua. Sekalipun begitu ia tidak bisa menghapal hitungan perkalian, dan selalu berhitung dengan menggunakan jari-jarinya. Kemampuan pengorganisasiannya sangat buruk, dan mempunyai kesulitan dalam hal tulis menulis dengan tangan. Karena itu ia selalu menolak menuliskan ide-idenya dalam bentuk tulisan. Puisi di bawah ini adalah salah satu contoh kemampuan abstraksinya dan keluarbiasaannya dengan berbagai kata-kata.
TIME
Time runs at its own speed,
Never stopping, never waiting,
It goes like the wind on a stormy day,
Like old friends when they pass away,
Time is a killer,
But still it gives life,
It comes and its goes,
Be it the day or the night,
It does not appeal to the average person,
But they do not think as I do,
For me time goes by like I first learned to walk just yesterday,
An eternity of life slipping through my grasp,
Like I could have done more with my life,
Like it wasted away,
Like the time I had,
Was just another day,
So I want you to think, before your day is over,
To remember it only comes once,
So, What will you do with your time?
-Anonymous 5th Grader,2003.
Kini Mark duduk di kelas lima di sekolah regular. Ia relatif bisa berprestasi, setelah bertahun-tahun mengalami kesalahan berbagai diagnosa, pengobatan yang merugikan, dan lingkungan pendidikan serta intervensi yang tidak menunjang. Sayangnya, sebetulnya ia bisa sukses, terlihat dari laporan orang tuanya yang mengatakan bahwa ia kehilangan rasa cintanya untuk belajar.
Begitu menyedihkan memang, sebab Mark menjadi kehilangan begitu banyak motivasinya untuk belajar. Sebab saat ia berusia lima tahun, saat menjelang tidur ia sering membawa buku pekerjaannya membuat cerita-cerita yang penuh masalah, atau berbuat hal-hal lain sejenisnya. Sekarang buatnya segala sesuatu tidak ada bedanya lagi, tidak perduli. Ia menjadi semakin lelah dengan adanya intervensi dari orang-orang dewasa, menjadi terdesak, dan diperlakukan secara berbeda. Ia juga tidak ingin mendengar adanya istilah “gifted” ataupun “twice exceptional.” Ia ingin menyendiri dan menginginkan sebagaimana adanya seperti halnya anak-anak lain. Ia sudah jenuh dengan yang menginginkan agar ia bisa cocok di dalamnya, juga kepada orang-orang disekitarnya yang sebagian hari-harinya menjauhinya, dan menuding apa saja yang diperbuatnya sebagai suatu kesalahan.
Tahun-tahun pertama.
Gangguan atau kesulitan Mark tak pernah menjadi perhatian fihak sekolah.. Hanya perilakunya saja yang menjadi perhatian dalam penegakan diagnosa. Saat duduk di pra sekolah, ia seringkali frustrasi dengan berbagai peraturan dan kurikulum yang tersedia. Bila bermain dengan teman-temannya ia menginginkan agar ia menjadi anak yang diperhitungkan – yang merupakan khas perilaku kebanyakan anak cerdas di pra sekolah. Ia mudah menangis jika apa yang diinginkan tidak didapatkan. Para guru menduga bahwa ia menyandang ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder). Orang tuanya memeriksakannya saat ia baru saja menginjak usia empat tahun. Pada waktu itu ia sangat tidak kooperatif, misalnya ia hanya ingin memberi jawaban yang berbeda dalam cara yang kreatif untuk berbagai pertanyaan yang diajukan. Para psikolog melaporkan bahwa hasilnya tidak bisa ditarik kesimpulannya, dan juga belum bisa dipercaya sebagai suatu asesmen inteligensianya yang akurat. “Masih belum jelas, apakah gayanya itu adalah sebuah pola dari bentuk perilaku oposisional terhadap pengambilan tes, ataukah sebagai gejala dari kreativitas. Rekomendasi berupa, perilaku Mark baik di rumah maupun di sekolah harus dimonitor apakah perilaku ini muncul sebagai akibat toleransi yang rendah terhadap kefrustrasian, kreativitas, ataukah karena kebosanan.”
Benturan dari sekolah.
Saat Mark berada di taman kanak-kanak, mulailah segalanya memburuk. Ia menolak untuk mengerjakan tugas2 yang diberikan, dan ia tantrum di kelas. Guru melaporkan bahwa ia adalah anak yang cerdas, dan sangat senang mengikuti diskusi kelompok, tetapi ia tidak mau mengerjakan tugasnya: paket matematika dan lembar tugas yang tersedia lainnya. Ia mengganggu, membuat gaduh mengesalkan anak-anak lain, dan sangat mudah frustrasi. Orang tua Mark membawanya ke pekerja sosial, yang memberikan opini bahwa mungkin perilakunya sebagiannya akibat dari kebosanan. Guru melihat ini dengan perasaan tak percaya: “Bagaimana ia bisa bosan, sedangkan dia tak mengerjakan apa-apa?” pekerja sosial ini memberikan pengertian dengan menunjuk pada personalitas Mark, berikan ia kesempatan untuk memilih yang kemungkinan dapat meningkatkan kondisi belajar dan keinginannya untuk menepatinya. Namun guru telah salah mengerti terhadap saran tadi, dan saat Mark menolak mengerjakan tugas, guru mengatakan:”Kamu boleh mengerjakan paket matematika itu, atau kamu boleh duduk di kamar kepala sekolah.” Modifikasi strategi untuk melakukan pengontrolan terhadap perilaku Mark yang tidak pada tempatnya itu, tidak mengalami keberhasilan. Kemampuan akademis yang tinggi itu telah terelakkan akibat perilakunya yang merusak itu. “kami tidak perlu membicarakan bagaimana Mark harus mengerjakan tugas-tugas secara akademik, yang kami perlukan adalah membicarakan bagaimana perilakunya” adalah komentar yang sangat khas dalam pertemuan dengan orang tua.
Saat situasi semakin parah, orang tua Mark melakukan konsultasi kepada psikiater. Sekalipun skor tes dengan menggunakan WPPSI (Wechsler Preschool & Primary Scale of Intelligence) hasilnya sangat tinggi atau superior yaitu 148, namun situasinya juga diikuti dengan keadaan tertekan akibat anxiety-nya selama ia menjalankan tes tersebut. Psikolog berpendapat bahwa ia mempunyai masalah emosi yang mengganggu kinerjanya. Ia menjelaskan dengan perumpamaan: “Ia mempunyai taman Ferari di jalan rayanya, tetapi ia tetap harus mengunakan sepeda roda tiga.” Namun ia juga mempunyai perhatian terhadap beberapa kesulitan yang menurutnya kemungkinan ada hubungannya dengan epilepsinya, dan menempatkan Mark untuk pengobatan.
Sepanjang adanya berbagai masalah di sekolah dan meningkatnya perilaku merusaknya menyebabkan psikiater menegakkan diagnosa, dari diagnosa epilepsi yang sudah diberikan padanya, ia juga masih menambahkan: ADHD (Attention Deficit Hyperactivity Disorder), ODD (Oppotitional Deviant Disorder), OCD (Obsessive Complsive Disorder), tic dan bi-polar disorder, serta psikotik ( dari Tegretol untuk pengobatan epilepsi, ia juga menambahkan mikro-dosis koktail dari: Neurontin, Seroquel, Risperdal, Eskalith, dan Thorazine). Tetapi perilaku Mark semakin memburuk dan ia pun mendapatkan Dexedrine dan Clonodine. Orang tua Mark merasakan bahwa pengobatan ini justru merugikan Mark, dan mereka mempertanyakan diagnosa tersebut. Mereka memperkirakan bahwa kefrustrasiannya, ketidak-nurutannya, dan peledakannya disebabkan karena serangan axiety-nya, bukan karena seizures atau episode psikotiknya, mereka kemudian menanyakan kepada dokter untuk menghentikan semua pengobatan tersebut. Hampir semua pengobatan itu dihentikan, kemudian semuanya berlangsung nampak lebih stabil.
Fihak sekolah mengidentifikasi bahwa Mark mempunyai gangguan kesehatan lainnya (Other Health Impairment = OHI) dan mengirimkannya ke sekolah lain yang dikhususkan untuk anak-anak yang berfungsi rendah (lower functioning) serta mempunyai problem emosional yang berat. Kelasnya dengan jumlah murid yang kecil, memang menolong, namun sekalipun demikian tidak adanya teman yang mempunyai tingkat intelektual yang sama serta model peran yang positip, isyu sosial dan perilakunya tetap menjadi masalah. Salah seorang guru memperhatikan bahwa jika akademiknya diakselerasi, maka ia tak mengalami kesulitan dan tetap bekerja menyelesaikan tugasnya. Namun dari observasi itu menunjukkan bahwa fihak sekolah tidak mendorong agar Mark mempunyai kesempatan untuk berinteraksi dengan teman sebaya yang mempunyai kesamaan tingkat intelektual, ataupun teman sebaya yang “normal”.
Kenyataannya, karena Mark selalu membaca jauh kedepan sementara teman-temannya masih berjuang untuk melakukan decoding dan comprehension, guru menetapkan halaman bacaan apa yang saat itu tengah didiskusikan. Guru menginterpretasi apa yang dilakukan oleh Mark adalah sebagai perilaku membangkangnya dan ketidak mauannya untuk mengikuti peraturan. Hal ini menunjukkan adanya ketidak mengertian guru akan kebutuhan anak gifted, dan meletakkan peranannya dalam kehidupan Mark yang maksudnya agar menjadikan ia lebih menurut.
Di samping itu, Individual Educational Plan (IEP) dari Mark memperlihatkan ketidak pekaan terhadap potensi akademik dan kinerjanya yang tingkatannya tinggi. Sebaliknya, banyak tujuan pendidikan, persiapan materi dan tugas yang lebih menekankan pada penguasaan yang berada di bawah tingkatan kemampuannya, sekalipun hasil tes menunjukkan bahwa ia mempunyai fungsi kemampuan dengan tingkatan yang tinggi. Begitu pula dengan dokumentasi tertulis, ada di tangan guru, yang semuanya menunjukkan bahwa ia sudah lebih dari siap untuk belajar di dalam kelas tersebut.
Perubahan agar lebih baik.
Akhirnya, saat Mark berada di grup empat, keluarga Mark mendapatkan seorang psikolog yang telah mengenal murid-murid yang disamping gifted tetapi juga sekaligus mempunyai kesulitan belajar. Ia mendapatkan suatu deskrepansi atau perbedaan yang besar antara kemampuannya yang tinggi di beberapa bidang namun juga adanya permasalahan sebagai kelemahannya di sisi lain, misalnya saja dalam hal kemampuan melihat pola-pola orthographic, kesulitan menulis, dan ketakmampuannya dalam menghapal matematika dan alogaritma, terutama jika tidak disertai dengan pengertian konsep. Ia melihat juga lingkungan yang ketat justru sangat merugikan Mark. Diantara daftar lengkap rekomendasinya adalah bahwa Mark membutuhkan perhatian terhadap keberbakatan dan talentanya, serta perlu mendapatkan strategi khusus agar ia mampu mengatasi kesulitannya.
“Di atas itu semua, Mark membutuhkan kurikulum yang kaya dengan berbagai kemungkinan agar ia mampu mengeksplorasi serta memanfaatkan kemampuan intelektualnya untuk memahami segalanya. Belajar dengan cara menghapal sudah menekan kemampuan Mark yang tinggi untuk melakukan pemecahan masalah dan melakukan sintesa berbagai informasi.” Psikolog memberikan gambaran, bahwa perlawanannya terhadap semua ini adalah dikarenakan ia dipaksa untuk mengerjakan sesuatu yang tanpa makna baginya.
“Kurikulum yang cocok baginya adalah yang dirancang secara intensif yang mampu memberikan kemungkinan baginya untuk mengembangkan minatnya. Hal ini sangatlah penting, agar bisa mengembalikan kepercayaannya terhadap lingkungan sekolahnya agar ia juga mau mentaati peraturan sekolah tanpa harus menunjukkan untuk mengalahkannya.”
Pada dasarnya, terhadap murid seperti kasus Mark ini, sudah terlalu sering terjadi bahwa pendidikan justru menjadi sebuah peperangan antara kontrol dan pengalahan. Seperti halnya kasus Mark ini, tak satu pun yang mengenal atau memilih untuk memfokuskan pada giftedess-nya, atau memahami apa kebutuhan anak-anak gifted ini. Seringkali terjadi justru bahwa tim pendidik menggunakan strategi hanya untuk anak-anak yang mengalami kesulitan belajar yang tidak juga mengalami “penderitaan” dari giftedness dan talentanya yang luarbiasa. Medikasi professional dan strategi seperti ini memang sangat khas sekali. Sebenarnya adalah, perilaku merusaknya Mark, merupakan kompensasi kesulitan akademiknya guna menutupi kenyataan akan kesulitan belajarnya. Jika saja tim pendidik memperluas perspektifnya dengan cara mempertimbangkan berbagai informasi yang ada, maka perjalanan Mark bisa dihindarkan dari berbagai kerawanan, kelokan-kelokan, serta berbagai resiko di sepanjang perjalanannya. 0000000