Gifted-disinkroni

TENTANG ANAK GIFTED YANG MENGALAMI DISINKRONITAS PERKEMBANGAN - suatu kelompok gifted children - dan bukan merupakan kelompok autisme, ASD, Asperger Syndrome ataupun ADHD - namun anak-anak ini sering mengalami salah terdiagnosa menjadi kelompok anak autisme ringan, ASD, Asperger Syndrom ataupun ADHD

Sabtu, September 18, 2004

Si Entong

Entong
Johan
Originally uploaded by segaintil.


Si Entong, nama kesayangan ini hadiah neneknya Ny Tien Mokoginta, begitu ia masuk ke kamarku di Alkmaar Medish Centrum, Belanda, 20 Februari 1996. Ia lahir sebagai bayi besar hampir 4 kilogram, kuat, dan menggemaskan. Hari-hari berikutnya mengasuhnya di negara bermusim dingin ini, menyebabkan aku tak bisa berkutik, karena ia begitu banyak gerak, meminta perhatian yang luar biasa, dan terlambat bicara. Kami membutuhkan berkonsultasi ke berbagai ahli untuk melihat dan melakukan observasinya. Sebagai orang tua anak-anak kelompok seperti ini, mendapat kewajiban untuk membaca berbagai literatur, mengikuti kelompok orang tua anak-anak sejenis, mengikuti berbagai seminar dan pelatihan, dan harus selalu mengikuti perkembangan-perkembangan terbaru. Hal yang paling patut mendapat perhatian adalah, sebagai orang tua perlu berhati-hati terhadap informasi yang didapat, karena tidak semua informasi itu benar secara ilmiah.

Meski Si Entong harus mengalami berbagai kesulitan mempelajari berbagai hal sebagaimana seorang anak yang pada umumnya miliki, yaitu berbicara, bertindak, sopan santun, bahkan membaca dan menulis, namun ia survive dalam kehidupannya. Untuk ini dibutuhkan kesabaran yang luar biasa dalam pengasuhannya, menmahami karakteristiknya, berdamai dan perlu menciptakan suasana aman dan sehat yang dibutuhkan bagi tumbuh kembangnya. Johan van Tiel, nama pemberian ayahnya, adalah seorang anak berbakat luarbiasa yang mengalami tumbuh kembang yang tidak harmonis. Berbagai karakteristiknya berbeda dengan teman-temannya pada umumnya. Ia menyikat tenaga, dan perhatian, yang tak habis-habisnya. Hoogbegaafd met spoor van autisme yaitu anak berbakat (gifted) dengan adanya gejala autisme (autistic features), demikian diagnosa yang diterimanya. Spoor van autisme (autistic features) yang dimiliki bukan berarti bahwa ia adalah penyandang autisme, karena beberapa gejala lain yang dimilkinyalah yang membedakannya dengan autisme.

Istilah untuk anak kelompok ini yang banyak digunakan dalam dunia anak berbakat seringkali menggunakan dua karakteristik sekaligus, yaitu Gifted Children with learning Disability, atau Twice Exceptional Gifted Children, Visuo Spatial Gifted Children, Gifted with Auditory Processing Disorder. Secara populer sering juga disebut Einstein Syndrom.

....


 

 

Jumat, September 17, 2004

Keluarga


Johan 003
Originally uploaded by segaintil.

....


 

 

Kamis, September 16, 2004

Identifying Gifted Visual Spatial Learners

IDENTIFYING GIFTED VISUAL SPATIAL LEARNERS

The following are indicators of a Visual Spatial Learning Style Coupled With An Auditory Sequential Processing Weakness.

This indicator is to be used for initial identification only. If the majority of these characteristics are present, it is probable that the child has a Visual Spatial Learning Style Coupled With An Auditory Sequential Information Processing Weakness. However, this is not definitive and the child should then be referred for formal identification.



1. WISC – 111 Assessment Indicators

· a scatter of scores on the IQ sub-tests

· generally scores on the Performance Sub-scale are higher than the scores on Verbal Sub-scale

· generally high scores on Block Design, Object Assembly, Similarities

· generally low scores on Coding, Arithmetic, Digit Span


2. A history of any of: ear infections, allergies, asthma, eczema, tonsillitis, sinusitis within the first 5 years

3. Had conductive hearing loss in early childhood

4. Inattentive and easily distracted

5. Has a poor sense of time/does poorly on timed tests

6. Poor short term memory/good long-term memory

7. Has difficulty finishing tasks/school work

8. Has poor handwriting or difficulty keeping in the lines or grips the pen very hard and presses on the paper when writing

9. Has poor listening skills, often seems not to be listening

10. Does not maintain eye contact

11. Has difficulty with spelling and/or reading

12. Has difficulty with times tables and/or computation

13. Likes complex ideas and tasks and does well on them yet fails at simple tasks

14. reads well silently but has difficulty with reading aloud

15. Has an abundance of physical energy, fidgets constantly, difficulty sitting still

16. Is very creative

17. Good (and often very different) sense of humour

18. Is emotionally very sensitive

19. Is extremely sensitive to criticism

20. Extreme physical sensitivity eg acute hearing/intense reactions to loud noises, bright lights

21. Loves Lego, puzzles, jigsaws, computers, computer games, television, making things

22. Is very disorganised

23. Likes art and/or music

24. Has a vivid imagination and/or disturbing dreams

25. Can remember the way somewhere after going there only once





This indicator may be copied and freely distributed with proper attribution.





Copyright 2002, Lesley Sword.
Properly attributed, this material may be freely reproduced and disseminated.





Lesley Sword
42 Northwood Road
Northwood,
Australia


Telephone/fax: 1800 118 115 (freecall)
Email: enquiries@giftedservices.com.au
www.giftedservices.com.au
www.gifted-resource-centre.org

http://giftedservices.com.au/handouts/Gifted%20VSL%20Initial%20Indicator.doc

....


 

 

Antara Anak Berbakat, Gifted, Talented, Cerdas, dan Genius

Sering membingungkan

Sebutan anak berbakat di Indonesia sebetulnya mengacu pada istilah Gifted yang biasa digunakan di Amerika, yaitu anak-anak yang mempunyai kemampuan di atas rata-rata anak-anak normal, dengan batasan menurut Renzuli yaitu IQ di atas 130, dengan kreativitas, motivasi dan ketahanan kerja yang tinggi.
Namun istilah anak berbakat ini di Indonesia menjadi membingungkan dengan istilah talented children yang jika dibahasa Indonesia-kan menjadi juga anak berbakat. Namun batasan talented children ini tidak mengacu pada batasan inteligensia di atas 130, hanya saja ia mempunyai salah satu bidang prestasi yang menonjol yang melebihi rata-rata. Bisa saja seorang anak yang mengalami gangguan inteligensia yang luas seperti misalnya para autis-savant dengan IQ dibawah rata-rata anak normal (kurang dari 80) namun mempunyai talent yang luar biasa. Namun anak ini tidak dapat dikatakan sebagai anak gifted.

Sedang anak cerdas dalam istilah berbahasa Inggris disebut Bright Child. Ia berbeda dengan anak-anak gifted, karena Bright Children sekalipun ia mempunyai IQ melebihi rata-rata, namun Bright Children mempunyai kreativitas sebagaimana anak-anak pada umumnya. Cognitive style atau gaya berfikir Bright Children juga berbeda dengan Gifted Children. Bright Children mempunyai cognitive style yang sekuensial sedang cognitive style Gifted Childrenmerupakan gaya belajar yang simultan atau biasa juga disebut gestalt style. Gifted Children kebanyakan juga anak-anak yang visual learner (dapat dibaca pada Web si Entong).

Istilah jenius biasa diberikan pada anak-anak yang mempunyai kemampuan luar biasa, dalam bahasa Inggris sering digunakan istilah Exceptional Gifted Children, dengan IQ di atas 160.

Bila mengacu pada istilah yang digunakan di Eropa, maka istilah Gifted yang biasa digunakan oleh Amerika, Eropa biasa menggunakan istilah High Ability, yaitu anak-anak yang mempunyai potensi tinggi, dalam bahasa Belanda biasa digunakan istilah hoogbegaafd. Hal ini untuk membedakan antara pengertian masa lalu bahwa anak-anak gifted adalah anak-anak yang mempunyai prestasi di atas rata-rata, namun pada kenayataannya setengah dari populasi anak gifted mempunyai prestasi di bawah dari potensi yang bisa diharapkan, dengan kata lain ia mengalami prestasi rendah (underachiever).

Talent atau Talenta pada anak-anak gifted (atau juga anak-anak lainnya) dapat dibagi menjadi 4 Domain (Cohn, 1981), yaitu:
1) Intelectual Domain berupa talenta qualitatif, spatial, verbal, dan talent lainnya
2) Artistic Doamin, yaitu seni, drama, dan lainnya
3) Social Domain, yaitu emphaty/altruistic talent, leadership, dan lainnya
4) Other Human Ability Domains, atau spesific talent dimensions.

....


 

 

BERBAGAI ARTIKEL DALAM SEMINAR & KONGRES

ANAK GIFTED SEBAGAI DIFFERENTIAL DIAGNOSIS AUTISME
(sebuah Laporan Kasus)
Dibawakan dalam Simposium Gangguan Bicara Pada Anak Khususnya Anak Autism, RS Fatmawati bekerjasama dengan IDI Cabang Jakarta Selatan, Sabtu 26 Januari 2002.

DR.drg. Julia Maria van Tiel, MS
Orang tua anak gifted, Nederland

Dr. Tri Ruspandji, SpA
RS Sumber Waras, Jakarta

--------------------------------------------------------------------

CIRI GIFTED PADA ANAK DENGAN GANGGUAN PERKEMBANGAN AUTISME

DR drg Julia Maria van Tiel, MS
Orang tua anak Gifted

Dibawakan dalam Kongres Nasional Autisme Indonesië pertama 2-4 Juli 2003 di Jakarta.

------------------------------------------------------------------

PENGALAMAN DENGAN ANAK GIFTED with LEARNING DISABILITIES BERSYNDROM AUTISME

Julia Maria van Tiel (orang tua anak gifted, Nederland)

Ceramah di Surabaya, 9 Juli 2003
Diselenggarakan oleh Paguyuban Orang Tua Anak Berbakat Surabaya Adi Purusa, bekerja sama dengan Sd Kr Kasih Karunia.
-------------------------------------------------------------------

GIFTED DENGAN PERKEMBANGAN DISINKRONI

DR.drg.Julia Maria van Tiel, MS
A.Kasandra Oemarjoedi, psikolog
Kelompok Diskusi E-group Orang Tua Anakberbakat
Dibacakan pada Psikologi Expo Universitas Indonesië, Depok 4 Maret 2004

---------------------------------------------------------------------------

GIFTED atau AUTISME
BAGAIMANA MEMBEDAKANNYA?

Dibawakan dalam Seminar Gifted-Autisme – ADHD Penanganan dan Permasalahannya, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,
11 December 2004
Julia Maria van Tiel
Kelompok Diskusi Orang Tua anak berbakat
j.v.tiel@hetnet.nl
anakberbakat-owner@yahoogroups.com
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/
-----------------------------------------------------------------

BAGAIMANA PENDIDIKAN YANG COCOK
UNTUK ANAK BERBAKAT DENGAN PERKEMBANGAN DISINKRONI?

Dibawakan dalam Seminar Gifted-Autisme – ADHD Penanganan dan Permasalahannya, di Fakultas Kedokteran Universitas Gadjah Mada Jogjakarta,
11 December 2004

Julia Maria van Tiel
Kelompok diskusi orang tua anak berbakat
j.v.tiel@hetnet.nl
anakberbakat-owner@yahoogroups.com
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/

----------------------------------------------------------------

ANAK BERBAKAT
MEMAHAMINYA DAN MENGASUHNYA

Sarasehan orang tua anak berbakat di Jogjakarta 12 Desember 2004 diselenggarakan oleh Lembaga Studi dan Pengembangan Perempuan dan Anak (LSPPA) Jogjakarta

Julia Maria van Tiel
Pembina Kelompok Diskusi Orang Tua Anak Bebakat
j.v.tiel@hetnet.nl
anakberbakat_owner@yahoogroups.com
http://gifted-disinkroni.blogspot.com/

--------------------------------------------------

ANAK BERBAKAT DALAM DILEMA DIAGNOSA DAN PENGETAHUAN MASYARAKAT

Dibawakan dalam Seminar Perempuan dan permasalahan Tumbuh kembang Anak, diselenggarakan oleh Laboraturium Antropologi Fisip Unair dan Lembaga Penelitian ETOS Surabaya, 17 Desember 2004.

DR drg Julia Maria van Tiel, MS (antropolog kesehatan)
Kelompok diskusi orang tua anak berbakat Indonesia
j.v.tiel@hetnet.nl
anakberbakat-owner@yahoogroups.com
www.gifted-disinkroni.blogspot.com/

--------------------------------------------------------------------------------





....


 

 

Kisah Duka Anak-anak Jenius

KOMPAS, Minggu, 12 Agustus 2001

Kisah Duka Anak-anak Jenius (1)

Oleh Julia Maria van Tiel

BAGAIMANA bayangan Anda terhadap anak-anak jenius? Apakah Anda membayangkan bahwa anak-anak ini adalah anak penyandang gen perfek berotak encer, gemerlap, dan selalu mendapat medali?
Ternyata masa kecil mereka penuh dengan rasa sedih, duka, dan lara. Semuanya karena apa yang mereka hadirkan baik dari segi perilaku dan kemampuan meraih prestasi di sekolah justru jauh di bawah rata-rata anak normal. Mereka seringkali brutal, keras kepala, semaunya, sulit diatur, dan sering berkelahi. Prestasi di sekolah juga nol.
Sebagian besar anak-anak ini justru tidak survive, banyak dari mereka yang dilatar belakangi oleh ketidak harmonisan rumah tangga, dan tekanan dari pihak sekolah justru membuat mereka melarikan diri ke arah kenakalan remaja, depresi, stres, atau mengalami gangguan biologis karena masalah psikologis (psikosomatis).
Mengapa demikian? Itu semua karena anak-anak ini mempunyai karakter yang sangat khusus. Mereka merupakan kelompok anak tersendiri, yang lain dari anak lain.
Pada masa balita, dokter sering menuding mereka sebagai anak yang mengalami gangguan perkembangan. Baik dari perkembangan fisik, perkembangan psikologis, atau juga gangguan kemampuan bicara, komunikasi, dan sosial.
Waktu di kelas-kelas awal sekolah dasar mereka sering disangka mengalami gangguan perkembangan inteligensia, atau kurang cerdas. Bahkan sering tertuding sebagai pembuat onar di kelas, tidak punya konsentrasi, dan sulit diberi pelajaran, tidak mau membuat pekerjaan rumah, serta membangkang. Di kelas sering melamun, tidur di meja, dan lebih senang memainkan pinsilnya, daripada mengikuti pelajaran. Di kelas satu dan dua bahkan mereka sulit diajar membaca, menulis, bahkan berhitung sekalipun. Penampilan mereka tidak seperti anak jenius atau anak berbakat sebagaimana layaknya yang kita bayangkan. Mereka lebih macam anak urakan tapi dungu. Benarkah demikian?
YANG kita ingat, orang yang terbilang jenius adalah Einstein, Michelangello, Thomas Alfa Edison, Rembrant, van Gogh, Bach, dan sebagainya. Lalu jarang kita dengar lagi ada kelompok jenius yang kelasnya bagai mereka. Kemanakah mereka? Tidak pernah lahirkah? Sebenarnya banyak. Dua persen dari anak yang lahir, adalah kelompok jenius. Tetapi mereka hilang ditelan perkembangan kebudayaan yang lebih banyak peraturannya, pendidikan yang seragam, pemeriksaan anak balita yang lebih teliti, yang semuanya mengacu pada norma normal, sehingga mereka tampak sebagai anak tidak normal, bahkan terdiagnosa berbagai macam gangguan perkembangan.
Misalnya saja yang dijelaskan oleh kelompok psikolog ahli anak-anak berbakat Amerika dalam pertemuan tahunannya di Washington Agustus tahun lalu, yang menjelaskan bahwa akhir-akhir ini di Amerika terjadi banyak kesalahan diagnosa pada anak-anak maupun dewasa berbakat dan berbakat. Kesalahan ini bukan saja dilakukan oleh psikiater, dokter anak, tetapi juga oleh psikolog sendiri, maupun tenaga kesehatan lainnya. Tersering mereka terdiagnosa sebagai autis asperger, PDDNOS, Attention Deficit Hyperactivity Disoredr (ADHD), Oppotitional Defiant Disorder (OD), Obsessive Compulsive Disorder (OCD), dan Mood Disoreder seperti Cyclothymic Disorder, Dysthymic Disorder, Depression, serta Bi-Polar Disoreder.
Kesalahan diagnosa ini umumnya karena mereka memiliki karakteristik perkembangan sosial dan emosional yang diasumsikan secara keliru oleh kelompok profesional.
Sementara itu anak-anak itu adalah anak-anak yang mempunyai risiko psikologik apabila dorongan atau motivasi internalnya yang kuat untuk mengembangkan intelektualnya terhalangi dan tidak tercapai. Risiko ini berupa jatuhnya mereka ke dalam masalah-masalah psikologis seperti depresi yang dalam, perilaku menarik diri, rendah diri yang hebat, atau sebaliknya menjadi anak yang sangat sulit diatur, selalu melawan, dan agresif.
Seorang yang ternyata dewasanya jenius namun kecilnya penuh duka lara adalah Alice Miller, yang tahun 1979 mulai menuliskan kisahnya dalam sebuah buku berjudul: Das Drama des begabten Kindes und die Suche nach dem wahren Selbst, Eine Um-und Fortschreibung (Kisah drama seorang anak jenius-dalam mencari jati dirinya).
Duka lara Alice Miller berawal dari diagnosa para profesional yang menyatakan bahwa dirinya menderita dari diagnosa para profesional yang menyatakan bahwa dirinya menderita penyakit jiwa bawaan yang menurut para dokter akan terus diidapnya seumur hidup. Karena itu ia harus menjalankan berbagai terapi yang dimaksudkan untuk mengurangi gangguan itu.
Emosinya yang meledak-ledak segera diredam dengan berbagai tablet psikotropika. Dia juga pada akhirnya mengalami depresi yang berat, rasa malu, dan rendah diri, serta tak mampu lagi bergaul. Pada waktu ia bisa menyelesaikan sekolah psikologinya, ia menyadari bahwa diagnosa yang diterimanya keliru, sehingga ia sibuk melakukan rehabilitasi diri guna menyembuhkan luka dari berbagai terapi semasa kecilnya itu, yang ia rasakan sebagai penganiayaan psikologis.
Buku Alice Miller yang mengharukan, detail, dan memberi pengertian akan artinya bimbingan pada anak-anak jenius ini, laku keras, hingga yang diterjemahkan ke dalam bahasa Belanda saja sudah dicetak ulang pada tahun 2000 hingga yang ke 23 kalinya. Buku ini diterjemahkan dalam berbagai bahasa di dunia.
Duka lara akibat perkembangan khusus pada anak-anak jenius ini, tampak sejak ia dilahirkan. Ia merupakan bayi yang besar dengan ukuran kepala yang besar, sehingga kebanyakan anak-anak ini lahir bukan dengan cara normal tetapi ditarik dengan tang, vacum, atau melalui pembedahan. Sejak bayi ia mengalami alergi susu yang berat, yang menyebabkan kulitnya penuh eksim, serta alergi berbagai macam dan tidak spesifik. Selain alergi berbagai makanan dan sayuran, ia juga alergi Matahari, cuaca dingin, obat-obatan, plastik, logam, pakaian nilon, dan sebagainya. Alerginya bukan hanya di kulit, bisa berupa mencret dan sembelit, tidak bisa bersendawa, batuk pilek, radang telinga, radang mata, dan asma.
Dalam pemeriksaan darah laboratorium sering ditemukan anak-anak ini memiliki berbagai angka laboratorium yang berbeda dengan angka rata-rata anak normal. Terlalu tinggi atau terlalu rendah. Tampak seolah mereka menderita kekurangan berbagai mineral dan vitamin dalam tubuhnya. Banyak di antara mereka yang mengalami gangguan penyerapan makanan, dan kekurangan enzym pencernaan. Mereka juga mempunyai masalah dalam pemilihan jenis makanan yang mereka suka.
Pada saat balita penciuman anak-anak ini belum bekerja baik untuk mencium enaknya bau makanan. Mereka sangat peka dalam penglihatan, dan mempunyai sifat yang sangat perfeksionis. Dalam memilih makanan anak-anak ini hanya memilih satu jenis makanan dengan satu warna yang bagus dan bentuk yang bagus. Karena itu sebagian anak-anak ini berbadan terlalu kurus dengan kepala dan jidat yang besar, atau berbadan besar. Meski hanya makan dengan jumlah yang sedikit dan hanya itu-itu saja, kecuali soal alergi, boleh dikata mereka anak yang tampak sangat sehat, tidak mudah jatuh sakit, dan bergerak terus tidak capai-capainya.
Anak-anak ini mempunyai kemauan internal yang sangat kuat, keras kepala, tetapi tidak tahan rutinitas. Dan usia SD kelas satu atau kelas dua, yang menonjol justru keras kepala dan motivasi internalnya yang besar. Dengan begitu mereka tidak tertarik mengikuti kegiatan belajar di sekolah yang melelahkan karena terlalu rutin. Melihat hal ini guru seringkali menuding mereka sebagai anak yang tidak cerdas. Terlebih anak ini tidak mau mengulang kebolehannya, dan tidak bisa disuruh menunjukkan kebolehannya.
Banyak di antara orangtua yang bercerita bahwa anaknya bisa membaca dan berhitung, tetapi jika diuji di sekolah si anak bungkam. Mereka adalah anak yang didaktif, bukan anak yang deduktif. Kemampuan pengembangan intelektualnya adalah atas dasar motivasi internalnya, dan tidak bisa diajari, atau tidak mau diajari.
Sifat perfeksionis menyebabkan mereka tidak mau mengerjakan tugas memberi warna pada figur-figur dengan potlot berwarna. Mereka merasa hasil pekerjaannya sangat jelek, tidak seindah contohnya yang dibuat oleh percetakan. Perkembangan motorik halus mereka juga mengalami keterlambatan sehingga mereka bagai tidak kuat memegang pinsil barang semenit pun. Jari-jari mereka cepat lelah, dan hasil latihan menulisnya sungguh sangat jelek. Mencong-mencong, tidak lurus, dan bergelombang. Melihat hasil ini semua, lagi-lagi sifat perfeksionis mereka menyebabkan mereka frustrasi.
Banyak di antara anak-anak ini juga mengalami disleksia, yaitu gangguan perkembangan syaraf dan bola mata. Seringkali anak-anak ini memerlukan koreksi karena matanya astigmatis. Disleksia menyebabkannya melihat huruf terbalik-balik, dia bingung mana yang p dan mana yang q, atau mana yang d dan mana yang b. Disleksianya menyebabkan ia tidak mengerti lagi harus menulis dari sebelah kiri atau kanan, akhirnya ia mengalami gangguan menulis, membaca, dan juga berhitung. Lengkaplah penderitaannya, jika ia dituntut bagai anak normal. Apalagi jika dijatuhi mempunyai vonis bahwa ia mempunyai kemampuan atau kecerdasan di bawah rata-rata. Dan lebih ironis lagi, jika setiap sore dia dituntut oleh orangtua untuk mengambil les menulis dan berhitung, serta di rumah dipaksa belajar setengah mati.

KOMPAS, >Minggu, 19 Agustus 2001

Kisah Duka Anak -anak Jenius (2)

Oleh Julia Maria van Tiel

ANAK-anak jenius pada masa kecilnya terbanyak memang under-prestasi, maka ia disebut gifted with learning disabilities. Mereka memiliki kemampuan yang tak seimbang, antara kemampuan lisan dan aktivitas. Anak-anak yang sudah baik kemampuan berbicaranya, akan lebih baik dalam uji lisan daripada menulis. Dalam uji kemampuan IQ, pada anak-anak jenius yang mempunyai keterlambatan perkembangan bicara, uji kemampuan verbalnya menunjukkan skor yang sangat rendah, sedang skor performalnya tinggi, dan skor kreativitas rendah.
Gambaran seperti ini persis sama dengan gambaran IQ anak-anak autis. Namun skor kreativitas rendah bukan disebabkan ia tidak kreatif, tetapi lebih disebabkan karena ia menderita tidak percaya diri sebagai akibat dari frustrasi terhadap hasil karya dan perfeksionismenya. Di Belanda untuk anak-anak seperti ini, dilakukan suatu uji yang disebut faalangst test, dari sini terlihat bahwa ia menderita faalangst atau ketidakpercayaan diri dan takut berbuat salah.
Pada anak-anak jenius yang sebetulnya sangat jenius yang kemudian disebut profound gifted, justru sering kali terdiagnosa sebagai autis yang terbelakang mental. Mereka menderita disleksia sangat berat, mengalami keterlambatan bicara sangat tertinggal, dan baru mulai belajar bicara di usianya yang keenam atau ke tujuh, bahkan ke delapan. Ada yang sangat terlambat dalam perkembangan motorik kasarnya, dan mulai berjalan pada usia 4 tahun.
Ia bagai benar-benar anak terbelakang mental yang hidup dalam dunianya sendiri dan sangat tergantung pada orang di sekitarnya. Satu-satunya yang menunjukkan ia bukan mental retarded dan bukan autis adalah ia mampu membangun hubungan emosi dan cinta kasih dengan orangtuanya atau orang lain, dan mampu berbahasa isyarat.
***
Boleh dikata pengetahuan gejala balita jenius yang di Belanda populer dengan sebutan hoogbegaafde kinderen nyaris menjadi pengetahuan umum dalam masyarakat.
Mailing list, website, dan majalah yang merupakan kontak komunikasi antara orang tua dan tenaga profesional banyak dikembangkan oleh masyarakat. Sehari-hari banyak tenaga sosial yang berlatar belakang psikolog dan ortopedagog yang secara sukarela membantu keluarga-keluarga yang terbingung-bingung menghadapi anaknya.
Sekolah khusus yang didirikan lembaga-lembaga swasta yang ditujukan untuk anak-anak jenius ini juga banyak berdiri di hampir di tiap kota. Namun, pemerintah tetap memanfaatkan openbaar basis onderwijs-nya (sekolah dasar) yang dimulai secara wajib di usia empat tahun. Sekolah dasar ini dilengkapi dengan guru yang mendapat brevet khusus untuk pendidikan anak jenius, serta dilengkapi juga dengan materi dan program pendidikan anak jenius. Dalam sekolah-sekolah umum ini anak-anak jenius disosialisasikan secara maksimal bersama anak-anak normal seusia lainnya, dengan tujuan ia mampu membangun dirinya sebagaimana anggota masyarakat normal.
Anak-anak jenius yang telah selesai masa pendidikan sekolah dasarnya bisa melanjutkan ke sekolah yang memang disediakan untuk anak-anak yang mempunyai kecerdasan luar biasa, yaitu atenium.
Meski gejala balita jenius telah dikenal secara luas, namun banyak orangtua yang tidak menyadari bahwa anak mereka penyandang gen jenius. Setelah timbul berbagai masalah, barulah anak-anak ini betul-betul mendapat perhatian.
Semakin populernya DSM IV (Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorder) tahun 1994 dari American Psychiatric Association anak-anak berbakat ini terjaring dalam berbagai diagnosa gangguan mental dan mendapat terapi sebagaimana diagnosa itu. DSM IV yang dikeluarkan tahun 1994 itu, pada tahun 1998 barulah mulai dipopulerkan di Belanda. Dalam dua tahun saja terjaringlah sebanyak 65.000 (20 persen) anak usia di bawah 10 tahun dinyatakan sebagai ADHD, yang ternyata memang sebagian besar bukan penderita ADHD. Karena itu, awal tahun ini Pemerintah Belanda menyetop penetapan diagnosa yang begitu dini dapat dijatuhkan pada seorang anak. Setelah melalui pengamatan yang panjang berbulan-bulan yang dibantu oleh orangtua, guru, psikolog, dan petugas sosial, serta berbagai tes, barulah diagnosa itu ditegakkan.
Karena masih terjadi salah diagnosa semacam itu, untuk mencegahnya, kini kepada seluruh balita Belanda telah digunakan status yang disebut status van Wiechen ontwikkeling onderzoek. Dengan menggunakan status ini segera dapat diketahui apakah seorang anak mempunyai perkembangan yang tertinggal atau justru lebih cepat (mengalami loncatan perkembangan).
Pada dasarnya, perkembangan dan pertumbuhan balita berbakat ini mengikuti norma yang skalanya besar, waktunya singkat, sayangnya tidak sinkron. Tampak setiap perkembangannya bergelombang dengan skala yang besar, meledak-ledak, tetapi jangka waktunya tidak lama (tidak melebihi dua bulan), namun berkembang satu-persatu yang kemudian menjadikan tampak tidak harmonis dengan berbagai perkembangan yang seharusnya ada di masa balita.
Gejalanya bisa diikuti sejak bayi itu dilahirkan, yaitu merupakan bayi yang sehat, berat dan mempunyai APGAR skor antara 9-10 pada menit-menit pertama. Ia mempunyai pertumbuhan berat badan yang sangat pesat di bulan-bulan awal, tetapi tiba-tiba berkembang secara tenang saat ia mulai banyak gerak. Mempunyai perkembangan motorik yang hebat luar biasa, terkadang tidak melalui masa merangkak, atau masa berjalan, terus berlari. Mampu manjat-manjat, menarik barang berat, dan sangat kuat. Mempunyai otot-otot yang sangat kencang. Gerakannya cepat dan kuat. Mempunyai kemampuan spatial yang baik, berlari cepat dan mengelak dengan sigap jika akan menabrak sesuatu benda. Periang, mempunyai rasa humor yang tinggi dan senang meledek dan bercanda-canda.
Perkembangan bahasa dan kemampuan bicaranya sangat cepat dengan perbendaharaan kata yang luas, atau justru sangat terlambat bicara. Mengalami gangguan konsentrasi, berupa mudah terangsang pada bunyi-bunyian dan gerakan, mempunyai perhatian cepat berpindah-pindah, kekacauan konsentrasi, namun mampu mengonsentrasikan diri secara intens pada hal yang menjadi perhatiannya. Sering memperhatikan benda bergerak seperti roda, air mengalir, dan gerakan berulang membuka tutup pintu, menyalakan dan mematikan lampu, memainkan mobilan maju mundur ke atas dan bawah, mengucurkan air, memutar-mutar pentil radio serta televisi, dan sebagainya.
Di usianya yang sangat dini, tiga tahun, sering terjadi loncatan perkembangan dimensi, ia mampu menggambar wajah orang terdekatnya, biasanya ayahnya. Menggambar berbagai figur hidup, manusia, binatang, lingkungan, dan alam raya. Mampu menyusun alat mainan Lego menjadi jembatan dan bentuk-bentuk tiga dimensi. Menyukai angka dan bilangan, mengenal dan mengingat berbagai macam logo-logo iklan, dan darinya ia mampu mengembangkan kemampuan membaca dan menulis.
Keras kepala, perfeksionis, sering terfiksasi pada satu perhatian, tidak tahan rutinitas, mempunyai perkembangan rasa takut yang hebat, sangat emosional mudah berubah temperamen, spontan, sangat sosial, mudah frustrasi, dan pemain sandiwara yang ulung.
* Julia Maria van Tiel, Doktor Medical Anthropology, mantan dosen S3 UI dan Unair, orang tua anak berbakat http://www.kompas.com/index.htm

....


 

 

Rabu, September 15, 2004

Anak Berbakat dengan Gangguan Belajar

Kompas Minggu, 07 September 2003

Anak Berbakat dengan Gangguan Belajar


SEBAGAI pembina diskusi kelompok elektronik Indonesia yang isinya orangtua anak berbakat dengan gangguan belajar (gifted with learning disabilities), saya sering merasa kesulitan mencari profesional yang bisa menjelaskan secara menyeluruh permasalahan yang dihadapi anak-anak ini. Penyebabnya, kedua kondisi, yaitu keberbakatan dan gangguan belajar, merupakan kondisi yang paradoks.
KEBERBAKATAN bukanlah penyimpangan, tetapi merupakan perkembangan intelektual, sedangkan gangguan belajar (specific learning disabilities) adalah keadaan seseorang yang mengalami gangguan dalam satu atau lebih area inteligensia. Gangguan belajar disebabkan adanya gangguan perkembangan yang mengakibatkan fungsi inteligensia terganggu. Keunikan, kelebihan, dan karakteristik anak semacam ini yang ternyata menyulitkan, berbagai gangguan perkembangan, serta kebutuhan khususnya dalam metode pendidikan, membutuhkan sejumlah besar keilmuan untuk menjelaskan.
Umumnya mereka terlambat bicara dan terjebak dalam diagnosis autisme, sekalipun memang mereka mempunyai gejala mirip autisme. Tidak jarang pula tertukar diagnosis mereka dengan autisme Asperger ataupun autis savant. Autis Asperger ada yang mempunyai IQ tinggi (tetapi tidak mengalami keterlambatan bicara), dan autis savant mempunyai talenta luar biasa (tetapi mengalami gangguan sangat luas dalam area inteligensia, seperti dalam film Rainman yang diperankan Dustin Hoffman).
Dalam uji psikologi, anak berbakat dengan gangguan belajar menunjukkan profil inteligensia tidak harmonis, hasil uji akan sangat tinggi dalam performa berupa kemampuan abstraksi dan logika analisis, tetapi tertinggal dalam kemampuan verbal. Kesulitan yang sering mengikuti hingga dewasa adalah gangguan pada memori jangka pendek yang mengatur kemampuan hafalan, terlihat dari nilai hasil uji digit span test yang rendah, 2-3 (normal, 2-9). Para ahli audiologi menyebutnya auditory processing disorder (APD). Artinya bukan telinganya yang terganggu, tetapi proses informasi di otak terganggu sehingga mereka sering tampak seperti anak tuli atau melongo jika diajak bicara dan tidak merespons jika dipanggil. Pada akhirnya berakibat mengalami ketertinggalan perkembangan bicara dan bahasa.
BERBAGAI gangguan perkembangan lain yang menyertai saat masih balita adalah ketidaksinkronan perkembangan. Motorik kasar berkembang hebat, tetapi motorik halus tertinggal. Kemampuan pencandraan visual berkembang hebat, tetapi mengalami gangguan dalam penerimaan informasi melalui telinga. Ia juga mengalami ketidakteraturan perkembangan sensoris, misalnya sensor raba sangat peka sehingga jijik dengan benda basah dan lembek, sering tidak merespons panggilan tetapi terlalu peka suara bising dan mudah terangsang pada suara.
Ia sangat berani, tetapi juga sangat penakut. Ia mempunyai periode berkonsentrasi intensif, namun juga kadang tampak bagai anak tidak bisa konsentrasi dan hiperaktif sehingga sering terjebak dalam diagnosis anak dengan gangguan konsentrasi atau Attention Deficit Hyperactivity Disorder (ADHD).
Keberbakatan (giftedness) sesuai dengan definisi Renzulli, yaitu mempunyai kemampuan inteligensia berupa kemampuan logika analisis dan abstraksi tinggi, kreativitas tinggi, serta motivasi dan ketahanan kerja tinggi. Namun, banyak di antara mereka justru sulit berprestasi di sekolah. Hal ini karena ia visual learner, selalu berpikir secara analisis, perfeksionis, dan kadang diikuti rasa percaya diri yang kurang, dan takut gagal sebelum mengerjakan tugas yang sebenarnya bisa dia kerjakan.
Karena sering berada dalam diagnosis autisme atau DHD ditambah karakteristiknya yang khusus itu, mereka sering dianjurkan ke sekolah luar biasa (SLB) karena membawa skor IQ total rendah (akibat ketidakharmonisannya yang kemudian dirata-ratakan), atau dimasukkan ke kelas lambat yang sebenarnya justru keliru karena pada dasarnya mereka adalah pemikir yang sangat cepat.
Apabila ia bisa masuk ke sekolah dasar umum, ia segera dikeluarkan karena guru kewalahan, dianggap mengganggu jalannya pelajaran, dan pihak sekolah tidak mengerti materi serta metode apa yang dapat diberikan kepadanya.
Pada pelajaran matematika umumnya mereka mendapat angka baik, namun tidak demikian pada pelajaran menghafal yang memang lemah. Dengan demikian, pelajaran PKKn, agama, dan bahasa Indonesia mendapat angka jelek. Padahal nilai pelajaran ini sama sekali tidak boleh merah.
Mereka dianggap sangat emosional, keras kepala, dan sulit diatur. Apalagi diikuti dengan tulisan yang jelek karena memang motorik halusnya lemah, hukuman yang diberikan tidak hanya cukup hukuman fisik seperti disetrap di muka kelas, juga dikenai hukuman psikis, yaitu dimarahi dan akhirnya angkanya disunat.
Padahal, mereka adalah kelompok anak berisiko, dukungan pendidikan yang tidak menunjang hanya akan menyebabkan masalah lebih sulit, yaitu jatuhnya anak ke dalam kondisi frustrasi, depresi, hilang percaya diri, berkembangnya konsep diri negatif, timbul perilaku bermasalah, atau timbul keinginan bunuh diri.
KESULITAN orangtua menghadapi anaknya ini adalah kebingungan lengkap. Menghadapi pihak profesional, seperti dokter dan psikolog, hanya mendapatkan penjelasan sepotong, bahkan tidak ada kekompakan untuk mengatakan bagaimana keadaan anak ini. Ditambah pula kebingungan mencari sekolah yang mau menerima. Pihak sekolah pun mengalami kebingungan. Apalagi ilmu learning disabilities belum populer di kalangan guru. Begitu juga karakteristik psikis anak berbakat memang tidak dikenal, terlebih yang mempunyai keistimewaan ganda seperti ini, berbakat tetapi mengalami gangguan belajar.
Dengan begitu metode pengajaran yang beragam dalam kelas juga belum dikenal. Tidak ada informasi formal barang sedikit pun tentang anak seperti ini, baik dari lembaga pengajaran ilmiah maupun lembaga pemerintah. Ironisnya informasi yang didapat sangat simpang siur, melelahkan, membingungkan, tidak tahu siapa yang harus dipercaya.
Dari hasil penelitian para ahli di Belanda pada tahun 1980-an, anak berbakat yang tidak berprestasi adalah setengah dari populasi anak berbakat (2-4 persen dari anak- anak yang lahir). Ketidakmampuan mereka berprestasi disebabkan selain mereka tidak mendapat dukungan perkembangan, juga karena masalah ketidakharmonisan perkembangan.
Agar bisa ditangani dengan baik dan tidak tersasar ke berbagai diagnosis gangguan belaka, maka sejak dini mereka sudah dilacak melalui dokter tumbuh kembang, taman bermain, dan taman kanak- kanak. Sekolah taman kanak-kanak merupakan pusat tumbuh kembang anak yang ditangani oleh dokter sekolah, psikolog, ortopedagog, ahli gerak, ahli wicara, dan berbagai remedial teachers. Tidak terbimbingnya anak ini sejak dini menyebabkan ia hanya tampak bagai anak yang mengalami keterbelakangan mental.
Apa yang bisa diharapkan untuk mengatasi anak-anak berbakat Indonesia yang tak jelas rimbanya ini adalah kerja sama di antara para ahli (dokter, psikolog, dan pedagog) dalam membuat kesepakatan bagaimana melakukan deteksi dini, tata laksana penanganan, metode, serta materi yang cocok dalam pendidikan. Tidak kalah pentingnya adalah pendirian pusat informasi dan psycho educational assessment.
Julia Maria van Tiel Orangtua Anak Berbakat
http://www.kompas.com/index.htm


....


 

 

Selasa, September 14, 2004

Diagnosis Anak Jenius

Diagnosis Anak Jenius

Oleh: Julia Maria van Tiel
Republika, 5 Maret 2002

Menyimak tulisan tentang masalah autisme dalam dua terbitan Republika (25 dan 26 Februari 2002), buat saya sangat menarik sekaligus menimbulkan greget tersendiri. Bagaimana tidak dalam satu tulisan bisa menampilkan sebuah polemik tentang penyebab autisme, satu ahli mengatakan penyebabnya belum diketahui, kemungkinan besar faktor genetik membawa peranan; tetapi ahli lain mengatakan banyak faktor sebagai penyebab baik saat kehamilan maupun pasca kelahiran.
Satu ahli mengatakan terapinya adalah terapi perilaku yang disesuaikan dengan kebutuhan, dan dalam menghadapi konflik antar-diagnotician tentang label dan kekhawatiran adanya overdiagnosis, ia lebih memilih jalan tengah, bahwa kita tidak perlu pusing dengan label, tetapi berbagai penyimpangan maupun kelainan pertumbuhan dan perkembangan hendaknya ditangani sedini-dininya. Sementara itu ahli lain tetap mengharapkan penggunaan label autisme dengan mengatakan bahwa masyarakat hendaknya jangan menutup mata jika anaknya mengalami gangguan autisme.
Autisme yang merebak saat ini--di dunia maupun Indonesia--telah menjadi momok buat semua orangtua. Bagaimana tidak jika isunya mengatakan bahwa di Indonesia saja mencapai 1:150 anak mengalami hal ini, dan tidak akan sembuh pula. Isu vaksin sebagai biang keladi pun menjadi hantu yang cukup mengerikan. Bagi orangtua yang anaknya terstempel label autisme (yang tidak mungkin sembuh itu), serta merta mengalami kepanikan dan diterima oleh berbagai terapi alternatif komersial baik radikal maupun tidak, serta belum jelas hasilnya.
Ironisnya seperti yang diakui ahli dalam tulisan itu, masalah diagnosis autisme sendiri masih diperdebatkan oleh para dokter sendiri. Ada yang mengatakan betul autisme, atau hanya hiperaktif saja, bahkan bukan apa-apa, saat menghadapi suatu pasien yang sama.
Lalu bagaimana kita mampu memilih bentuk terapi yang benar, jika kausa dan diagnosisnya masih menjadi perdebatan?
Sementara itu, para orangtua sangat resah ingin segera mengerti tentang anaknya itu, agar mampu menjadikan anak yang mandiri. Label autisme (sekalipun masih kontraversial, dalam spektrum, sindrom, berat-ringan, autistik features) membawanya mengembara mencari-cari, seperti apakah kelak anakku ini? Ternyata yang ketemu, figur Rain Man dalam sebuah film yang dimainkan Dustin Hoffman--seorang autis savant yang idiot dengan kemampuan memori verbal dan memori visual yang hebat sehingga mampu bermain perkalian sampai berdigit-digit tanpa kalkulator. Atau bertemu pada figur asperger yang mampu menjadi seorang doktor sekalipun, tetapi mengalami gangguan berkomunikasi dengan orang lain. Padahal tipe autisme asperger ini pada waktu balita tidak mengalami keterlambatan bicara. Disangkanya kelak anaknya akan seperti itu, padahal autis savant hanya berjumlah 10 persen dari autisme infantil yang mental retarded, dan asperger yang ber IQ tinggi hanya berjumlah tiga persen saja dari kelompoknya.
Saya bersama beberapa rekan dokter dan psikolog secara sukarela dan nirlaba meluangkan waktu membina mailinglist anak berbakat. Mencari informasi ke seluruh dunia dan menyampaikan ke tanah air. Kami dan para anggota mailing list adalah para orangtua yang mempunyai anak- anak yang senasib, menyadari bahwa kami adalah kelompok yang terjepit, dan kebingungan. Bagaimana tidak, di antara para anggota kami, anak- anaknya pernah mendapat stempel bermacam-macam, bahkan ada yang sampai 5 jenis diagnosis. Atau jika anak itu ternyata sudah mampu bicara dengan baik, diagnosis pun berubah, tadinya autisme berubah menjadi ADHD (Attantion Deficit Hyperactivity Disorder). Atau karena sangat pintar, ia terdiagnosis sebagai autis savant, ataupun autis asperger. Sesuatu hal yang tidaklah mungkin, karena autisme sulit mengalami pencapaian taraf perkembangan yang drastis macam anak-anak kami, autisme tidak kreatif dan tidak analistis. ADHD sendiri tidak pernah mengalami keterlambatan bicara. Terapi psikotropika pun dari risperdal bagi autisme berubah kepada ritalin bagi ADHD. Atau bahkan ada yang sekaligus risperdal dan ritalin. Atau pagi harus menelan risperdal dan sore menelan prozac. Belum lagi berbagai terapi alternatif sampingan yang bukan saja menguras kantung, tetapi juga emosi. Pencarian sekolah pun menjadi dilema, mereka ditolak dimana-mana, mulai dari sekolah luar biasa hingga sekolah biasa, karena dianggap bergangguan jiwa.
Air mata yang tumpah bertahun-tahun dari para orangtua itu, yang selalu dituding sebagai orangtua yang denial terhadap diagnosis autisme anaknya, telah menyadarkan kami, saat anak-anak ini telah mampu menjalani test IQ di usianya yang ke lima atau ke enam. Mereka ternyata adalah anak-anak exceptional gifted (berbakat dengan IQ yang sangat tinggi yang dapat dikatakan sebagai anak-anak jenius). Anak- anak ini mengalami perkembangan yang dyssynchonie yang berakibat pada berbagai perkembangannya tidak sama dengan anak normal lainnya, sebagiannya mengalami perkembangan bersindrom autisme dan sebagian lagi bersindrom ADHD. Perkembangan dyssynchronie pada anak exceptional gifted ini dinyatakan tidak patologis tetapi sebagai karakteristik, pertama kali diperkenalkan oleh seorang psikolog Perancis tahun 1971, dan kini telah diterima di banyak negara di daratan Eropa. Di Belanda kondisi dyssynchronie ini dikenal sebagai kinderen met onwikkeling voorsprong (mengalami loncatan perkembangan, tetapi tertinggal di beberapa domain perkembangan), dan telah diterima secara mapan oleh semua profesi serta telah diajarkan di semua pendidikan yang berkaitan dengan tumbuh kembang anak-anak.
Di Amerika dikenal sebagai gifted with learning disabilities, karena ketidak sinkronannya itu menyebabkan berbagai gangguan penerimaan pengajaran dan perkembangan sosial-emosional. Terminologi gifted with learning disabilities ini juga ternyata membawa dilema pada anak-anak ini, karena learning disabilities-nya inilah mereka lalu menjadi bulan-bulanan sasaran berbagai terapi alternatif, termasuk terapi nutrisi, megavitamin dan herbalis yang kini makin menjamur. Apalagi anak-anak ini kelompok anak yang mengalami biological disorder, seperti alergi dan gangguan metabolisme.
Kesulitan mendeteksi balita calon jenius ini juga disebabkan karena gejala yang dihadirkan anak-anak ini sangat mirip dengan berbagai gangguan mental lainnya. Begitu sulitnya untuk menegakkan diagnosis, maka banyak kalangan yang berpendapat bahwa, apa pun anak itu jadinya kelak, kalau balitanya menunjukkan penyimpangan perkembangan pokoknya sebaiknya diterapi saja. Karena gejalanya mirip-mirip dengan autisme ataupun ADHD. Maka tidak ayal pula kelompok kami menjadi bersitegang dengan kelompok yang mempertahankan diagnosis autisme ataupun gangguan mental lainnya. Karena menurutnya dikhawatirkan kelak masyarakat menyangka bahwa yang mempunyai gejala autis itu adalah anak jenius, lalu tidak mau membawa anaknya ke dokter, sebagaimana yang banyak tersebar saat ini dalam masyarakat.
Terlibatnya anak-anak jenius ini dalam berbagai diagnosis gangguan mental akhir-akhir ini karena adanya perubahan sistem diagnosis yang digunakan di berbagai belahan dunia pada sepuluh tahun terakhir. Bahkan banyak publikasi pula di tanah air yang mengatakan bahwa Einstein, Michelangelo, Thomas Alfa Edison, yang kita kenal selama ini sebagai orang jenius, kini dinyatakan sebagai orang-orang autis. Publikasi ini tentu saja membuat giris kelompok jenius. Bahkan ada pula publikasi seorang pakar terapi autisme mengatakan bahwa jika autis diterapi dan sembuh maka ia akan menjadi jenius (Media Indonesia, 7/9/2001).
Sekalipun anak-anak ini masa balitanya mempunyai perkembangan bersindrom autisme ataupun ADHD, tetapi mereka tidak sama dengan autisme ataupun ADHD. Betul gejala mereka berada di garis antara normal dan tidak normal. Tapi bukan berarti grey area ini kemudian ditarik menjadi autisme ataupun ADHD dan menerima berbagai terapi yang sama dengan autisme atau ADHD. Sekalipun mempunyai gejala perilaku yang mirip-mirip, tetapi psiko-neurobiologis mereka amat berbeda dengan autis/ADHD.
Sayangnya ilmu tentang anak-anak yang exceptional gifted (jenius) ini di Indonesia tidak populer, baik dilingkungan psikolog dan pedagog sendiri sebagai profesi yang bertanggung jawab dalam bimbingan dan pengembangan anak-anak ini, ataupun juga dilingkungan dokter anak yang bertanggung jawab dalam mengawasi tumbuh kembang anak-anak balita, serta di lingkungan psikiater yang seharusnya mampu memilah mana yang disorder dan mana yang tidak disorder. Budaya kesehatanpun yang tidak membiasakan pemantauan balita secara detil, tidak mendukung terdeteksinya anak-anak ini sebagai anak exceptional gifted yang mengalami dyssynchronie perkembangan dan membutuhkan perhatian ekstra, dukungan lingkungan, bimbingan sebagaimana yang dibutuhkan, serta pengembangan berbagai aspek yang tertinggal, mengaktualisasikan potensi yang dimilikinya, dan mengeliminasi berbagai kekurangannya, agar ia mampu hidup senormal mungkin dan berprestasi seoptimal mungkin.
Apa yang kita ketahui selama ini tentang anak berbakat adalah anak yang baik-baik saja, tidak mengalami ketidakseimbangan perkembangan, serta dinyatakan tidak disorder. Karena itu, tidak pernah diperhatikan oleh semua profesi, mereka terlupakan, bahkan terdepak dari diagnosis satu ke diagnosis lainnya. Anak dan orangtua mengalami duka lara yang luar biasa. Padahal anak-anak ini berjumlah dua persen dari anak yang lahir ke dunia. Suatu jumlah yang sangat besar.
Apa yang bisa diharapkan saat ini adalah agar para profesional menghentikan perdebatan dan selisih pendapat mereka, bersama-sama mempelajari serta membuat kesepakatan, serta bersatunya berbagai ikatan profesi yang bertanggung jawab pada tumbuh kembang, bimbingan dan pendidikan anak-anak ini, seperti dokter anak, psikolog, dan pedagog.

Republika, Selasa, 05 Maret 2002

....


 

 

Senin, September 13, 2004

PENGALAMAN DENGAN ANAK GIFTED with LEARNING DISABILITIES BERSYNDROM AUTISME


Julia Maria van Tiel (orang tua anak gifted, Nederland)

Ceramah di Surabaya, 9 Juli 2003
Diselenggarakan oleh Paguyuban Orang Tua Anak Berbakat Surabaya Adi Purusa, bekerja sama dengan Sd Kr Kasih Karunia.



PENDAHULUAN

Hoogbegaafd met spoor van autisme (gifted dengan gejala/syndrom autisme), demikian deteksi yang diberikan oleh Centrum voor Begaafheid Onderzoek – CBO (Pusat Penelitian Keberbakatan) dari Katholieke Universiteit van Nijmegen Nederland saat Jos (bukan nama sebenarnya), anak saya, di tahun 2001 itu berusia persis yang kelima, setelah saya harus menunggu pengerjaan berbagai test psikologi itu selama dua tahun lamanya sampai ia benar-benar bisa diajak komunikasi dua arah. Dijelaskan juga dalam hasil test itu, sekalipun dikatakan bahwa Jos mempunyai spoor van autisme, namun bukan berarti bahwa ia adalah penyandang autis, sebab gangguan perkembangan komunikasi, sosial, dan emosi yang ada padanya disebabkan karena keterlambatan perkembangan bahasa dan bicara. Ia masih bisa berbahasa simbolik dan sangat sosial. Dari pengamatan terhadap perilaku, menunjukkan bahwa ia mempunyai gejala autisme, namun dari berbagai subtest psikologi ia menunjukkan sebagai anak gifted yang mengalami perkembangan tidak harmonis, yang dapat menyebabkan gangguan belajar (learning disabilities).

Awal dari apa yang harus saya hadapi ini adalah, saat ia berusia tiga tahun, keluhan keluar dari semua ibu guru di dua kelompok bermain tentang keanehan Jos. Ia dinilai oleh para guru sebagai anak yang tertinggal, kemungkinan kurang cerdas karena tidak bisa mengerjakan berbagai tugas (menggambar, menggunting, menempel, menyanyi, bermain bersama teman), belum bisa bicara apa-apa, hiperaktif hanya berlari keliling ruang - tidak bisa duduk diam, dan kemungkinan juga autisme karena ia hanya mau bermain sendiri, tanpa teman. Saya sendiri tidak merasa mempunyai gangguan pada anak saya, ia tumbuh sebagai bayi sehat, perkembangan motoriknya sangat hebat jauh mendahului kemampuan anak-anak seusianya, ia bisa berkomunikasi secara simbolik dengan saya, ia mempunyai hubungan bathin yang erat dengan saya, ia senang sekali bercanda-canda, selalu mempunyai senyum sosial, dan ia sangat mengerti apa artinya nyanyian melodi sedih hingga ia menangis tersedu sedu, tetapi berjingkrak jingkrak jika mendengar lagu riang. Tetapi semakin lama saya pun merasakannya, saya kewalahan karena ia selalu berlari, jungkir balik, selalu berkelahi dengan anak tetangga yang seusia, tidak mau makan dengan benar (pemilihan menu yang sulit, harus mempunyai rasa dan bentuk yang sama – tidak boleh terlalu merah atau terlalu pucat untuk kentang goreng misalnya, makan hanya itu itu saja), dipanggil kadang merespon kadang tidak, tidak mau mendengarkan larangan, makin sulit diberi perintah, mempunyai ritual yang tidak bisa ditinggalkan, tidak mau buang air di tempat lain, sulit akan perubahan, marah jika harus meliwati jalan lain, marah jika ada barang dipindah-pindah, terlalu pembersih, dan mempunyai perkembangan rasa takut yang hebat yang masing kadang muncul hingga usianya yang ke lima. Situasi puncak tersulit adalah di usianya menjelang ketiga sampai beberapa bulan sesudah usia tiga, dimana selalu diwarnai dengan gelombang kemarahan, menangis, dan mengamuk. Hal yang paling membuat kami kesulitan adalah kebiasaannya yang tidak mau mendengar, padahal dalam berbagai pemeriksaan telinga ia tidak tuli. Bicara dua arah pun baru bisa dilakukannya di usianya yang kelima. Serta keras kepala dan perfeksionistnya luar biasa, yang menyebabkan ketidak fleksibelan serta menarik situasi yang konfrontatif baik dengan teman bermain, dan orang tua.

Keluhan para ibu guru di usianya yang ketiga tadi, saya laporkan kepada dokter tumbuh kembang, namun dokter tumbuh kembang tidak bisa memastikan sebelum diperiksa oleh fihak lain. Kami menghubungi orthopegagog dari Universiteit Leiden, dilakukan tanya jawab dan test CBCL (Children Behaviour Check List), kami mendapat penjelasan bahwa Jos adalah kelompok anak berresiko (jonge risico kinderen) sekalipun belum bisa dikatakan bahwa perilakunya patologis, namun ia berada di border, antara normal dan tidak normal, dengan gejala pada masalah agresivitas pada situasi di sekolah, menarik diri pada situasi rumah yang skornya hingga mencapai 65 persen (batas dapat dikatakan patologis adalah 70 persen).

Yang paling berkesan adalah, dari pemeriksaan semua pekerjaan yang dilakukan oleh Jos, orthopedagog menemukan bahwa Jos mempunyai fotografis memori, sebagaimana halnya yang dimiliki anak-anak autis dan juga dimiliki oleh anak-anak gifted. Kesimpulan fotografis memori ini diambil dari berbagai gambar yang dikerjakan oleh Jos persis di usianya yang ketiga, yang merupakan gambar yang sangat detil dan tiga dimensi. Disamping juga berbagai perilaku yang menunjukkan perilaku yang dipengaruhi oleh memori jangka panjang, seperti marah jika ada barang dipindah, marah jika meliwati jalan lain, serta hanya ingin menggunakan barang yang sama. Itulah sebabnya perilaku kedua kelompok anak ini (autis dan gifted) mempunyai kemiripan satu sama lain. Kelak hal inipun memerlukan pengamatan dan test yang lebih mendalam agar bisa dibedakan apakah ia anak autis atau apakah ia anak gifted.

Pemisahan diagnosis ataupun deteksi dini menjadi penting, sebab pendekatan dan penanganan baik di rumah dan di sekolah akan sangat berbeda. Kekeliruan pendekatan justru hanya akan menyebabkan kondisi anak akan menjadi lebih parah, karenanya anak seperti ini dikelompokkan sebagai anak yang berrisiko. Dari hasil test yang dilakukan oleh orthopedagog ini pendeteksian dilakukan lebih lanjut oleh Centrum voor Begaafdheid Onderzoek (CBO) Universitas Nijmegen, di usianya yang ketiga liwat dua bulan , yang mengatakan bahwa Jos merupakan anak yang mengalami loncatan perkembangan kognitif sebagaimana anak-anak gifted balita yang lebih disebut sebagai kinderen met voorsprong ontwikkeling (anak yang mengalami loncatan perkembangan) namun tidak harmonis dalam perkembangannya, yang kemudian disebutnya sebagai perkembangan yang tidak sinkron. Kami sebagai orang tua dianjurkan membaca berbagai literatur untuk bisa mengerti bagaimana karakteristik anak ini, dan memasuki kelompok persatuan orang tua anak gifted untuk saling berbagi pengalaman dan mencari tip-tip yang pas.

Kini ia berusia tujuh setengah tahun, naik kelas dua sekolah dasar (grup 4 jika di Belanda), dengan angka raport sangat baik di semua mata ajaran, hanya laporan ibu guru ia adalah seorang anak yang sangat penolong tetapi menarik diri. Dalam laporan perkembangan bahasa dan bicara , ia mengalami kekurangan dalam vokabulari dan pelajaran dengan mondeling. Namun kemampuan pengertian bahasa, dan pengucapan bahasa sangat baik. Hanya penggunaan bahasa ia mempunyai cara sendiri untuk menjelaskan sesuatu hal yang berada di dalam fikirannya. Ia mempunyai bahasa dengan sofistikasi yang tinggi, namun kurang fragmatik jika harus berkomunikasi dengan teman sebayanya. Bahasa ini juga ia serap dari komputer, buku, film, dan bacaan lain, lalu ia kembangkan dengan caranya sendiri, yang lebih banyak didukung oleh perkembangan kemampuan belajar secara visual. Ia masih mengikuti terapi wicara yang diikutinya sejak ia berusia 6 tahun guna meningkatkan kemampuan memori verbalnya terhadap ingatan akan kata-kata benda yang berdiri sendiri (karena digit span test yang rendah). Dari hasil test kemampuan verbal terakhir, di akhir bulan April 2003 menunjukkan hasil ia mengalami kemajuan mencapai kemampuan rata-rata seusianya baik dalam segi pengertian bahasa, pengucapan dan penggunaan bahasa, (bahasa ekspresif dan bahasa reseptif), dengan peningkatan kemampuan memori verbal yang sangat memadai untuk seusianya. Dengan demikian gangguan komunikasi yang disebabkan karena masalah perkembangan bahasa ekspresif ini mampu menyelaraskan perkembangan berbagai aspek inteligensia yang selama ini tidak harmonis. Sekaligus juga mengatasi masalah gangguan belajar.

Bisa dikatakan bahwa dalam pendidikannya di sekolah, kini, tidak lagi mengalami gangguan belajar yang berarti, berkat penanganan secara khusus sesuai dengan karakteristiknya. Ia sangat menyukai komputer, membaca, berhitung, ilmu bumi (peta, tata surya, meteorologi, astronomi), dan pekerjaan disain (merancang berbagai ide dengan menggunakan kertas digunting ditempel, kardus bekas, balok kayu dlsb). Kesulitan yang masih terus perlu mendapatkan bimbingan adalah, mengajaknya agar ia mampu bekerja sama dengan baik, bekerja dalam kelompok, lebih fleksibel, dan berkomunikasi secara luwes.

Beberapa masalah yang menyebabkan ia mempunyai prestasi rendah saat duduk di peuterspeelzaal (kelompok bermain) dan kleuter school (taman kanak-kanak), adalah perkembangan sensoris raba, pendengaran, dan penglihatan yang terlalu hebat, menyebabkan ia jijik pada alat peraga yang lengket (lilin, lem, cat air), panik jika mendengar suara ribut, mudah beralih perhatian pada bunyian dan gerak di sekitar, serta gangguan konsentrasi.
Motorik halus yang mengalami ketertinggalan menyebabkan ia mengalami kesulitan menulis, serta kordinasi dan lateralisasi tangan kiri dan kanan menyebabkan kesulitan mengajarinya menggunakan tangan kiri atau tangan kanan secara baik (kini ia terlatih menggunakan tangan kanan). Ketertinggalan motorik halus serta kordinasi tangan ini juga menyebabkan ia mengalami ketertinggalan pada pelajaran menulis, namun dengan latihan motorik halus dan kordinasi mata tangan, segera kekurangan ini bisa diatasinya, dan ia mempunyai prestasi menulis yang sangat baik.

Beberapa karakteristik perkembangan anak berbakat juga membawa dampak pada perkembangan belajar yang terganggu, yaitu pada usia kelima dalam test pedagogi ia menderita perasaan takut gagal (faalangst atau fear of failure) yang akan saya jelaskan dalam pembicaraan kemudian.

Ia adalah anak yang visual learner, dengan begitu semua pelajaran yang diterimanya dari dunia luar lebih mengandalkan mata daripada proses informasi yang masuk melalui telinganya. Hal ini juga menyulitkan baginya dalam pelajaran membaca. Sekalipun ia sudah mampu membaca tanpa diajari, ia belajar sendiri dari mengutak atik logo-logo, maka saat ia duduk di bangku sekolah dasar, ia mengalami kesulitan membaca dan mengeja. Karenanya ia mendapatkan pelajaran membaca yang dikhususkan bagi anak-anak visual learner. Begitu juga dengan kesulitan dengan pelajaran bahasa, kesulitan mencerna perintah beberapa buah sekaligus, kesulitan berkomunikasi, semuanya memerlukan pendekatan sendiri, yaitu menggunakan metoda yang lebih bertumpu pada pendidikan untuk anak visual learner.

BENARKAH IA AUTIS atau ADHD?

Pertanyaan ini tentu saja menghantui kami, orang tuanya. Bagaimana autisme itu, apa bedanya dengan gifted? Apakah ia ADHD karena ia juga begitu hiperaktifnya sehingga para orang tua murid lain menjulukinya juga ADHD. Ternyata jawabannya adalah ia bukan autisme dan juga bukan ADHD, meski gejala perilaku yang ditampilkan mirip dengan autisme (sehingga dikatakan oleh CBO Nijmegen, met spoor van autisme), dan juga hiperaktif yang sering juga disertai dengan agresivitas maupun gangguan konsentrasi. Anak-anak gifted yang mempunyai keterlambatan dalam perkembangan bicara ini sering tanpa sengaja terdiagnosa sebagai anak autisme infantil atau jika ia sudah mampu berbicara dengan baik misalnya di usianya yang ke lima atau enam, diagnosanya menjadi ADHD. Kadang karena ia menunjukkan prestasi yang baik dalam pelajaran maka ia juga terdiagnosa sebagai autis Asperger Syndrom dengan inteligensia tinggi, sementara itu anak-anak Asperger syndrom ini memang sebagian mempunyai inteligensia tinggi namun mempunyai perkembangan bicara yang tidak mengalami keterlambatan bahkan mengalami perkembangan bahasa semantik dan
fragmatik yang baik (Vermuelen, 1999, Hupkens, Mart 2002).

Terkadang juga anak-anak gifted yang terlambat bicara, dan mempunyai kemampuan yang menakjubkan dalam menggambar, menghapal tanggal dan tahun-tahun kalender, atau mampu bermain musik klasik, misalnya, sering juga disangka autis savant. Namun autis savant adalah seseorang yang mengalami retardasi mental tetapi mempunyai aspek memori verbal atau memori visual
yang sangat hebat sehingga ia bisa mengikuti musik dengan sempurna, menggambar dengan sempurna, namun terfiksasi, tidak menunjukkan adanya kesan sosial, serta tidak kreatif. Dalam hal ini terjadi fenomena paradoks dalam satu individu yang mengalami ketidak mampuan perkembangan inteligensia (deficiency) sekaligus juga superioritas. Menjadikannya ia mampu mengkopi teks yang rumit tetapi tak mengerti isinya. Ada yang bisa menggambar dengan kemampuan yang hebat sebaliknya juga sangat rendah di berbagai bidang inteligensia. Sering disebutkan bahwa kelompok savant mempunyai kemampuan istimewa (giftedness) bisa dalam bidang mekanik, atau matematika, atau musik, atau memori tanggal. Prosentasi autisme savant ini sekitar 10 persen dari jumlah autisme mental retarded pada umumnya. ( Sacks, 2002).

Apa yang membedakan bahwa Jos bukanlah penyandang autisme infantil (autisme klasik) adalah dari hasil test yang dilakukan oleh CBO, bahwa gangguan perkembangan sosialnya lebih disebabkan karena ketertinggalan perkembangan bicara dan bahasa. Ia sendiri mempunyai emosi yang baik saat berhubungan dengan orang lain, tidak takut menghadapi orang lain, mampu diajak bekerjasama dengan baik selama test, tukang melucu dan senang bercanda-canda. Dari hasil test juga menunjukkan ia mempunyai kemampuan logika analisis dan kreativitas yang sangat tinggi, dimana kedua faktor ini tidak dipunyai oleh anak-anak autis pada umumnya. Hal yang sangat penting adalah bahwa, Jos sangat mampu berbahasa simbol, sedang kelompok autis tidak mampu.

Perkembangan bahasa yang merosot di usianya yang ke 18 bulan, dimana beberapa kata dan lagu yang sudah ia pelajari dengan baik tiba-tiba menghilang, dijelaskan dalam buku Ontwikkeling Psychologie dari Mönks (1999), dan buku The Growth of the minds and the endangered origins of intelligence dari Stanley I Greenspan (1997), bahwa di usia 18 bulan, anak-anak mulai dengan dengan fase observasi. Pada fase ini anak-anak akan melihat dunia disekitarnya menggunakan matanya, mencoba mengenalnya, dan mengetahui apa yang dilihatnya.

Pada fase inilah terjadi suatu perkembangan pada Jos yang berbeda dengan anak-anak lain. Pada usia dimana anak-anak melakukan belajar mengenal dunia di sekitarnya menggunakan mata, telinga, dan berbagai indera lainnya (pengecapan dan raba), namun pada Jos justru terjadi ketidak seimbangan perkembangan intensitas pada fase ini. Perkembangan visual yang sangat dominan telah meninggalkan perkembangan proses informasi melalui telinga (auditive processing) yang menyebabkan ketimpangan proses informasi (Greenspan, 1995).

Gangguan ini dapat dilihat dari gejala-gejala sebagai berikut yang oleh Karin Nijenhuis (2003) dari UMC Radbout afd. KNO/audilogisch centrum, Nijmegen, disusunnya dalam buku kecilnya berjudul Kinderen met Luisterproblemen (anak-anak dengan gangguan pendengaran).
Gejala gangguan pengertian:
- si anak sering mengatakan: ‘huh’ atau “apa?”
- si anak tidak bisa mengerti dengan baik bila dilatarbelakangi dengan banyak bunyian (pada pesta, di lapangan sekolah, di kolam renang). Hal ini berlawanan dengan bila di situasi sepi, dimana anak itu dapat mengerti semuanya ;
- perintah mondeling sangat sulit difahami, terutama jika perintahnya panjang dan rumit ;
- seringkali juga mengalami salah pengertian : diskriminasi auditive-nya lemah ;
- anak tersebut memerlukan waktu lebih lama untuk mencari apa yang harus dikatakan karena itu juga membutuhkan pemberian pertanyaan berulang-ulang ;
- mengalami kesulitan untuk mempertahankan informasi mondeling (problem memori) ; informasi mondeling seringkali lebih cepat dilupakan ; tetapi informasi tulisan akan lebih baik diingatnya ;
- saat komunikasi dua arah, perhatiannya seringkali cepat kesasar ke tempat lain, misalnya di rumah saat makan bersama ;
- ia memberikan jawaban yang tak memadai terhadap pertanyaan yang diajukan padanya, jawaban seolah tak cocok dengan pertanyaan ;
- seringkali ucapan/perintah diabaikannya karena ia tak mampu menerima perintah itu ;
- reaksi terhadap ucapan atau pembicaraan sering berubah-ubah, kadang ia bereaksi secara pas, kadang tidak, tergantung dari moednya ;
- seringkali ia memberikan jawaban sebelum pertanyaan yang rumit selesai, karena itu ia sering salah menjawab atau kehilangan jawaban pada bagian akhir pertanyaan ;
- perintah mondeling lebih buruk hasilnya daripada perintah tertulis, anak-anak ini lebih kearah visual daripada auditif;
- jika informasi/perintah diberikan selintasan saja, maka informasi/perintah itu akan buruk diterimanya.

Hal-hal yang mungkin terjadi dalam tumbuh kembang (Nijenhuis, 2003)
- gangguan perkembangan bahasa dan bicara;
- gangguan belajar (learning disable) terutama pada pelajaran membaca, menulis, dan spelling;
- sekalipun anak-anak ini akan mempunyai inteligensia tinggi (anak ini akan sangat pandai) seringkali mempunyai prestasi yang jelek di sekolah;
- mengalami kesulitan dalam kurikulum klasik;
- mempunyai pemusatan perhatian yang rendah, cepat lelah dalam pelajaran yang menggunakan mondeling lama dan kompleks;
- ia merasa sangat lelah sepulang sekolah ;
- mudah beralih perhatian terhadap bunyian dan berbagai kejadian di sekitarnya ;
- pemahaman terhadap waktu sangat buruk berkembang : mengalami kesulitan mengulang secara kronologis urutan kejadian, dan mengulangi cerita suatu dongeng ;
- tak bisa turut bekerjasama dengan kelompok yang ribut, karenanya kemampuan sosialnya kurang baik berkembang ;



Yang sering menjadikan kebingungan diagnosa, adalah karena gejala anak-anak gifted seringkali juga menunjukkan gejala yang sama dengan autisme, misalnya saja, anak-anak gifted ini seringkali menarik diri dan senang menyendiri, asyik dengan dunianya, namun bukan berarti bahwa ia tidak bisa berfungsi secara sosial. Di bawah ini ada suatu bagan yang ditulis oleh Agnes Burger-Veltmeijer seorang psikolog kesehatan dan juga sebagai psikolog anak dan remaja. Ia menunjukkan gejala-gejala yang mirip namun berbeda antara autis asperger dengan anak-anak gifted yang tidak mengalami keterlambatan bicara. Kedua kelompok ini sama-sama mempunyai perkembangan bicara dan bahasa yang tidak terlambat, namun akan memberikan gejala yang berbeda, sekalipun juga sama-sama mempunyai inteligensia yang tinggi.


Dalam pemeriksaan melalui test CBCL terhadp Jos yang dilakukan oleh orthopedagog di usia tiga tahun itu, menunjukkan bahwa gangguan perilaku agresi dan konsentrasi hanya ditunjukkannya di luar rumah, dan tidak melebihi skor 65 persen, sehingga disimpulkan bahwa Jos bukan ADHD.

Beda Gejala ADHD dan gejala gifted (van Gerven, 2002)


BIMBINGAN PERSONAL GIFTED DENGAN
SYNDROMA AUTISME

Gifted with learning disabilities (baik dengan syndroma autisme maupun syndroma ADHD) sering disebut juga sebagai anak dengan kesulitan ganda, sebab seorang anak dengan karakteristik gifted saja sudah memerlukan pendekatan khusus agar ia tidak mengalami hambatan belajar yang menyebabkan kemerosotan prestasi (underachiever) yang pada akhirnya akan membawanya pada masalah-masalah psikologis dan perilaku lainnya, seperti konsep diri yang negatif, hilangnya kepercayaan diri, semakin berkembangnya negative faalangst yang dimilikinya, menarik diri atau agresivitas, frustrasi dan depresi .

Dengan begitu kami sebagai orang tua diarahkan agar mempunyai perhatian ekstra sekaligus ke dua arah yaitu, pertama memberinya bimbingan dan kemungkinan agar prestasinya sesuai dengan potensi yang dimilikinya, yaitu sebagai anak gifted yang mempunyai inteligensia tinggi, sangat analisis, sangat kreatif, dan sangat enerjik. Berbagai kekurangan (atau kelebihan) perkembangannya nampak telah mengarah kepada kemerosotan prestasi saat Jos duduk di kelompok bermain dan sekolah taman-kanak, baik prestasi akademis, prestasi sosial, dan prestasi berbahasa, harus bisa diatasi agar ia tidak mengalami memburuknya konsep diri yang berakibat pada lebih memburuknya berbagai perkembangannya.

Kedua, terhadap berbagai gejala autisme seperti penarikan diri, rendahnya perkembangan sosial, dan rendahnya prestasi berbicara dan berbahasa, serta emosional turbulensi yang kadang-kadang timbul, juga mendapat porsi perhatian yang sama besar dengan porsi memberinya kesempatan dan bimbingan agar ia mampu menunjukkan prestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya.

Kedua hal ini sangat penting, sehingga pendekatan dalam bimbingan ini berarti merupakan pendekatan terhadap faktor kuat dan faktor lemah yang dimilikinya agar perkembangannya menjadi harmonis sesuai dengan berbagai karakteristik anak-anak gifted. Dengan faktor kuat yang dimilikinya kita mencoba untuk meningkatkan faktor lemahnya. Namun karena variasi perkembangan setiap anak adalah unik dengan perkembangannya masing masing yang tidak bisa sama satu dengan lainnya, dengan begitu bimbingan yang diberikan memerlukan pendekatan yang juga sangat personal.

Karena Jos dikatakan sebagai anak yang tidak patologis sekalipun termasuk anak yang berrisiko (jonge risico kinderen), meskipun gejalanya berada di border antara normal dan tidak normal, serta mempunyai inteligensia yang tinggi, ia tidak dimasukkan ke dalam kelompok anak-anak dengan kasus psikiatrik, terapinya yang diberikan lebih diutamakan ke arah terapi pedagogiek daripada terapi medik, namun tetap mendapatkan pemantauan dari dokter sekolah untuk mengawasi andai terjadi kemunduran psikologis dan emosi yang mengarah pada kondisi yang lebih parah dan memerlukan bantuan psikiater. Sekolahpun dimasukkan ke sekolah reguler, dengan maksud agar ia mempunyai kesempatan berada di lingkungan anak-anak normal lainnya, serta berlatih agar perkembangannya mengarah mengikuti kaidah anak-anak normal.

Sejak ia terdeteksi sebagai anak gifted sekaligus juga munculnya syndroma autisme dan sekaligus juga syndroma ADHD (hiperaktifitas dan gangguan konsentrasi), berbagai program untuk melatihnya telah dilakukan baik di rumah maupun di sekolah. Jos tidak menerima bimbingan khusus oleh berbagai terapis, kecuali oleh logopedist (terapi wicara) sejak usia 6 tahun hingga sekarang untuk meningkatkan memori jangka pendeknya yang memang mendapatkan skor sangat rendah (test digit span). Dengan menunggu perkembangan serta bimbingan yang dibutuhkan secara personal ini, diharapkan anak-anak dengan tipe perkembangan seperti Jos akan mengarah
perkembangannya menjadi harmonis dan berbagai gangguan yang nampak selama balita bisa semakin menipis dan menghilang.


Selain buku-buku wajib yang harus kami baca, kami mengikuti dua kelompok persatuan orang tua, yaitu orang tua anak gifted dan persatuan orang tua anak autisme, yang merupakan persatuan orang tua yang dilindungi pemerintah dan mendapat bimbingan dari lembaga-lembaga ilmiah atau universitas.

Dokter sekolah (schoolarts) dan orthopedagog yang bekerja sebagai pembimbing sekolah (interne begeleider), bekerjasama dengan guru, dimana tim ini dapat berkonsultasi secara langsung kepada CBO jika sewaktu waktu dibutuhkan, mempunyai peranan yang sangat besar dalam menentukan bimbingan sehari-hari yang harus dikerjakan baik di sekolah, di rumah, maupun luar sekolah. Bimbingan ini akan secara terus menerus hingga ia kelak dapat mandiri, serta berfungsi dengan baik di tengah masyarakat. Sebagai anak gifted, sekalipun kini ia diidentifikasi telah terbebas dari gangguan perkembangan syndroma autisme dan tidak lagi mengalami gangguan belajar, ia tetap tercatat sebagai anak berkebutuhan khusus, karena anak-anak gifted merupakan anak yang sangat rentan dalam perkembangannya, ia merupakan kelompok anak-anak berisiko (Webb dkk, 2000, Crealock & Kronick, 1993).


Karena perkembangan setiap anak berbeda-beda baik dalam keragaman serta kualitasnya, maka pendekatan penanganan pada anak-anak berkebutuhan khusus ini memerlukan pendekatan yang personal serta membutuhkan pendekatan multidisiplin dari berbagai profesi sebagaimana juga yang dijelaskan oleh Greenspan & Wieder (1998 ) dalam bukunya The Child With Special Needs, serta menurut Levine (2002) dalam bukunya A Mind at A Time . Untuk itu pihak orang tua diminta secara aktif bekerjasama dengan berbagai profesi seperti dokter, orthopedagog, psikolog, ahli wicara, ahli gerak, dan guru, disamping juga kerjasama yang baik antar profesi untuk tidak memberikan kebingungan kepada pihak orang tua. Kepada orang tua juga diwajibkan membaca berbagai literatur acuan terbaru yang berhubungan dengan masalah ini, untuk membantu mengenal berbagai gejala dan pendekatan yang dialami anak, serta berbahasa yang sama dengan tenaga profesi tersebut. Secara periodik dilakukan evaluasi, dan secara periodik pula diambil keputusan baru apa saja yang perlu dilakukan.
Beberapa kondisi yang mendapat perhatian sejak Jos mendapatkan perhatian khusus
terhadap perilakunya yang mengarah kepada bentuk perilaku autistik akibat gangguan
perkembangannya, serta gejala lain yang menyertainya adalah:
- Perkembangan bahasa dan bicara yang tertinggal.
Karena ketertinggalan bahasa dan bicara Jos hanya mengenai perkembangan
bahasa verbal, sedang ia mampu berbahasa nonverbal, maka sejak usia tiga tahun itu
diharapkan orang tua dan sekolahnyalah yang melakukan stimulasi perkembangannya
sambil menunggu perkembangannya kelak menjelang ia masuk ke sekolah dasar.
Stimulasi perkembangan bahasa dan bicara di rumah dilakukan dengan mengajaknya
membaca buku, mendengarkan musik, bernyanyi, bermain bersama, mengajaknya
berjalan-jalan ke supermarket, taman dan hutan. Di sekolah dilakukan oleh ibu guru
melakukan rolplaying bersama teman lain yang telah baik perkembangan
bahasanya, memberinya peranan agar terjadinya kontak yang baik dan mampu
merangsang terciptanya komunikasi dua arah antar mereka. Ia juga menunjukkan
berkembangnya bahasa hiperlexia, yaitu tidak menyebutkan nama-nama benda tetapi
lebih menjelaskan bentuk atau gambar yang dilihatnya (akibat dari visual learner) yang tertera pada benda tersebut.
Misalnya di usianya yang keempat ia selalu menyebut strawbery untuk limonade
(sirup) karena di botol sirup tersebut tertera gambar strawbery. Ia akan menjelaskan
meminta kleine dingetje die in het stokje hangen die je zo zo zo eten kan (barang yang
kecil-kecil yang menggantung di sebuah batang yang kita bisa makan dengan cara
begini......begini....... ) sambil tangannya diputar putar didepan mulut. Padahal barang
yang dimaksud adalah jagung rebus. Kesulitan mengingat nama-nama benda ini
seringkali membuatnya frustasi dan memunculkan marah, karena baik orang
tua, teman, dan guru seringkali tidak mengerti apa yang dimaksud. Karena itu
ditekankan pula untuk merangsangnya mengingat berbagai nama benda yang ada di
sekitarnya dan ditemuinya setiap hari.
Gejala lain yang ada, ia juga akan menjawab secara melompat dalam persoalan yang dihadapinya, misalnya bila ditanya “Apa yang harus kita lakukan jika kita sedang berjalan lalu ada mobil yang datang dari muka?” Maka jawaban yang diberikannya adalah: “Cepat pergi ke rumah sakit, cari dokter, kalau tidak nanti kita bisa mati.” Padahal jawaban yang benar adalah: ” Kita harus minggir.” Perkembangan bahasa yang seperti ini seringkali menyebabkan gangguan komunikasi bersama teman-temannya. Sebagai contoh, saat ia berusia lima tahun ia menangis di halaman sekolah sambil berteriak-teriak bahwa temannya harus dibawa ke dokter, saat ia melihat salah seorang temannya berjalan tepian meniti bak pasir. Akibat dari perkembangan yang seperti ini ia seringkali mendapatkan ejek-ejekan atau bahan tertawaan teman-teman bermain yang seringkali berujung pada perkelahian. Karena itu baik guru, orang tua, dan lingkungan diminta memperhatikan dan mengajaknya cara berbicara yang benar jika terjadi konflik seperti ini.

- Rendahnya respon panggilan. Dalam berbagai test yang telah dilakukan Jos menunjukkan gangguan processing auditive yang ditunjukkan dengan rendahnya digit span test, kemampuan reseptif yang baik namun kemampuan ekspresif yang kurang, serta berbahasa pasif. Kondisi ini menyebabkan ia kurang merespon panggilan terlebih saat ia melakukan konsentrasi yang dalam saat bermain. Ia juga tak bisa diajak berkomunikasi jika dilatar belakangi oleh kebisingan,
namun ia akan sangat mudah diajak berkomunikasi jika suasanya sangat tenang,
kesulitan mempertahankan informasi mondeling namun akan sangat ingat dengan informasi visual, seringkali tersasar ke kegiatan lain saat sesi komunikasi atau cepat berpindah pokok pembicaraan karena ketertarikan secara visual ke arah lain, tidak memberikan jawaban segera jika ditanya tetapi lebih memaksakan kehendaknya agar orang yang dihadapi menjawab terlebih dahulu apa yang tengah difikirkannya. Begitu juga dalam test yang dilakukan oleh seorang speech patologist ia menunjukkan kemampuan digit span test rendah, yang berakibat pada sulit mengingat kembali kata-kata tanpa arti (kesulitan menghapal), serta kesulitan mencari kata-kata yang tepat dalam suatu komunikasi. Untuk ini semua dilakukan bimbingan baik oleh orang tua maupun speech patologist yang pada dasarnya adalah melakukan (Nijenhuis,2003):
. Prosodytraining yaitu membedakan ritme dan melodi.
. Auditive discriminationtraining yaitu membedakan berbagai suara yang ditemui
sehari -hari dan membedakan bunyian ucapan.
. Auditive synthesis and analysis yaitu latihan pemahaman bacaan dengan cara mem-
bacakan berbagai cerita dan memintanya mengulanginya kembali cerita-cerita terse
but serta melatih membuat cerita dari berbagai gambar-gambar tanpa teks.
. Auditive memorytraining, yaitu melakukan latihan memori verbal dalam berbagai
tingkatan, sehingga item yang harus diingatnya akan semakin luas dan banyak.
Latihan ini berupa latihan menghapal kata-kata lepas, kata-kata yang tak ada artinya,
dan kalimat pendek hingga kalimat panjang yang mudah hingga yang sulit.


- Tertinggalnya perkembangan sosial.
Masalah tertinggalnya perkembangan ini yang lebih disebabkan karena tertinggalnya perkembangan bahasa, bimbingan dilakukan oleh orang tua dan guru di sekolah dengan cara lebih banyak memberinya kesempatan untuk bermain bersama dengan teman sebaya, memberinya peranan agar turut aktif dalam berbagai kegiatan yang dilakukan bersama. Memberinya kemungkinan seluas-luasnya bermain dengan anak-anak tetangga, mengundang teman-teman sekolah ke rumah atau sebaliknya memberinya kesempatan bermain di rumah teman, merayakan pesta ulang tahun, mengikut sertakan dalam berbagai perlombaan, sandiwara, dan kegiatan lain. Mengikutkan dalam tempat penitipan saat jam istirahat siang agar ia mempunyai kesempatan makan bersama serta belajar cara makan serta cara bermain bersama dengan waktu yang lebih lama. Mengajaknya pula berbelanja dan memberinya peranan saat membayar di kasir.
Ketertinggalan perkembangan sosial emosional ini bagi anak gifted yang merupakan kelompok anak berrisiko seperti halnya Jos dapat menyebabkan (Frumeau, 2001):
. depresi dan ancaman bunuh diri;
. faalangst dan perfeksionis
. rasa takut, obsesi, dan fobi
. isolasi sosial
. keluhan sakit perut (biasanya pada gadis) dan agresi keluar (biasanya anak laki)
. drop out, dan tidak lagi mampu berfungsi di sekolah.

- Kekurangan dalam hal fleksibilitas dan adanya kekakuan.
Akibat dari perfeksionisnya menyebabkan ia menjadi anak yang kurang fleksibel dan kaku (Mönks & Knoers, 1999) .Kadang ia bisa fleksibel namun banyak hal pula yang ia tidak bisa fleksibel. Hal ini berakibat pada pemilihan berbagai hal dengan variasi yang sangat sempit, sulit menerima adanya perubahan bentuk, perubahan rasa, dan perubahan warna. Pemilihan permainan yang sangat sempit, serta mempunyai keterikatan dengan hal yang telah dipilihnya. Kreativitas yang tinggi ditambah dengan perfeksionisnya telah pula mempersulit bentuk perilakunya, dimana perfeksionisme adalah suatu upaya yang konvergen, sedang kreativitas adalah suatu upaya yang divergen dalam bentuk trial and error. Sehingga pemilihan permainan yang sempit akan selalu disertai dengan dorongan atau motivasi internal yang kuat ( dalam bentuk keras kepala),untuk melakukan manipulasi permainannya (Mönks & Knoers, 1999). Dalam hal ini Jos hanya memilih alat permainan yang dapat digerakkan (karena ia lebih terangsang oleh visual) sulit berpindah pada alat main lain, serta ia akan memperlakukan permainannya itu secara berulang-ulang , misalkan menggerak-gerakkannya dalam bentuk gerakan yang sama sebagai upaya trial and error, sampai ia bosan melakukannya, lalu memilih bentuk permainan yang lain. Dalam kegiatan pencariannya inilah seringkali nampak ia frustrasi. Atau kefrustrasian juga nampak saat ia melakukan upaya trial and error yang tidak berhasil. Untuk mengatasi hal ini semua, kepadanya diberikan permainan-permainan yang bisa digerakkan, konstruktif dan bisa dikembangkan secara kreatif. Mulai usia tiga tahun ia diperkenlkan dengan satu set alat main kereta api dari Lego, dimana ia bisa menyusun rel kereta, membuat bangunan tiga dimensi, merubah disainnya dan menjalankan kereta maju mundur. Diberikan alat main motor racing (auto race ban) yang juga bisa dikreasi. Atas anjuran CBO, di usia empat tahun diperkenalkan dengan komputer menggunakan CD-rom interaktif untuk mengembangkan kreativitas, yaitu membangun disain jalan kereta api dan perkotaan . Kesukaannya dengan kelereng dan bola bekel yang digelundungkan dari atas ke bawah masih terus berlangsung hingga saat ini, seolah ia mempunyai keterikatan dengan benda ini, namun disain jalan dan raceban yang dibangunnya semakin kompleks dan rumit yang menunjukkan adanya pengembangan kreativitas. Diupayakan juga agar ia menyukai bermacam-macam mainan terutama permainan yang menggunakan kemampuan analisa dan pengembangan kreativitas seperti permainan memory, puzzel, catur, ludo, monopoli, dlsb. Untuk mengembangkan kemampuan menggambarnya yang lebih banyak berkisar pada jalan raya, jalan kereta api, perkampungan atau kota, atau peta kota, diupayakan agar apa yang diungkapkan itu juga selalu mengandung unsur-unsur sosial, dan pengembangan kreativitas.
Akibat dari perfeksionis, kuatnya memory jangka panjang, dan kurang fleksibelnya itu, juga terjadi apa yang diterimanya pertama kali akan bertahan lama bahkan seolah menetap sulit untuk merubahnya kembali (blijft hangen). Karena itu selalu diupayakan agar hal-hal yang diajarkan padanya merupakan bentuk yang konsisten, seperti misalnya peraturan-peraturan tentang jam bangun tidur, jam bermain, membersihkan badan menjelang tidur dan gosok gigi. Ketidak konsistensian hanya akan menimbulkan kebingungan dan kefrustrasian. Selain itu mengajarkan kata-kata baru dengan ucapan, nada, dan penggunaan yang benar. Kesulitan merubah perilaku buruk juga memerlukan kehati-hatian, agar perilaku buruk itu bisa disubstitusi dengan hal-hal positip padahal perilaku buruk itu hanyalah merupakan pengembangan mekanisme defensif darinya. Misalnya saja, saat perkembangan sosialisasinya telah semakin baik, dengan sepeda ia berkeliling mencari teman-temannya di lapangan. Dalam situasi seperti ini sering terjadi debat yang panas, yang tak mampu ditimpalinya dengan sehat secara verbal, akibatnya ia hanya akan melontarkan kata-kata kotor dan maki-maki. Keadaan ini seringkali berakhir dengan perkelahian.
Blijft hangen atau keadaan yang menetap untuk pengucapan kata yang ternyata salah penggunaan seringpula membawanya pada perkelahian dengan teman bermainnya. Misalnya temannya yang bernama Sander selalu dipanggilnya Salamander, karena kata Salamander telah diterimanya lebih dahulu daripada kata Sander.

- Kekurang kemampuan fantasi dan imajinasi
Akibat perfeksionisnya itu juga menyebabkan ia kekurangan dalam kemampuan fantasi dan imajinasi. Sebagai contoh, di usianya yang ke empat tahun 10 bulan, saat mendapat tugas dari guru untuk membuat manusia salju dari kapas, ia tidak mau. Karena kesulitan mengemukakan pendapat, ibu guru tidak mengerti kemauannya. Oleh ibu guru yang kebetulan hari itu adalah ibu guru pengganti (ibu guru kelas kebetulan sedang sakit), ia dipaksa membuat manusia salju itu. Kesulitan mengemukakan pendapatnya itu hanya diungkapkan dengan satu kata: “STOM!!” (goblok), yang segera disambut dengan hukuman oleh guru, ia hanya boleh bermain di gang. Kesedihannya tidak bisa diungkapkan dengan kata-kata tetapi dengan bentuk kemarahan. Hingga berbulan-bulan masalah ini membawa dampak pada ketidak senangannya pada sekolah. Sampai suatu kali ia bercerita bahwa manusia salju hanya dibuat di halaman dan dibuat dengan salju bukan dengan kapas. Begitu pula saat kegiatan prakarya membuat roti yang dibakar oleh ibu guru, ia tidak mau menggulung adonan roti, karena selain ia merasa jijik dengan barang yang lembek, ia hanya mengerti bahwa roti dibuat dengan mesin seperti mama membuatnya di rumah atau ia melihatnya di toko roti. Pemaksaan seperti tadi hanya akan berakibat pada kepanikan dan kemarahan. Ia tidak bisa pula dipaksa karena ia juga sangat keras kepala.
Kekurang mampuan fantasi dan imajinasi ini yang kemudian menyebabkan ia sering menyisihkan diri saat harus bermain sandiwara, menggunakan pakaian karnaval, menggunakan musik dari kaleng, dan tidak bisa bermain bersama anak-anak lain di ruang rumah-rumahan yang berisi dapur, ruang duduk, dan kamar tidur karena semua dalam bentuk tiruan. Keadaan ini juga yang menambah sulitnya ia untuk lebih bersosialisasi dengan teman sebayanya. Ia hanya bisa bermain dengan anak-anak yang lebih besar dan lebih banyak bukan bermain fantasi sebagai anak-anak seusianya. Pada suatu kali kami membawanya ke planetarium, karena ia sangat menyukai pelajaran tatasurya dan alam raya, dan kami memilihkan salah satu acara untuk anak-anak di bawah 8 tahun. Sajian tentang alam raya menggunakan peran Sesame Street, dimana Bert dan Erni terbang ke langit dengan kendaraan tong sampah. Buatnya adegan seperti ini sangat menjengkelkan dan omong kosong, tidak masuk akal. Sehingga dalam kegiatan-kegiatan bersama teman sekelas, ia juga sering menyisihkan diri, karena dirasanya kegiatannya tidak masuk akal.
Tentang kekurangan kemampuan fantasi ini kepadanya diajarkan apa artinya pura-pura, bagaimana bermain pura-pura (tamu-tamuan, dokter-dokteran dlsb), bermain peran (menjadi monyet, buaya, ular), membacakan buku-buku cerita yang penuh dengan dongeng fantasi, memberinya video kartun dengan dongeng fantasi dan imajinasi. Pada akhirnya juga ia mengerti apa artinya bohong, dipermainkan temannya, berpura-pura, bermain tonil, dan seterusnya, dengan kualitas yang tidak jauh berbeda dengan teman-teman sekelasnya.

- Terkembangnya rasa takut dan faalangst negatip.
Faalangst negatip adalah suatu perasaan takut gagal yang berlebihan yang sebenarnya ia mampu. Gejala yang ditampilkan antara lain adalah suatu bentuk rasa takut yang berpengaruh terhadap prestasi. Faktor faalangst sendiri dibutuhkan dalam upaya mempertimbangkan efektifitas pencapaian tujuan, namun jika berlebihan justru akan berakibat buruk.
Beberapa penulis (Hermans, 1971; Nieuwenbroek, 1993,1996) membaginya menjadi
tiga kelompok, yaitu:
. faalangst sosial
. faalangst motorik
. faalangst kognitif
Timbulnya faalangst adalah karena sifat si anak yang sangat perfeksionis dengan begitu ia menuntut hasil yang terbaik namun berbagai hal yang ada pada dirinya belum menunjang. Sebagai contoh, saat Jos berusia tiga tahun, untuk melatih motorik halusnya yang tertinggal, ia dilatih untuk mewarnai gambar. Tapi hasil yang dicapainya tidak seindah gambar contoh cetak dari pabrik, karena ia baru bisa mencoret coret, akibatnya ia menangis dan marah. Bila disodori kembali lembaran untuk mewarnai ia tidak mau mengerjakan, jika dipaksa akan menangis, dan sangat sulit distimulasi maupun dengan janji mendapatkan hadiah. Hingga kini ia tidak pernah mau menyelesaikan gambar mewarnai figur, ia selalu mengatakan bahwa ia tidak bisa. Namun guru sekolah tidak pernah memaksanya, pelajaran melatih motorik halus dialihkan dengan berbagai kegiatan lain yang baginya menyenangkan, dan pelajaran menggambar dialihkan dengan memberinya cat poster yang tidak mudah meluber yang bisa menyebabkan perasaan gagal kembali mengganggunya saat melihat cat airnya meluber kemana-mana.
Dalam perkembangan sosial, Jos juga menunjukkan faalangst sosial dimana seringkali ia merasa tidak yakin bahwa ia mampu berlaku dengan baik. Misalnya saja jika harus bermain ke lapangan, ia akan seringkali berkata, nanti saya diejek teman. Seringkali ia merasa bagai anak bodoh di tengah teman-temannya, dan segera ia mengambil jarak. Ia juga sulit menerima pakaian baru yang warna dan modelnya jauh berbeda dengan apa yang dimilki dengan alasan nanti teman-temannya sekelas mentertawakannya.
Guna menghindari kondisi kronis faalangst negatip yang dapat berakibat pada merosotnya prestasi ataupun ketidak mampuannya berprestasi sesuai dengan potensinya, yang akhirnya hanya akan menyebabkan tumbuhnya konsep diri yang negatip, maka kepadanya selalu diupayakan agar ia selalu merasa berhasil dengan berbagai tugasnya. Jos yang sangat sensitip terhadap pujian, baginya pujian berikut akan membantu membangun rasa percaya diri: “oo... kamu pinter sekali ya, bagus, nah kalau sekali lagi pasti kamu akan menjadi lebih hebat lagi....” Baginya selalu dibutuhkan penghargaan, dan dorongan agar selalu ingin mencoba lebih baik lagi.
Terkembangnya rasa takut yang hebat juga pernah dialami oleh Jos saat ia berusia 3,5 tahun, selama beberapa malam ia tak mampu memejamkan mata, selalu tidur dalam pangkuan atau dekapan, sambil memicingkan matanya ke segala sudut kamar. Ia tidak berani berada sendirian. Perkembangan rasa takut ini muncul saat ia mulai bisa bermain imajinasi bersama anak tetangga, menjadi buaya, menjadi harimau ataupun menjadi hantu. Perkembangan imajinasi ini nampak bertabrakan dengan realita, sehingga ia tidak bisa lagi membedakan mana yang imajinasi dan mana yang realita (Shiet, 2000). Akibatnya selanjutnya ia takut terhadap suara mendesis dari mesin penghisap debu, takut terhadap berbagai binatang kecil (laba-laba, capung, tawon, lalat, semut, cacing), binatang besar (kucing, kelinci, anjing, ayam), takut ruang besar, ruang berisik, ruang gelap, suasana baru, pasar, pusat pertokoan, gereja, pesta, dlsb. Perkembangan rasa takut ini berlangsung secara konsisten sampai sekitar 6 bulan lamanya. Namun takut terhadap laba-laba dan binatang kecil lainnya masih terus melekat hingga kini.

- Kekurangmampuan adaptasi terhadap lingkungan dan adaptasi terhadap perubahan.
Kekurangmampuan ini dapat digambarkan sebagai berikut, ia sangat sulit menerima
perubahan yang tidak bisa ia gambarkan apa yang akan terjadi. Sebagai misal,
andaikan kita akan pergi ke luar kota, kita harus menjelaskan bahwa
perjalanan yang akan ditempuh bagaimana, apa yang akan kita lakukan, apa yang bisa
dimakan di sana, dll. Dia yang perfeksionis dan sangat rapih serta pembersih selalu
merasa nyaman jika menginap di hotel dengan tempat tidur bersih, besar, dan ruang
yang sejuk. Menginap di rumah keluarga atau kenalan baginya terasa menyiksa, dan ia
sangat tidak bisa buang air kecil di WC yang basah dan kotor. Juga tidak bisa
buang air kecil jika tidak di WC semisal di rumput, atau di solokan. Ia akan selalu menggunakan mantel tebal saat sudah musim panas, atau menggunakan mantel tipis saat sudah musim dingin. Karena itu kepadanya selalu dipersiapkan hingga detil serta diberitahu kemungkinan-kemungkinan apa yang akan terjadi. Kami membuat skedulnya secara bersama-sama dan membicarakan ( kompromi) apa saja yang akan kita lakukan. Jika perlu dilengkapi dengan brosur-brosur tempat yang akan dikunjungi, peta, keterangan tentang berapa lama perjalanan bisa ditempuh. Kepadanya juga diajarkan alternatif apa saja yang bisa diambil andaikan terjadi suatu perubahan yang tidak bisa dielakkan. Orang tuapun diharapkan akan juga konsisten menjalankan skedul yang telah disepakati ini, ketidak disiplinan justru hanya akan membuat kepanikan dan kefrustrasiannya saja. Kekurangmampuan adaptasi ini semakin bertambah umur menjadi semakin kuat, kembali menurun saat ia sudah bisa diajak diskusi tentang kemungkinan-kemungkinan yang bisa terjadi serta alternatif apa saja yang bisa kita ambil.
Kekurangmampuan beradaptasi terhadap perubahan yang cepat akan nampak sekali jika ia harus bermain bola kaki atau bola basket, dimana dalam permainan seperti ini seringkali bola tak terduga disepak atau ditendang kemana-mana. Ia akan merasa nyaman dalam olah raga yang sifatnya tidak bekerjasama seperti misalnya gymastik, atau naik sepeda. Namun olah raga lari dan berjalan santai justru juga akan membuatnya bosan.
Bermain dengan anak kecil yang masih belum terlalu bisa diatur juga membuatnya frustrasi, terlebih jika anak tersebut sangat banyak gerak. Ia akan lebih menyukai bermain bersama teman-teman yang lebih besar yang lebih bisa mengikuti kemauannya serta perilakunya bisa diprediksinya tidak sebagaimana halnya anak kecil tadi.
Meski ia di masa balitanya tidak fleksibel, lambat laun perilaku ini juga berubah, selain melalui diskusi, ia juga bisa membaca gelagat secara umum.


- Keadaan gangguan konsentrasi.
Seringkali anak-anak seperti ini terdiagnosa ADHD yang ditunjukkan dengan gejala hiperaktif, tidak bisa diam, dan gangguan konsentrasi. Namun ADHD adalah suatu gejala perilaku bermasalah dan gangguan konsentrasi atau pemusatan perhatian di semua setting (Gunning, 1998; Greenspan, 1995), sedang Jos akan sangat intens berkonsentrasi pada kegiatan-kegiatan yang sangat ia minati, hanya tidak bisa berkonsentrasi pada hal-hal yang tidak ia minati. . Jika ia tidak tertarik ia tidak akan termotivasi untuk mengerjakannya dengan baik. Ia juga sangat tidak tahan terhadap kegiatan-kegiatan yang sifatnya rutin dan banyak pengulangan. Dalam keadaan seperti ini justru konsentrasinya akan merosot. Perilaku seperti ini merupakan perilaku yang sangat khas pada anak-anak gifted muda (de Hoop & Jansen, 1999). Boleh dikata bahwa ia bukan mengalami gangguan konsentrasi karena ia akan sangat mampu berkonsentrasi dengan baik dengan hasil atau prestasi yang sangat baik, tetapi ia mengalami gangguan prioritas konsentrasi. Seringkali ia tidak bisa memprioritaskan untuk melakukan konsentrasi pada hal yang sebetulnya perlu dan menjadi tugasnya. Misalnya saat ia harus duduk di kursi makan, seringkali ia lari ke arah televisi, ke arah mainannya, atau masih tertarik bermain di luar. Keadaan ini masih terus berlangsung hingga saat ini, berusia 7,5 tahun, sekalipun kualitasnya agak lebih menurun.
Untuk mengurangi hiperaktifitasnya yang menyebabkan ia nampak seperti anak bergangguan konsentrasi, maka kepadanya diberikan alat-alat permainan yang baginya menarik, menantang, bisa dikembangkan, yang pada akhirnya memberinya kepuasan. Bermain di bak pasir, dimana ia bisa membangun rumah-rumahan, terowongan, dan jalan berliku-liku. Memberinya alat main Lego misalnya dimana ia bisa membangun perkampungan kecil yang jalan-jalannya bisa dilalui dengan mobilan atau kereta api. Berbagai karton, kardus, selimut bekas, dan sebagainya dimana ia bisa membuat gubuk-gubukan. Memberinya buku-buku yang lebih banyak menyita ketelitian, dan konsentrasi, namun merupakan buku yang lebih banyak didukung oleh kemampuan visual. Misalnya mencari perbedaan dari dua buah gambar. Buku-buku cerita tak bergambar baginya sangat membosankan.

- Perilaku seperti paranoia.
Sebagai orang tua tentu saja saya merasa sangat khawatir melihat kondisinya dimana selama tiga hari menangis nampak depresi, tidak bisa tidur dengan baik, tidak mau makan, dan tidak berminat untuk bermain apa-apa. Saat itu ia berusia enam tahun, menjelang tidur ia berkata:” Mama, saya tidak mau makan lagi, karena kalau makan nanti saya bisa tumbuh jadi besar, lalu jadi tua, lalu mati. Kalau mati saya berubah jadi awan (menjadi awan keluar dari mulut orang mati adalah hasil pemikirannya sendiri), dia terbang ke planet emas (yang juga hasil pemikirannya sendiri), tidak punya mulut, tidak bisa makan.” Dia menangis sedih sekali, karena kalau tidak makan, nanti dia malah akan cepat mati. . Lalu dia mengambil alternatif lain, yaitu tidak mau kawin, supaya tidak punya anak, lalu punya cucu menjadi opa, lalu juga mati. Tetapi kembali ia menangis, bahwa kalau dia tidak kawin nanti tidak punya teman hidup, dia akan sendirian di rumah, tidak enak.
Situasi seperti ini kadang terjadi jika ia melakukan pemikiran-pemikiran yang sifatnya sangat analisis jauh dan meletakkan hubungan satu dengan lainnya, namun belum tentu benar. Dengan kata lain ia mengalami ketidak seimbangan perkembangan kognitifnya yang bisa berakibat pada bentuk perilaku yang sulit (de Hoop & Jansen, 1999; Mooij, 1991). Perkembangan analisis dan kreativitas berfikirnya terlalu maju, namun belum disertai dengan pengetahuan tentang realita, yang kesemuanya akan menyebabkan ia merasa bingung, frustrasi dan depresi. Hal-hal yang menyebabkan kefrustrasian dan depresi pada umumnya yang lebih menyangkut kepada masalah kemanusiaan, hidup, mati, dan sakit.
Gejala seperti ini mulai nampak saat ia berusia sekitar lima tahun, dimana seringkali juga diikuti dengan rasa ketakutan terhadap hal-hal yang ia bayangkan. Seperti misalnya saat kami dengan kendaraan berada di high way, ia menengok ke belakang, lalu berteriak-teriak bahwa mobil di belakang mengejar mobil kami, kami akan tertabrak oleh mobil lain dari belakang, nanti harus cepat-cepat dibawa oleh ambulance ke rumah sakit, kalau tidak kami akan segera mati semua. Dia merasa panik, dan berteriak-teriak agar kami menghentikan perjalanan.
Suatu kali ia sangat takut jika kita harus bepergian ke luar negeri naik pesawat terbang. Karena di dalam pesawat terbang ia melihat ada lembaran pertolongan keselamatan pada kecelakaan. Melalui gambar ini ia berpendapat bahwa semua orang bisa mati cepat, baik tua atau muda, anak-anak ataupun dewasa. Karenanya ia tidak mau naik kapal terbang. Dia menangis jika membayangkan harus pergi dengan kapal terbang dan akan terjadi kecelakaan yang bisa menyebabkan kematian.
Namun dengan semakin membaiknya kemampuan komunikasinya, serta tingkat inteligensia yang sangat baik, dapat membantunya belajar tentang pengertian-pengertian dan realita. Apa yang mungkin bisa terjadi dan yang mungkin tidak bisa terjadi. Kemudahan menangkap hal-hal yang bisa didiskusikan dapat
mengembalikannya pada keadaan tenang dan perasaan amannya.


- Perkembangan sensoris yang terlalu hebat ( taktil/raba, auditory, visual,
pengecapan, dan penciuman).
Geli terhadap kancing baju, merek baju di pundak, retsluiting, atau baju yang kasar menyebabkan ia selalu memilih baju tanpa kancing, tanpa retsluiting, merek harus digunting, dan bahan yang halus. Kepekaan taktil/raba justru menyebabkan ia selalu ingin meraba berbagai benda yang ada di sekitarnya, merasakan halus kasarnya, namun juga menyebabkan ia tidak mau tersentuh lem, cat air, atau makanan yang lembek-lembek, jijik terhadap bahan lengket dan lembek (tanah liat, malam mainan).
Pendengaran yang sangat kuat, saat bayi ia selalu terkejut, mudah terbangun dan kesulitan tidur. Sekitar usia dua hingga tiga tahun mengalami kesulitan masuk ke dalam tidur sehingga memerlukan menggunakan kop telinga (hearing phone) dengan musik ringan, selain agar ia tidak terganggu dengan bunyian di sekitarnya juga memberikan konsentrasi pada musik dan ketenangan. Perkembangan visual yang sangat hebat ini menyebabkan ia mudah sekali beralih perhatian kepada benda benda yang bergerak, tertarik secara kuat bagai terfiksasi pada benda berputar, mengalir bergerak ke bawah (kipas angin, air mengalir seperti got, pancuran, air kran, kucuran pasir) yang menyebabkan ia selalu tertarik bermain menjatuhkan berbagai barang dari atas ke bawah atau di tangga (pakaian, bantal, guling, botol, bola, foto tustel, kaleng coca-cola, dlsb). Sangat menyukai perjalanan dengan mobil menanjak dan menurun. Selalu terkesima terhadap kereta liwat, tangga berjalan, dan mobil hilir mudik di jembatan layang. Kesenangan menjatuhkan atau menggelindingkan bola dan kelereng, serta mengucurkan air, terus menerus, masih berlangsung hingga saat ini. Tangga berjalan merupakan favorit yang tidak pernah hilang.
Kuatnya penciuman dan pengecapan menyebabkan ia sangat mudah mengenali perubahan rasa makanan, yang berakibat pada penolakan makanan jika ada perbedaan rasa sekalipun hanya sedikit. Pemilihan makanan menjadi tidak bervariasi, dan sulit menerima beberapa jenis makanan sekaligus di dalam piring. Namun jika merasa bahwa makanan baru yang ia cicipi adalah makanan yang enak, ia akan minta hanya makanan itu sepanjang beberapa hari dan sulit sekali untuk menerima makanan yang lain. Sekalipun yang dirasanya itu adalah chips rasa baru, sepanjang hari ia hanya akan makan chips, lain tidak, sambil tiduran di sofa, nonton telivisi, minum soft drink, makan chips. Jam makan bersama, dipiringnya harus juga chips. Tetapi terfiksasi seperti ini hanya berlangsung beberapa hari, dan bila waktunya sudah liwat, dia segera melupakannya. Begitu juga perilakunya terhadap berbagai alat permainannya yang baru.


- Perkembangan motorik yang tidak sinkron antara motorik kasar dan motorik halus.
Hiperaktif atau banyak gerak yang lebih banyak menggunakan motorik kasar, namun motorik halus dan lateralisasi tangan kiri dan kanan yang masih tertinggal akan nampak sangat menjadi masalah saat ia harus makan di meja makan. Badannya cenderung tidak bisa diam, bergerak-gerak, pantat maju mundur, kaki menyepak-nyepak, namun tangan harus memegang sendok dan garpu yang tidak cakap, menyebabkan ia mudah frustrasi, dan cenderung tidak mau menyelesaikan makan serta meninggalkan meja dalam keadaan nasi terlempar kemana-mana. Dalam catatan dokter tumbuh kembang Jos mengalami perkembangan motorik kasar yang sangat baik, namun di kemudian hari saat motorik kasarnya menjadi semakin baik , ia tertinggal dalam perkembangan motorik halus. Padahal saat usia 8 bulan ia sangat pandai menjumputi benda-benda kecil, seperti remah-remah, atau rambut di lantai. Sehingga nampak sekali bahwa perkembangannya pada awalnya akan sangat cepat meningkat meninggalkan teman-temannya, namun kemudian menetap, diganti dengan perkembangan lainnya sehingga apa yang berkembang tadi kemudian nampak tertinggal dari teman-temannya, untuk di kemudian hari ia akan menyusul kembali dengan cepat. Sehingga sering dikatakan bahwa perkembangan anak-anak dengan tipe seperti ini perkembangannya dengan skala besar, dan waktunya singkat namun tidak sinkron (de Hoop & Jansen, 1999, Mooij, 1991). Pada usia empat tahun, saat kembali dilakukan test motorik halus, ia mengalami ketertinggalan motorik halus, tetapi pada waktu usia enam tahun perkembangannya menjadi baik, dan saat berusia tujuh tahun motorik halusnya sangat baik. Yang semula saat baru duduk di bangku kelas satu, saat teman-temannya sudah sangat baik menarik garis lurus, membuat bulatan, dan menggambar boneka, ia tidak bisa, tekanannya terlalu lemah, tipis, mencong mencong turun naik, dan tulisannya cenderung membesar, bahkan menulispun terbalik-balik seperti gejala disleksia. Berbagai latihan untuk kordinasi mata tangan, lateralisasi, dan kordinasi jari-jari, dilakukan di sekolah dan di rumah. Latihan diberikan bukan mengajarinya dengan latihan menulis tetapi dengan berbagai permainan, misalnya menarik tambang, bermain melempar bola tangan kiri kanan, bermain lompat engklek sambil mendribel bola, menutup kepalan dan membuka kepalan, membuat figur di kertas karton yang ditusuk tusuk dengan bolpen bekas, meronce manik manik (makaroni atau sedotan), menjahit dengan jarum tumpul, dan sebagainya. Oleh ibu guru ia diperbolehkan meruncing pinsil setiap hari sebanyak sekitar 30 pinsil. Suatu pekerjaan yang sangat ia sukai. Kekuatan tangan diarahkan agar tangan kanan yang menjadi dominan. Dari kekuatan kiri dan kanan yang tidak teridentifikasi mana yang paling kuat, dalam tiga bulan ia bisa mengejar berbagai kekurangannya dengan baik.
Banyak anak-anak visual learner dengan kemampuan analisis tinggi justru mengalami gangguan motorik kasar, bukan karena bergangguan motorik secara neurologis, tetapi hanya karena ia mengalami faalangst negatip. Setiap ia akan melakukan suatu kegiatan motorik ia akan selalu berfikir tentang apa yang akan terjadi, misalnya ia akan jatuh ke muka, sehingga menimbulkan ketakutan, pada akhirnya menghasilkan gerakan yang tidak terotomatisasi. Gerakannya menjadi kaku, ototnya terasa tegang, walaupun dalam test keseimbangan dan visuospasial ia akan mendapatkan skor yang baik. Akibatnya kelak ia pun akan mengalami gangguan pada saat harus melakukan gerak-gerak yang menggunakan motorik halus, misalnya menulis, merangkai, dll. (Biesta & Steeman, 2001; Greenspan, 1996 ). Begitu Jos diketahui mengalami faalangst negatip, segera ia dianjurkan untuk mengikuti kegiatan gymnastik (bukan sepak bola atau permainan yang harus bekerja sama). Gymnastik baginya merupakan olah raga yang paling cocok, yang akan memberikannya kesempatan melatih motorik kasarnya dengan baik. Sejak usia lima tahun hingga kini ia tetap mengikuti gymnastik dengan kemampuan terbaik dalam kelompok seusianya. Memasukkan ke dalam kelompok gymnastik bukanlah merupakan terapi tetapi lebih bersifat upaya preventif agar faalangst yang dideritanya tidak merambat kepada faalangst motorik. Ia juga diberi keleluasaan untuk selalu bergerak, memberikan ruang baginya agar ia bisa naik-naik dan meloncat, sering dibawa ke taman bermain anak-anak, dan setiap hari diajak berlari-lari dan jalan-jalan keliling desa.




LEARNING DISABILITIES DAN BIMBINGANNYA

Specific learning disabilities adalah keadaan seseorang yang hampir normal namun mengalami gangguan dalam satu atau lebih area inteligensia yang berakibat pada gangguan belajar (menulis, membaca dan berhitung). Seseorang ini adalah yang mempunyai inteligensia normal sampai tinggi. Yang memiliki inteligensia rendah bukan disebut learning disabilities, tetapi multihandicap. Selain itu, gangguan belajar yang dialaminya bukan disebabkan karena cacat primer seperti buta, tuli, bisu, dan cacat tubuh lainnya (Crealock & Kronick, 1993).
Tempat pendidikan yang cocok untuk anak-anak specific learning disabilities sebagaimana seruan dari Unesco dalam Deklarasi Salamanca 1994 adalah dalam pendidikan yang disebut Inclusive Education, yaitu suatu pendidikan yang menghormati hak azazi setiap anak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya, yang memperhatikan bahwa setiap anak adalah unik, menggunakan pendekatan didaktif dan competence-base curriculum, bukan lagi content-base curriculum. Di Belanda pendidikan model ini sudah menjadi model nasional sejak 10 tahun terakhir ini, yang kemudian disebut sebagai Wij zijn weer samen naar school (kita kembali lagi ke sekolah bersama-sama) di Amerika disebut No child left behind act. Artinya yang dahulu dipisah dimasukkan ke sekolah pendidikan khusus, kini harus bisa diterima di sekolah sekolah reguler untuk memberi kesempatan kepada anak-anak ini hidup dalam dunia yang normal. Dengan motto Omgaan met verschillen (bergaul dengan perbedaan), setiap guru dibekali dengan berbagai pengetahuan tentang berbagai metoda pengajaran yang berbeda-beda untuk anak yang berbeda. Tidak lagi ada anak yang disebut bodoh tetapi disebut anak dengan keunikannya masing masing, temponya masing-masing dan potensinya masing-masing (De Hoop & Janson, 1997).
Dalam model pendidikan inklusif dibutuhkan pengamatan dan penyeleksian anak secara mendalam yang dilakukan oleh satu tim tenaga profesional, guna melacak perkembangan setiap anak serta keunikannya masing-masing. Dalam hal ini di Belanda dilakukan di sekolah taman kanak-kanak, dan wajib belajar dimulai usia empat tahun. Taman kanak-kanak menjadi pusat tumbuh kembang untuk anak-anak regio masing-masing yang dibina oleh dokter sekolah, orthopedagog sekolah, speech patologist, ahli gerak, dan remedial teachers lainnya, serta mempunyai jaringan kerja dengan berbagai pusat kesehatan dan tumbuh kembang di regio masing-masing.

Bila hal-hal yang saya jelaskan di atas dapat dikatakan sebagai syarat umum berketrampilan belajar yang memerlukan penanganan (perkembangan bicara dan bahasa, sensomotris, sosial, adaptasi, dan kognitif), maka agar seorang anak dapat belajar dengan baik memerlukan pula adanya syarat spesifik berketrampilan belajar. Untuk melihatnya kita harus menganalisa hasil kerja dari berbagai tugas materi yang diberikan padanya. Setidaknya si anak harus mampu mencapai ketrampilan dan pengetahuan yang dapat dikatakan cukup matang sesuai dengan usianya. Jika ternyata ada hal-hal yang ternyata tidak mencapai batas ketentuan, maka kita perlu melihat apa yang menyebabkan hal ini terjadi. Dan apa saja yang belum mencukupi dalam proses belajar untuk mencapai kematangan ini.

Semakin hari, belakangan ini masalah persyaratan ini semakin tajam, dan orang bukan hanya melihat apa yang dipelajari, tetapi bagaimana seorang anak bisa mempelajarinya. Kini orang semakin menyadari bahwa membangun pengetahuan dan ketrampilan belajar adalah lebih penting guna membangun tahap perkembangan berikutnya. Apabila masih terjadi mengapa efek belajar belum memuaskan, maka perlu dilihat apakah si anak telah siap menerima pelajaran, persyaratan apa yang belum dipenuhinya (de Groot & Paagman, 2000). .



Membaca, mengeja dan dikte.
Bagi Jos kesadaran dalam proses informasi auditif yang minim (sekalipun ia tidak mempunyai gangguan pendengaran secara anatomis dan fisiologis), yang merupakan proses yang dibangun melalui pendengaran, sangat bermain sebagai penghambat utama dalam proses membaca. Dalam pelajaran membaca, ia juga harus belajar mengeja, membentuk kata, dan kalimat (struktur bahasa). Disana ia harus bisa menyusun huruf-huruf dan membedakannya dalam urutannya, kemudian menghubungkannya, sebagaimana ia harus menuliskannya kembali. Urutan masuknya ke telinga harus mengikuti tempo mendengar, dan akan berkaitan pula dengan urutannya pada waktu menulisnya di atas kertas. Ia juga harus bisa membedakan arti dari apa yang diucapkan orang dengan apa yang harus dituliskannya pada waktu pelajaran dikte. Ia juga harus mampu membedakan berbagai bunyian ucapan yang masuk ke telinga lalu merubahnya menjadi simbol dua dimensi untuk kemudian simbol dua dimensi yang berada di kepalanya itu harus mampu ia tuliskan ke atas kertas. Pada anak-anak visual learner seperti halnya Jos, hal ini akan membuatnya mengalami kesulitan, sebab ia terbiasa menerima informasi simbol secara simultan melalui kekuatan visual yang dimilikinya, bukan dari telinganya yang cara prosesnya secara sekuensial.

Pada usia tiga tahun, pengetahuannya tentang berbagai simbol telah membawanya pada kemampuan membaca dengan sistem simultan. Ia bisa membaca banyak kata, misalnya cocacola, ayax, fristi, apel, train, dlst. Tetapi tidak bisa mengeja dan dikte yang membutuhkan kemampuan auditif, dimana informasi yang masuk secara sekuensial. Berbagai karakteristik simbol kata yang disimpannya melalui memori visual, menyulitkannya saat ia harus merubah cara belajar membaca yang menggunakan sistem eja (spelling). Dengan begitu berakibat juga ia mengalami kesulitan menulis.

Sementara itu, apabila ia dibiarkan membaca dengan cara yang dimilikinya (secara simultan akibat visual learne-rnya), ia akan mengalami kesulitan membaca sebab ia hanya menghapalkan kata-kata yang telah dilihatnya. Ia tidak akan bisa membaca berbagai kata-kata baru yang belum dikenalnya. Gangguan seperti ini akan berakibat juga akan mengganggu prestasinya pada pelajaran-pelajaran lain.

Untuk mengatasi ini ia menerima yang disebut metoda Hakken en Plakken (pisah dan tempel) berupa buku yang disebut Klik Klak Boek, yang pada dasarnya adalah merupakan pelajaran membaca yang ditekankan pada huruf yang diutak atik mampu membentuk kata. Kekuatan kreativitas dan kemampuan pandang ruang yang tinggi yang dimilikinya mampu membantunya dalam memecahkan permasalahan saat ia harus membentuk suatu kata dari berbagai huruf yang disambung, dilepas, lalu disambung lagi, dan akan membentuk kata yang berbeda-beda. Dengan bantuan gambar dan beberapa huruf yang membentuk kata yang merupakan nama dari gambar tersebut, masalah yang dialami bisa segera diatasinya. Misalnya ia harus membentuk kata p-o-e-s (kucing) sambil mengeja huruf, dan meletakkan huruf-huruf tadi di bawah gambar kucing. Dengan terlatihnya ia dengan memanfaatkan kemampuan visualnya dan terlatihnya ia belajar secara auditif, maka dengan sendirinya masa sulit ini bisa dilampauinya dengan baik. Dengan segera ia mampu membaca berbagai buku dan tempo baca yang sangat cepat, karena ia mampu menggunakan dua kemampuan sekaligus yaitu kemampuan baca secara skuensial untuk melakukan diskriminasi huruf dan ucapan, dan sekaligus juga kemampuan simultan dalam membaca kata secara cepat. Kemampuan analisis dan kreativitas yang tinggi membantunya sekaligus dalam memahami arti bacaan.
Kesulitan membaca ini bisa dilampauinya bersamaan dengan kesulitan menulis yang juga menjadi masalah baginya.

Menulis
Gangguan menulis sebetulnya bukan merupakan learning disabilities jika gangguannya disebabkan hanya karena motorik halus (de Groot & Paagman, 2000), namun jika gangguan motorik ini tidak ditanggulangi akan menyebabkan gangguan menulis yang bisa seperti gangguan disleksia, atau juga menumbuhkan faalangst dan konsep diri negatip. Gangguan menulis yang termasuk learning disabilities adalah jika terdapat gangguan kordinasi mata tangan yang termasuk dalam pemrograman motorik. Maksudnya ia melihat simbol huruf dan kata dengan mata atau mendengarkan bunyian ucapan yang lalu diproses menjadi simbol dalam otak, otak memerintah otot-otot tangan untuk menuliskan simbol-simbol tadi berupa huruf-huruf yang harus disusunnya satu persatu. Bila terjadi gangguan dalam proses ini, berupa gangguan penulisan yang terbalik-balik (p menjadi d, atau b menjadi d), huruf konsonan yang berdempet-dempet beberapa buah, disebut disleksia . Pada anak-anak yang visual learner mempunyai risiko untuk mengalami gangguan disleksia ini, sebab cara berfikirnya bukan word learner (Temple, 1999). Apa yang terjadi pada Jos saat diketahui bahwa ia visual learner, kepada kami dianjurkan untuk tidak mengajarkan membaca dan menulis di rumah, kegiatan ini akan diberikan di sekolah dengan metoda yang cocok dengannya. Kami mendapatkan penjelasan di awal kelas satu sekolah dasar bahwa ia akan menerima metoda menulis dengan format miring dalam metoda Veilig Leren Lezen dengan penekanan pada orientasi huruf sebagaimana juga dalam metoda membaca. Setiap menuliskan huruf diikuti dengan sebuah nyanyian. Format miring dimaksudkan untuk anak-anak yang mempunyai perkembangan motorik halus yang lemah, nyanyian yang dilantunkan saat belajar menuliskan huruf-huruf itu adalah untuk membangun konsentrasi sekaligus merangsang processing auditive. Dengan format miring, otot-otot tangan akan lebih luwes, dan tidak terlalu menimbulkan ketegangan. Pergelangan tangan akan bergerak dengan luwes seirama dengan lantunan nyanyian.


Berhitung

Seseorang yang disleksia seringkali juga diikuti dengan gangguan berhitung, disebut diskalkulia. Istilah-istilah ini sebetulnya merupakan istilah medik, sedang learning disabilities adalah istilah pendidikan. Karena itu seorang pendidik memerlukan informasi pula dari seorang dokter, setidaknya seorang neurolog, untuk masalah seperti ini. Agar arahan penanganannya bisa tepat. Namun seorang dokter juga memerlukan informasi dari seorang psikolog perkembangan anak untuk mengetahui bagaimana perkembangan inteligensianya, setidaknya untuk melihat gangguan berhitung ini diperlukan informasi tentang perkembangan inteligensia yang menyangkut kemampuan pandang ruang, logika analisis, dan kreativitas. Semuanya selain dimaksudkan untuk menentukan metoda penanganannya oleh para pendidik, juga untuk melihat rekaan prognosisnya. Umumnya yang mempunyai kemampuan pandang ruang, logika analisis dan kreativitas yang sangat baik sebagaimana halnya anak-anak gifted ini, mempunyai prognosis yang juga sangat baik. Sebab dengan adanya potensi ini ia akan dengan mudah menyerap berbagai latihan untuk mengatasi kekurangannya. Secara kreatif ia juga mampu mengatasi masalah-masalah yang dihadapinya. Namun apabila kondisi ini tidak terdeteksi sejak awal, dikhwatirkan justru hanya akan menimbulkan masalah baru lainnya. Beberapa contoh masalah seperti ini banyak dibicarakan oleh seorang Profesor pediatrik, Dr Mel Levine dalam bukunya A Mind at A Time (2002) , atau dalam buku In the Minds Eye yang ditulis oleh Thomas G West (1997) seorang pendiri Vizualization Research Institute yang berafiliasi dengan National Dyslexia Reaserch Foundation, US.
Pada anak-anak visual learner yang mempunyai kemampuan pandang ruang, logika analisis dan kreativitas yang rendah, akan memerlukan pendekatan yang berbeda. Sebab belajar berhitung terutama matematika memerlukan kemampuan pandang ruang, logika analisis, dan kreativitas yang tinggi. Namun pada anak-anak visual learner yang mempunyai gangguan auditive processing seperti halnya Jos, ia akan mengalami kesulitan menghapal (akibat short term memory yang lemah). . Dengan begitu pelajaran berhitung sederhana yang hanya menggunakan kecerdasan menghapal justru ia akan mengalami kesulitan. Misalnya saja 7 + 5 = 12. Buatnya akan sangat sulit diingatnya daripada suatu soal essay yang membutuhkan pemecahan masalah. Misalnya,” ibu pergi ke pasar membawa uang seribu rupiah, membeli jeruk tiga kilo, satu kilonya seharga seratus rupiah. Berapa rupiah yang harus ia bawa pulang?”
Karena itu pada anak-anak visual learner yang sekalipun ia mampu mengerjakan test IQ mempunyai kemampuan performal yang sangat baik, seringkali justru mendapatkan angka pelajaran berhitung sederhana yang kurang baik. Kepadanya selalu harus terus menerus menggunakan jari-jari atau abacus. Karena itulah sekalipun anak-anak ini mempunyai IQ performal yang tinggi, namun di kelas-kelas sekolah dasar yang masih membutuhkan pelajaran menghapal ia mengalami underachiever yang bisa berakibat pada masalah lainnya, kefrustrasian dan masalah perilaku.




PENUTUP

Sebagai orang tua yang memiliki anak yang mengalami gangguan perkembangan yang kasusnya berada di border antara normal dan tidak normal seperti ini, dapat sangat mengalami kebingungan karena setiap tenaga profesi yang didatanginya akan menjawab dengan istilah yang berbeda-beda untuk masalah yang sama. Misalnya seorang audiolog akan mengatakan bahwa ia mengalami gangguan auditive processing, sementara seorang speech patologist akan mengatakan bahwa ia mempunyai bahasa reseptif yang baik namun berbahasa ekspresif yang tidak baik, dan seorang dokter akan mengatakan bahwa ia penyandang autisme. Atau hal lain misalnya seorang dokter akan melihat berbagai kekurangannya, dan seorang psikolog akan melihat kelebihannya. Padahal untuk anak seperti ini membutuhkan suatu tim profesi yang luar biasa besar, dan semuanya akan memberi anjuran atau perintah kepada orang tua tentang tindakan apa yang harus diambil. Jika saja orang tua yang memiliki anak seperti ini tidak mempunyai seorang tenaga profesi yang bisa membimbingnya yang sewaktu-waktu siap ditanyai (dalam hal ini yang saya alami adalah adanya tenaga orthopedagog sekolah, dokter sekolah, dan dokter keluarga), ia akan mengalami kefrustrasian dan stress karena ketidak mengertiannya. Tidak jarang terjadi konflik antar suami istri yang bisa berakhir pada kasus perceraian.
Sementara itu anak-anak seperti ini adalah kelompok anak yang berrisiko (jongen risico kinderen) yang memerlukan penanganan yang ekstra hati-hati dengan memperhatikan berbagai faktor lemah dan faktor kuat yang dimiliki anak tersebut sampai ia bisa berfungsi sebaik-baiknya dan berprestasi sesuai dengan potensi yang dimilikinya. Kesalahan penanganan hanya akan memunculkan masalah yang lebih parah dan lebih sulit ditanggulangi. Karena itu diharapkan dalam sistem kesehatan nasional diperlukan adanya standardisasi tatalaksana yang dikeluarkan oleh lembaga-lembaga ilmiah yang mempunyai network dan keterpaduan antar profesi.
Disamping itu diperlukan juga kekompakan dari tenaga-tenaga profesi tersebut dalam memberikan informasi, anjuran dan terapi. Terlebih saat ini di banyak negara banyak sekali terjadi kasus-kasus medical fraudulent maupun educational fraudulent yang informasinya dikeluarkan oleh kelompok pseudoscience yang menawarkan terapi namun tidak bisa dipertanggungjawabkan secara ilmiah. Bagi seseorang yang harus mencari informasi tentang hal ini semua, bisa saja tergelincir dalam bahasa yang seolah-olah bahasa ilmiah, namun ternyata tidak benar.
Informasi ini sangat mudah dicari melalui internet, majalah-majalah kesehatan populer atau seminar-seminar. Sasaran pertama adalah para orang tua yang menjadi anggota suatu support grup atau yang tergabung dalam mailing list. Informasinya bahkan datang dari negara-negara yang standar mediknya kuat, tetapi mencari pasaran di negara-negara yang standar mediknya lemah. Mengingat ilmu tentang perkembangan anak-anak yang menyimpang dari pola normal ini masih sangat muda dan masih belum populer di tengah masyarakat, selayaknyalah fihak persatuan profesi secara bersama-sama dengan berbagai profesi lainnya yang mempunyai kaitan pada tumbuh kembang anak dan pendidikan berupaya melindungi masyarakat dari tindakan malpraktek upaya perawatan kesehatan dan penjagaan tumbuh kembang anak-anaknya, mengingat sistem hukum kesehatan di negara Indonesia belumlah sempurna dan juga belum ada lembaga perlindungan anak-anak.
Kepada para orang tua juga setidaknya selalu mawas diri serta mampu menyaring berbagai informasi yang benar dengan jalan membangun support group anak-anak sejenis yang tak lupa meminta perlindungan serta bimbingan dari lembaga-lembaga ilmiah. Diharapkan pula fihak profesional tidak bosan-bosannya mengadakan forum diskusi dan informasi dengan mengadakan berbagai acara temu dengan para orang tua.
Dunia pendidikan pun tak kalah pentingnya untuk terus mengembangkan diri, dengan berbagai metoda yang lebih mengarah pada pendidikan dimana murid sebagai sentral pendidikan, dan perkembangan setiap anak adalah unik. Setiap anak mempunyai hak untuk mendapatkan pendidikan yang sebaik-baiknya sebagaimana Deklarasi Salamanca dari Unesco tahun 1994.


DAFTAR BACAAN


Burger-Veltmeijer, A (2003): Asperger en Hoogbegaafd, implicaties voor Ouders, Talent Tijdshrift, Jaargang 5-nr 2.

Biesta,M & Steeman,D (2001): Cesar-oefentherapie kan uitkomst bieden, Talent - Tijdschrift over hoogbegaafdheid, jaargang 3-nr 8-Dec.

Bouwers,H & van Goor,H (1996): Diagnostiek en behandeling van rekenproblemen, Uitgevrij Intro, Baarn.

Crealock, C & Kronick, D (1993): Children and Young People with Spesific Learning
Disabilities, Guides for Special Education no.9, Learning Disabilities Association of Canada, Unesco.

De Groot, R; Chapel,G; Halfwerk,B (1992): Leermoeilijkheden en visuele opvoeding, Garant, Leuven- Apeldoorn.

De Groot, R & Paagman, C (2000) : Kinderen met leer en gedragsprobelemen, Boom, Amsterdam.

De Hoop,F & Janson,DJ (1997): Omgaan met verschillen, adaptief werken aan basisonderwijs, Uitgevrij Intro, Baarn.

De Hoop, F & Janson, D J (1999): Omgaan met (hoog)begaafde kinderen, Uitgevruj Intro, Baarn.

Fruemau, M (2001): Social-Emotional Hoogbegaafde Kinderen, HINT – Limburg.

Gerven, E (2002): Hoogbegaafd en ADHD, Dubbel ingewikkeld, Talent Tijdschrift, Jaargang 4 – nr 2.
Greenspan, SI & Salmon, J (1995): Kinderen met Probleemgedrag, Het Spectrum, Den Haag.

Greenspan, S I & Wieder (1998): The Child with Special Needs, Perseus Books, Reading, Massachusetts.

Gunning, WB (1998): Behandelingsstrategieën bij kinderen en Jeugdigen met ADHD, Cure & Care Develeopment , Bohn Stafleu van Loghum, Houten/Diegem.

Hermans,HJM (1971): Prestatiemotief en faalangst in gezin en onderwijs, Swets en Zeitlinger,
Amsterdam.

Hupkens, E (2002): Hoogbegaafd en Asperger, In onze wereld op hun eigen wijze, Talent Tijdschrift, Jaargang 4-nr 2.

Mooij, T (1991): Schoolproblemen van Hoogbegaafde kinderen, Dick Coutinho, Muidenberg.
.
Nieuwenbroek, A & de Vries, J (2000): Omgaan met Examenvrees, KPC Groep, Hertogenbosch.

Nieuwenbroek,A; Ruigrok, J & de Vries, J (1996), Faalangst op school, Educatueve Partner Nederland BV, Houten.

Niewenbroek, A & Ruigrok, J (1996), Faalangst de baas, Kosmos – Z & K, Utrecht/Antwerpen.

Nijenhuis, K (2003): Kinderen met Luisterproblemen, UMC St Radboud afd KNO/audiologisch centrum Nijmegen, Multiprint, Doorn.

Mönks, FJ & Knoers, AMP (1999): Ontwikkelings Psychologie, van Gorcum, Assen.

Sack, O (2002): Anthropolog op Mars, Meulenhoff, Amsterdam.

Shiet, M (1999): De Peuterpuberteit, van Holkema & warendorf, Houten.

Temple, R (1999): Dislectische kinderen aan handleiding voor ouders, Elmar BV, Rijswijk.

Vermuelen, P (1999): Brein Bedriegt, Als Autisme niet op Autisme Lijkt, EPO, Gent.

Webb,JT; Mecstroth, EA & Tolan, SS (2000): De begeleiding van hoogbegaafde kinderen, van Gorcum, Assen.

West, T,G (1997): In The Mind’s Eye, Prometheus Books, New Y

....